Ini Tanda dan Ciri Haji Mabrur

Haerani Hambali

Reporter

Jumat, 07 Juli 2023  /  4:30 pm

Para ulama menyebutkan tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan Al-Qur'an dan hadis. Foto: Repro Solopos.com

KENDARI, TELISIK.ID - Setiap Muslim yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oleh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi, haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jadi, tidak semua yang haji yang sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jemaah haji yang tidak baik lantaran jemaah haji yang baik.” (Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68).

Apa perbedaan antara haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan Al-Qur'an dan hadis, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.

Dilansir dari Muslim.or.id, tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Baca Juga: Ini Sebabnya Tak Boleh Berpuasa di Hari Tasyrik

1. Harta yang dipakai untuk berhaji adalah harta yang halal (Ihya Ulumiddin 1/261), karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

"Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik."  (HR. Muslim (1015)).

Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk berhaji adalah harta yang halal.

2. Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.

Haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jemaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” (Lathaiful Ma’arif 1/257).

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah. (Lathaiful Ma’arif 1/257).

3. Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti zikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa. (Lathaiful Ma’arif 1/67).

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab:

“Memberi makan dan berkata-kata baik.” (HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/262 (no. 1264)).

4. Tidak berbuat maksiat selama ihram.

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman:

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” (HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136))

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.

Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadis di atas.

Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan. (Ihya Ulumiddin 1/261).

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh. Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.

5. Setelah haji menjadi lebih baik

Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya. (Lathaiful Ma’arif 1/68).

Sementara itu, dikutip dari pikiran-rakyat.com, ada beberapa ciri dari haji mabrur menurut Buya Yahya.

Pertama: memiliki niat yang tulus dan ikhlas semata-mata hanya karena Allah, bukan untuk pamer atau tujuan duniawi lainnya. Termasuk ke dalam niat yang benar adalah memastikan harta yang digunakan untuk beribadah haji adalah halal.

Kedua, menjaga kemurnian hati. Bukan hanya sekadar menjalankan serangkaian ritual, tetapi juga mengharuskan untuk membersihkan hati dan menjaga kesucian jiwa. Hindarilah sikap sombong atau merasa lebih baik dari orang lain setelah menunaikan haji.

Baca Juga: Begini Doa saat Menerima Daging Kurban

Ketiga, menghindari tantangan kesombongan. Ibadah haji merupakan ujian kesabaran dan ketakwaan yang besar. Selama menjalankan haji, seorang calon jemaah haji tidak membiarkan kesombongan menghinggapi hati. 

Keempat, memperkuat iman dan kejujuran dalam diri. senantiasa menjaga kebersihan hati dengan memaafkan dan berbuat baik kepada sesama. 

Kelima, mengisi hati dengan kebaikan selama perjalanan haji, selalu menjadikanlah waktu terutama saat ibadah haji sebagai kesempatan untuk meningkatkan spiritualitas dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Keenam, setelah menunaikan ibadah haji, konsisten melakukan kebaikan-kebaikan sebagai perwujudan nari nilai-nilai proses ritual ibadah haji. (C)

Penulis: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS