Dirundung Derita, Seorang Ayah di Kolaka Pernah Berniat Akhiri Hidup Anak-anaknya
Reporter
Sabtu, 14 Mei 2022 / 3:35 pm
KOLAKA, TELISIK.ID - Setiap orang mendambakan kehidupan yang layak dan serba cukup. Namun terkadang nasib tidak berpihak kepada kita, seperti yang dialami satu keluarga di Kabupaten Kolaka, keluarga Hamka.
Hamka adalah seorang kepala rumah tangga yang harus menghidupi 3 orang anak dan seorang istri. Ia dan keluarga kecilnya tinggal di Dusun Dua Lawani, Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka.
Sebelumnya, ia menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan tambang dengan gaji Rp 100.000 per hari.
Namun sejak kecelakaan yang menimpanya dua tahun silam, Hamka tidak lagi mampu bekerja dan tak sanggup lagi membiayai kebutuhan hidup keluarganya.
Rahmawati sang istri hanya seorang ibu rumah tangga. Dia hanya bisa pasrah mengurusi ketiga anaknya dan melihat kondisi suami yang sangat memprihatinkan.
Kecelakaan yang menimpa Hamka di bulan Februari tahun 2020 lalu menyebabkan kakinya patah dan remuk. Saat dibawa ke Rumah Sakit Antam Pomalaa, Hamka dianjurkan dokter untuk segera melakukan operasi. Namun karena keterbatasan ekonomi dan tak punya biaya, ia akhirnya dipulangkan oleh keluarga hari itu juga. Ia yang setengah sadar saat itu hanya bisa pasrah dan menerima keadaan.
Berbekal obat dari rumah sakit, Hamka dirawat di kediamannya tanpa bantuan alat medis apapun. Tulang kaki yang seharusnya dioperasi pada akhirnya hanya bisa diobati dengan obat seadanya seperti serai dan obat tradisional yang didapatnya dari anjuran para tetangga.
Baca Juga: Open Donasi, Biaya Perawatan Rumah Sakit Ibu Ini Belum Tercukupi
Akibatnya karena tidak adanya penanganan khusus dari dokter ahli, menyebabkan Hamka merasakan sakit yang tiada henti hingga sekarang. Gerobak kecil dan tongkat dijadikan Hamka sebagai alat bantu jika ia ingin berjalan dan bergerak atau sekedar ingin ke kamar mandi. Jika Hamka berdiri lama, ia akan merasakan pusing yang kadangkala tidak dapat ditahannya.
Berbagai usaha untuk sembuh sudah dilakukan Hamka agar bisa kembali bekerja dan membiayai keluarganya. Namun rasa sakit yang dirasakannya, membuatnya sangat sulit beraktivitas. Bahkan untuk berdiri saja dia harus berjuang. Salah gerak sedikit saja, dia harus merasakan sakitnya hingga 2-3 minggu.
Ketiga anaknya, Killa yang berusia 3 tahun, Muhammad Alpa serta Muhammad Alpi yang lahir kembar berusia 9 bulan, membuat Hamka nyaris putus asa karena melihat mereka tumbuh seadanya dalam keadaan ekonomi yang sangat sulit.
"Seandainya membunuh tidak ada pidananya, mungkin bisa terjadi hidup anak-anak kami akhiri, agar tidak menderita. Cukup orang tuanya saja yang menderita," ungkap Hamka pilu.
Kepada Telisik.id Hamka mengungkapkan, sudah 15 bulan terakhir ini dia tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dari makan hingga susu untuk anak balitanya. Dalam keadaan sangat mendesak, ia dan sang istri hanya bisa berutang, yang entah kapan bisa dilunasi. Beberapa tetangga yang iba, mengulurkan sedikit bantuan.
Hamka mengungkapkan, selama ini dia menerima BLT dari pemerintah desa, sejumlah Rp 300 ribu per bulan, yang disalurkan setiap 4 bulan. Tentu saja jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.
Baca Juga: Pedagang Tissu Lampu Merah, Diusir Satpol PP Hingga Dilarang Muncul jika Pejabat Datang
Hamka sadar ia dan keluarganya tidak bisa selalu berharap kepada para tetangga. Mereka telah banyak membantu. Sehingga besar harapan Hamka kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten Kolaka serta Dinas Sosial atau siapapun untuk perduli pada keadaannya.
Dia berharap ada yang datang meninjau langsung keadaan anak-anaknya. Sebab Hamka tidak tahu lagi kemana harus mengadu dan kepada siapa lagi ia bisa berharap bantuan.
Bagi Hamka, bersabar atas rasa sakit yang menimpanya mudah saja. Namun melihat anak-anak balitanya hidup tanpa kebutuhan yang tercukupi, adalah hal yang begitu berat baginya. Mereka masih sangat kecil untuk merasakan kerasnya kehidupan, ditambah lagi mendapati ayahnya yang tidak bisa melakukan apa-apa karena keterbatasan fisik. (A)
Penulis: Nadwa Rifada
Editor: Haerani Hambali