Jenderal Sigit di Antara Kompetisi dan Pembuktian Inklusivitas
Penulis
Senin, 18 Januari 2021 / 8:47 am
Oleh: Suryadi
Pemerhati Kepolisian dan Budaya
RUANG inklusif membuka pembuktian profesionalisme Polri.
Pemuncaknya tanggung jawabnya Kapolri. Akhir Januari 2021 Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis ada pada usia pensiun 58 tahun.
Presiden Joko Widodo telah mengajukan Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo (Sigit) ke DPR RI, sebagai satu-satunya calon Kapolri baru. DPR bersetuju atau sebaliknya, akan sangat terbuka dalam dinamika di rentang waktu 20 hari terhitung sejak Rabu, 13 Januari 2021.
Kecuali ‘insiden’ di rentang pergantian Kapolri Jenderal Sutarman –Plt. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti ke Jenderal Tito Karnavian (2015-2016), rasanya dalam 22 tahun terakhir ini, tak ada calon Kapolri yang ditolak oleh DPR RI. Ketika akhirnya nama-nama para calon Kapolri dikembalikan ke presiden, kepala negara pemilik hak prerogatif itu, mendefinitifkan mereka sebagai Kapolri.
Jadi empiris saja, sangat mungkin Sigit-lah yang bakal menggantikan Idham. Pria Jawa kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei 1969 ini, baru akan pensiun normal sebagai anggota Polri di usia 58 tahun pada 2027. Dua pendahulunya, Idham 14 bulan menjadi Kapolri, sedangkan Tito Karnavian (2016-2019) dipensiun sebelum “jatuh tempo” pada 2022 terkait penunjukannya menjadi Mendagri.
Kapolri termuda RI di usia 37 tahun yaitu R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo. Tito dan jika Sigit jadi, merekalah yang termuda dengan usia 51 tahun di antara para Kapolri pasca 1998.
Dua catatan penting penulis untuk presiden, bila benar Sigit kelak menjadi Kapolri ke-26: Pertama, tentang ‘kompetisi’ internal Polri dan pentingnya kerendahan hati. Kedua, ‘inklusivitas’ yang secara berani “di-chalenge-kan” oleh Jokowi kepada Sigit.
‘Kompetisi’ dipadankan dengan ‘pertandingan’ (J.S. Badudu, 2003: 187) bukan ‘persaingan’, sedangkan ‘inklusivitas’ diambil dari ‘inklusif’ (J.S. Badudu, 2003: 154) sehingga ‘inklusivitas’ adalah menempatkan diri dalam bingkai ‘kekitaan’.
Dalam konteks kepentingan umum, dibutuhkan ‘kekitaan’ untuk singkirkan egoisme kelompok (kami, atau mereka), juga bukan egoisme perorangan (aku, saya, kamu atau dia).
Kompetisi di Ruang Politik
Seorang filsuf Prancis, Montesqieu (1689-1755) membuat pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu eksekutif (pelaksana UU), legislatif (pembuat UU), dan yudikatif (penegakan hukum). Pemisahan itu lahir di tengah-tengah penguasa raja-raja. Di abad modern hingga kini jika ada penguasa berlaku absolut paling benar, sering dihadiahi anekdot “Pasal 1 raja tak pernah salah, Pasal 2 jika raja salah lihat Pasal 1”.
Melihat pemisahan kekuasaan tersebut, polisi ada dalam kelompok penegak hukum. Tetapi, pemisahan secara tegas seperti itu, pada kenyataannya mustahil dilakukan. Di negara paling demokratis, sekalipun. Kecuali, mungkin akan bisa, dengan meniadakan saling ketergantungan di antara ketiganya.
Baca juga: Dagelan Politik PDI Perjuangan
Atau, bila pemisahan dimulai dari awal pembentukan sampai kepada penentuan anggaran masing-masing. tetapi, semua itu mustahil, karena jelas suatu pengingkaran bahwa manusia itu mahluk ‘standar ganda’, mahluk individu yang juga mahluk sosial berakal dan berhati.
Tak siapa pun mampu mengelak dari politik. Di ruang politik dikelola suatu proses menetapkan kebijakan dalam rangka eksekusi terkait kehidupan warga dalam suatu negara. Indonesia memilih demokrasi sebagai model politiknya.
Demokrasi mengembangkan kebebasan untuk kebaikan bersama dalam tertib yang membatasi para pelaku demokrasi itu sendiri. Tertib dipegang teguh demi menjamin kebebasan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan orang atau kelompok lain.
Realitas hari ini di sini, mulai dari rakyat yang berdaulat sampai kepada para elit yang berperan mengendalikan lembaga politik, di legislatif dan eksekutif, pada tataran pemahaman saja masih payah. Hal ini terjadi sangat dipengaruhi oleh primitivisme pola pikir yaitu ‘syahwat menundukkan’ yang bila diurai ‘terpenting (saya atau kelompok) berkuasa dulu, agar bisa berbuat apa saja”.
Rupanya, ada ‘salah-guna’ terhadap apa yang digambarkan oleh Dhal bahwa, “demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tak tertandingi oleh sistem politik apa pun” (Diamon, 2003: 3). Akibatnya, pesan bahwa “perubahan akan efektif bila dimulai dari pola pikir” dianggap kuno dan cepat-cepat terbunuh oleh ‘instanisme’.
Jadi, sangat mudah dipahami mengapa perubahan dari otoriterianisme ke demokrasi menyusul runtuhnya pemerintah Orde Baru (Mei 1998), berjalan begitu lamban. Di berbagai bidang banyak yang tak sejalan dengan “kebebasan yang tertib” seperti dipersyaratkan untuk berdemokrasi.
Reformasi terus dibayangi-bayangi oleh “yang lama belum tuntas, sementara yang baru kian menjauh”. Setelah 22 tahun bereformasi dalam amuk gaduh eforia demokrasi, pasti bohong bila dikatakan tak ada perbaikan.
Namun, tujuan negara menyejahterakan rakyatnya, memang terasa kian kabur akibat sejumlah anomali, termasuk korupsi di tubuh Polri yang kontraproduktif terhadap kehendak reformasi.
Di tahun 2017, sosiolog Unas Jakarta, Dr. Aris Munandar dalam perbincangan dengan saya mengatakan, “demokrasi dan demokratisasi berpeluang terbuka sebagai pilihan masyarakat dalam bertindak atau sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan bersama dalam kehidupan kolektif, mencakup ekonomi, sosial, budaya dan politik. (“Go1Juli”, 2017: 8).
Menjadi tak mengherankan bila kemudian, orang diam-diam menyangsikan, ‘sebal’ atau apatis dengan demokrasi dan segala turunannya. Bahkan, sampai ada semacam kemunduran berpikir bila tidak ingin dikatakan suatu absurditas, ketika tampil anekdot “isih kepenak jaman ku, to le?”. Maksudnya, “masih enak di zamanku (era Orde Baru, pen), kan buyung?”.
Adalah kenyataan bahwa postur pemerintah sekarang dibangun oleh suatu koalisi politik, yang amat longgar terhadap orang-orang representasi Parpol dan kelompok kepentingan, mulai dari eksekutif sampai ke BUMN-BUMN.
Juga, seiring dan sebangun dengan di legislatif. Menjadi polisi sipil sejak UU No. 2 tahun 2002 diundangkan pada 8 Januari 2002, Polri juga ada dalam gerbong reformasi semacam itu. Sehingga, sekuat apa pun Polri –yang juga belum selesai dengan dirinya-- untuk berubah, ia tetap saja bagian atau representasi dari negara dengan pemerintahannya.
Baca juga: Menjadi Kapolri Bukan Coba-Coba
Kombes Pol. Pur. IGM Dirgayu dalam disertasi berjudul “Polri di Tengah Dinamika Poltik Pasca Orde Baru (2000- 2016)” menulis, Polri menjadi pusaran tarik-menarik elit yang ingin meraih kekuasaan agar Polri berada di bawah kontrol kekuasaannya.
Kondisi yang demikian itu tidak terlepas dari intervensi elit politik terhadap institusi Polri terutama dalam menentukan pucuk pimpinan Polri melalui proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri (Unas, 2009: 25).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur adanya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang antara lain bertugas “memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri” (Pasal 38 b).
Kompolnas (2020-2024) beranggotakan sembilan orang, dengan komposisi masing-masing tiga orang dari unsur pemerintah yaitu Menko Polhukam (ketua), Mendagri (wakil ketua), Menkumham; dua pensiunan jenderal polisi dan seorang pengajar STIK - Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian; dan perwakilan tokoh masyarakat yaitu Yusuf, Muhammad Dawam, dan Poengky Indarti.
Kompolnas setelah antara lain mendengarkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wajakti) Polri, dan kalangan purnawirawan Polri, memasukkan lima nama jenderal bintang tiga untuk dipilih-pilih oleh presiden, siapa yang pantas dan patut dicalonkan menjadi Kapolri.
Mereka yakni Arief Sulistiyanto (AS), lulusan Akpol 1987, dan kini Kepala Lemdiklat Polri, Gatot Edy Pramono (GEP, Akpol 1988A, Wakapolri), Boy Rafli Amar (BRA, Akpol 1988A, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/ BNPT), Agus Andriyanto (AA, Akpol 1989, Kebaharkam Polri), dan Listyo Sigit Prabowo. Lulus Akpol paling yunior tahun 1991, Sigit kini Kabareskrim Polri.
Kelimanya adalah polisi yang banyak berkarir di bidang reserse. Tetapi, yang dituntut dari seorang Kapolri adalah kapasitas manajerial kepemimpinan. Dengan itu, membuatnya mampu mengendalikan organisasi besar beranggota sekitar 500 ribu Bhayangkara yang kuat, tegas, prima namun humanis memberi pelayanan hukum kepada masyarakat.
Mereka ada mulai dari Mabes Polri hingga ke desa-desa. Parameternya, bukan adu ‘banyak-banyakan’ menangani kriminal, tapi masyarakat terayomi dan terjamin rasa amannya.
Masuknya lima nominator dari Kompolnas kepada presiden disusul oleh munculnya nama Sigit sebagai calon Kapolri, layak dipandang oleh semua perwira khususnya Pati penyandang bintang tiga sebagai ’ouput’ dari kompetisi dalam pengertian semacam sebuah pertandingan.
Jadi, bukan persaingan yang menghalalkan segala cara, seperti digambarkan oleh Dirgayu, “... tak jarang pati (perwira tinggi, pen) Polri yang berpotensi menjadi calon Kapolri akan berupaya dengan caranya sendiri untuk masuk dalam kontestasi jabatan Kapolri dengan melakukan pendekatan dan komunikasi intensif dengan elit Parpol dan elit DPR serta Kompolnas, untuk mendapatkan restu dukungan (Unas, 2009: 28).
Para komjen yang dinominasikan itu, bila dilihat dari senioritas kepangkatannya kini, ternyata bervariasi dan tidak berurutan sebagaimana tahun kelulusan mulai dari 1987, 1988, 1989, dan 1991. Jadi tampak bahwa, kelulusan lebih dahulu dari Akpol, tidak memengaruhi kecepatan mencapai level jenderal.
Demikian pula dengan pengalaman menjadi Kapolda. Menjadi kapolda itu identik pernah memimpin wilayah hukum provinsi berikut ribuan anggota yang tersebar mulai dari Polda sampai ke Polsek-polsek. Tentang ‘track record’ selama berkarir di Polri, sulit untuk dikibuli karena memang terdata resmi.
Baca juga: Korupsi Menggurita, Ini Solusinya
Tentang Sigit, dia meraih bintang tiga di tahun 2019. Tahunnya sama seperti dua seniornya, GEP dan AA. Bahkan BRA baru tahun 2020. Paling senior baik capaian komjen dan lulus dari Akpol adalah AS.
Konon, lamanya rentang waktu kenaikan pangkat di atas komisaris polisi (kompol) hingga jenderal, menyesuaikan pada pendidikan, prestasi, jabatan, dan hasil ‘assessment’ (penilaian). Tentang hal ini, sering terdengar gurauan di kalangan perwira, “Di sinilah soal nya kenaikan pangkat dan jabatan itu, bisa cepat, bisa pula lambat.
Nah, kalau sudah jenderal, lain lagi urusannya.” Keterbukaan, apalagi untuk urusan karir di dunia sipil, memang masih harus lebih luas dan luwes. Tak bisa dengan komunikasi hardik!
Dari gambaran tersebut, tampaknya, Presiden ingin meminimalisasi persaingan di antarsesama tahun kelulusan Akpol. Ini banyak diakui oleh sejumlah perwira menjadi semacam ‘fanatisme kelompok tahun kelulusan’.
Sampai di sini catatannya adalah, diperlukan kerendahan hati seorang Kapolri yang kelak memimpin para senior yang menjadi bawahannya. Untuk keleluasaan usia, memang, Sigit masih memiliki masa tugas terpanjang. Ia baru akan pensiun sekitar tujuh tahun lagi.
Secara keseluruhan para bintang tiga yang dinominasikan, baru akan memasuki masa pensiun tiga - lima tahun lagi. Artinya, dari sudut usia, semuanya memadai bagi masa kepresidenan Jokowi hingga 2024.
Tapi, pergantian Kapolri ‘di tengah jalan’, baik dengan hormat maupun sebaliknya, bisa saja terjadi. Pasal 30 (1) UU No. 2 tahun 2002 mengatur hal itu.
Kekitaan
Kelima nominator dipastikan memenuhi kriteria, “calon Kapolri adalah perwira tinggi aktif dengan memerhatikan jenjang kepangkatan dan karir” (Pasal 11 (6) UU Kepolisian). Kini Sigit tinggal menunggu jadwal DPR RI untuk uji kelayakan dan kepatutan (UKK).
Selanjutnya, setelah meng-UKK Sigit, hasilnya dibawa ke Paripurna untuk memperoleh keputusan akhir DPR. Kemudian, akan dikembalikan ke Presiden untuk ditetapkan Kapolri definitif pengganti Idham.
Memang, dua tiga bulan terakhir tentang siapa calon Kapolri baru, hangat dibincangkan oleh politisi di luar dan dalam DPR, juga para pengamat. Bahkan ada pula tokoh agama yang selayaknya arif, malah muncul di media gampang ditafsir ‘membingkai’ (‘framing’) tak layak menjadi Kapolri mengingat kondisi mayoritas umat.
Ada yang mengunggulkan, tapi ada pula yang sebaliknya menegasikan lewat sentimen-sentimen identitas pengundang emosi. Demokrasi didukung kemajuan teknologi informasi, telah membuka luas akses untuk lebih cepat memainkan jari di atas “pad” telepon pintar ketimbang berpikir.
Tak kalah menarik perhatian suara-suara dari Banten di media. Banten adalah provinsi tempat Sigit sekali menjadi Kapolda selama dua tahun (2016-2018). Provinsi Banten yang berada dalam wilayah hukum Polda Banten yaitu Kota Serang dan Cilegon, selain empat kabupaten yakni Serang, Tangerang, Pandeglang, dan Lebak.
Baca juga: Bu Mensos Risma yang Offside
Khusus wilayah hukum Kota Tangerang dan Tangerang Selatan plus beberapa kecamatan dalam Kabupaten Tangerang, berada di bawah Polda Metro Jaya.
Di awal-awal tugas di “Bumi Beribu Santri, Beribu Ulama” itu, ia ditolak lewat demo-demo hanya karena dia non-muslim. Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Quran ‘Daarul Hamiid’ Serang, Ki H. Embay Mulya Syarif, adalah saksi hidup bahwa Sigit membuktikan bahwa dirinya adalah sosok Indonesia yang bekerja cerdas.
Tak kenal menyerah untuk kebaikan. Ia mampu mendekatkan diri dan menembus sekat-sekat hubungan antarmanusia. Hingga akhirnya ia diterima oleh semua kalangan di Banten. Kekhawatiran di awal, malah tak terbukti.
Justru ia dipercaya selama dua tahun memimpin Polda Banten. Kalangan pesantren, santri, ormas, jawara, demikian juga terutama ulama mendukung kepemimpinannya di Polda Banten.
Kini, tiga tahun kemudian, saat menggema kabar Sigit dicalonkan menjadi Kapolri, ia kebanjiran dukungan dari berbagai kalangan di Banten. Selain Ki Embay, juga Ketua MUI Provinsi Banten, K.H. Dr. A.M. Romly dan banyak lagi yang lainnya seperti Ketua MUI Pandeglang, Tangerang dan sejumlah pimpinan pondok pesantren di Banten memberi dukungan kepadanya.
K.H. Abuya Muchtadi, kiyai kharismatik yang amat disegani di Banten juga mendukungnya. “Dia pantas menjadi pemimpin Polri. Sebagai rakyat biasa, saya mendukung di belakang saja. Selama memimpin Polda Banten, dia diterima oleh semua kalangan,” ujar kiyai yang selalu rendah hati ini.
Dukungan-dukungan itu harus dilihat sebagai penguat di satu sisi, tapi di sisi lain jelas menantang bahwa dia memang bisa memimpin Polri untuk kepentingan orang se-Indonesia.
Banten, tempat Sigit dulu menjadi Kapolda, adalah miniatur Indonesia. Banten jaraknya cuma sepelemparan batu dari Ibu Kota Jakarta. Apa yang yang membahana di Jakarta akan segera pula terasa getarnya di Banten.
Contoh paling konkret adalah ketika ada suatu gejolak sosial yang ‘dipolitik-politikkan’ seperti tentang perburuhan atau lainnya. Di Banten mayoritas penduduk Muslim sebagaimana mayoritas di Indonesia.
Tapi, Indonesia bukan sekadar Banten. Jauh lebih dinamis dan rumit lagi adalah problematika kesejahteraan yang amat potensial memicu seorang Kapolri menjadi sasaran utama tembak terkait keamanan.
Polri memang tidak bisa sendirian menyelesaikan masalah keamanan dalam negeri. Polri patut membuka ruang partisipasi masyarakat, tapi bukan pembenaran untuk, misalnya, serta-merta menuding bahwa rakyat tidak memberi dukungan. Bangsa ini hidup di antara individualisme dan kebersamaan alias gotong-royong.
Pemberian rasa aman yang ada dalam bingkai hukum, juga tak lepas dari kenyataan itu. Bandul demokrasi gerak kerap tak stabil. Seperti ingin mengingatkan, antropolg Prof. Koentjaraningrat (alm) yang amat dikenal di kalangan intelektual Polri mengingatkan,“…kita semua ingin menjadi lebih makmur dan ingin agar demokrasi kita menjadi lebih sempurna….” (2015: 94). Perjalan menuju makmur itu, butuh ayoman dan jaminan rasa aman, Mas Sigit! (*)