Jakarta Undercover: Cerita Pilu PSK Kawasan Kota Tua, Dia Hanya Memanfaatkan Tubuh Saya
Reporter
Rabu, 09 Agustus 2023 / 9:57 am
JAKARTA, TELISIK.ID - Menyusuri Jakarta tentu tidak lengkap jika tidak singgah di kawasan Kota Tua. Kawasan yang kini masuk ke dalam wilayah administrasi Jakarta Barat dan Jakarta Utara ini, dulunya dijadikan sebagai pusat Kota Jakarta. Kota Tua lebih dikenal sebagai kawasan wisata yang menampilkan bangunan-bangunan bersejarah arsitektur Eropa peninggalan kolonial Belanda dan juga arsitektur Cina.
Bangunan-bangunan tua itu sebagai simbol perjalanan sejarah Kota Jakarta.
Dalam catatan sejarah, lokasi Kota Tua yang strategis tersebut akhirnya menjadikan kudeta wilayah. Mulai dari Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Tarumanegara, Kesultanan Banten, VOC, hingga Jepang dulu turut memperebutkannya.
Kota Tua Jakarta diketahui pula dengan sebutan lamanya yaitu “Oud Batavia” atau Batavia Lama. Wilayah Kota Tua dulunya sempat disebut sebagai “Permata Asia” serta “Ratu Dari Timur’’ karena merupakan sentra perdagangan yang sangat strategis di Asia. Wajar saja, banyak pemimpin ketika itu yang tak rela melepaskan kekuasaannya di wilayah ini.
Sebagai sentra bisnis yang sangat terkenal, Kota Tua terutama di wilayah administrasi Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, terus berkembang hingga menarik minat banyak orang untuk berdatangan mencari nafkah. Tidak hanya yang halal, yang haram pun ada. Mulai bisnis yang legal hingga yang ilegal.
Terkait bisnis ilegal, mudah ditemukan. Salah satunya adalah bisnis prostitusi atau pelacuran. Bisnis ini bisa dilihat pada malam hari di kawasan Mangga Besar dan Hayam Wuruk. Di dua lokasi itu setiap malam wanita dengan penampilan yang menggoda menjajakan diri.
Misalnya di Jalan Hayam Wuruk, mereka pekerja seks komersial (PSK) umumnya mengenakan pakaian seksi dengan didampingi muncikari. Muncikari ini juga berperan sebagai pengawal yang setiap saat akan mengamankan para PSK itu jika sewaktu-waktu ada razia penertiban.
Berbeda dengan di Hayam Wuruk, para PSK di Mangga Besar jumlahnya lebih banyak dan tersebar di beberapa titik. Mereka umumnya tidak didampingi muncikari dan lebih memilih mencari tamu sendiri secara bebas.
“Mungkin karena di sini (Mangga Besar, red) banyak tempat hiburan malam sehingga kami bisa mangkal di mana saja,” kata Selly, PSK yang memiliki dua anak dan kos di sekitar Mangga Besar, kepada Telisik.id, Selasa (25/7/2023) malam.
Baca Juga: Jakarta Undercover: Terusir dari Kalijodo, Layani Tamu di Terpal Biru Beralas Karton
Jalan Mangga Besar yang sering disebut dengan istilah “Mabes” merupakan kawasan yang selalu ramai oleh aktivitas orang-orang yang senang mencari hiburan di tempat hiburan malam. Karena di Mabes tidak sedikit tempat hiburan malam dan juga bertebaran hotel yang menyediakan fasilitas hiburan. Kawasan ini pun diramaikan oleh kehadiran para PSK, selain beragam tempat makan serta minum dan bahkan penjualan obat kuat.
Selly menuturkan, umumnya para PSK yang mangkal di Mabes mereka kos di sekitar kawasan itu. Bahkan tidak sedikit di antaranya yang melayani tamu di kost mereka. “Tapi kalau saya tidak bisa karena di kos ada anak. Saya pulang ke kos paling telat jam 2 dini hari karena paginya ngurus anak sebelum berangkat sekolah,” tuturnya.
Pilihan yang sama untuk tidak melayani tamu di tempat kos juga diungkapkan oleh Evi. Dia mengatakan, hanya pertimbangan privasi sehingga merasa lebih nyaman mengajak tamu ke penginapan.
“Lebih enak ke penginapan karena di sini banyak hotel mulai dari yang murah sampai yang mahal. Saya tidak suka bawa tamu ke kos karena gak enak nanti anak tahu kalau tiba-tiba datang, meski saya titipkan mereka ke kakak di Bekasi,” ujar wanita berdarah Tionghoa ini.
Evi bercerita, dirinya sempat berhenti dari bisnis prostitusi sejak memiliki seorang pacar. Sejak berpacaran, setelah memiliki dua anak, Evi merasa yakin akan dijadikan istri. Harapan itu rupanya sia-sia. “Dia orang Sumatera. Dia malah meninggalkan saya saat hamil. Saya baru sadar dia hanya mau memanfaatkan tubuh saya. Saya terpaksa kembali jual diri setelah anak ketiga lahir,” kata Evi.
Nasib yang mirip dialami oleh Jenny (nama samaran), PSK lainnya yang juga sering mangkal di Mabes. Wanita yang mengaku berdarah Manado ini terpaksa menjajakan diri demi membiayai tiga anaknya yang masih kecil. “Anak bungsu masih bayi 10 bulan. Dia aku titipin ke orang yang mengurus di kosan. Kos aku tidak jauh dari stasiun Mangga Besar,” tuturnya.
Jenny mengaku sudah dua kali menikah. Kedua-duanya gagal. Pernikahan pertama dia dikarunia dua anak, sedangkan pernikahan kedua memperoleh satu anak. “Dua anak tinggal dengan mama aku. Kalau aku gak kerja siapa yang mau membiayai? Bayar kontrakan aja 1,8 juta sebulan,” cerita Jenny.
Alasan ekonomi menjadi salah satu faktor sebagian dari para PSK di Mabes menjatuhkan pilihannya untuk terjun ke bisnis prostitusi. Mereka berkilah tidak memiliki keahlian dan pendidikan yang memadai untuk bekerja di kantoran.
“Saya kerja begini karena desakan ekonomi. Dulu masih mendingan saat masih ada suami, meski sebagai istri kedua. Sejak pisah empat tahun lalu dan tidak ada lagi yang membiayai sementara anak butuh biaya sekolah, ya terpaksa,” kata Ros, wanita 39 tahun asal Sumatera.
Setelah berpisah dengan suami, kata Ros, dia berusaha berdagang kopi. Namun, penghasilan yang didapatnya tidak menentu dan dianggapnya tidak cukup membiayai kebutuhan hidup diri dan anaknya. Dia pun banting setir dengan mencoba sebagai tukang pijat.
Baca Juga: Jakarta Undercover: Tak Mau Penginapan, di Mobil pun Jadi
“Karena sering melayani pelanggan, beberapa minggu kemudian ada pelanggan yang mengajak sekalian pijat plus. Akhirnya saya melayani permintaan itu karena tarif yang diberikan juga lumayan,” beber Ros dan mengaku tak jarang melayani tamunya di tempat kos saat masih kos di Lokasari.
Lokasari ini dulunya adalah Princen Park, yang letaknya sangat dekat dengan Tangkiwood. Di era tahun 1920 sampai 1950-an, area ini dikenal sebagai tempat bermukimnya para artis. Kata Tangkiwood merujuk pada Hollywood di Amerika Serikat. Sementara Princen Park adalah pusat industri hiburan di Batavia.
Princen Park pada masanya adalah salah satu taman yang indah di Batavia, seperti Deca Park di area Monumen Nasional (Monas), dan Wilhelmina Park yang kini jadi Masjid Istiqlal. Para seniman kenamaan suka berkumpul di Princen Park untuk membicarakan terkait ide pertunjukan sekaligus berlatih. Di sana kemudian dibangun bedeng-bedeng untuk pertunjukan.
Seiring berlalunya waktu, pesona Princen Park semakin pudar. Pada tahun 1970-an, hampir tidak ada yang tersisa dari area yang dulunya glamor ini. Akhirnya di tahun 1985, Princen Park diremajakan oleh Pemprov DKI Jakarta yang kemudian diubah menjadi Taman Hiburan Rakyat Lokasari.
Pada saat itu, Lokasari menjadi pusat hiburan. Ada bioskop, kolam renang, lapangan basket, toko oleh-oleh Jakarta, dan restoran dengan aneka menu. Di tahun 1990, Lokasari berubah lagi menjadi tempat hiburan malam dan restoran yang buka sampai larut malam. Kini, pusat hiburan itu telah menjadi Lokasari Square. Semua hiburan yang ada di sini telah menjadi kenangan. Mal ini sendiri mulai dibangun pada tahun 1989. (A)
Penulis: Mustaqim
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS