Kisah Pedagang Sapu Lidi Jalanan jadi Guru Ngaji

Nadwa Rifada

Reporter

Minggu, 03 April 2022  /  4:21 pm

Nur Hidayat bersama cucunya yang pandai menghafal dan membaca iqra', Abdillah berusia 10 tahun duduk menjajakan sapu lidi di pinggir jalan. Foto : Nadwa Rifada/Telisik

KENDARI, TELISIK.ID - Kehidupan yang serba berkecukupan adalah keinginan semua orang, mampu membesarkan anak tanpa halangan dan membiayai sekolah mereka hingga mencapai perguruan tinggi tanpa kendala, adalah keinginan setiap orang tua.

Namun, nasib memaksa sebagian orang tua seperti Nur Hidayat harus menerima kenyataan hidup. Sekalipun memiliki keinginan untuk menyelesaikan pendidikan sang anak, ia tidak mampu membiayai sekolah mereka.

Anaknya yang sulung bernama Yanti, hanya bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan ketiga anaknya yang lain, Waode Sri Wati, Laode Harmisi, dan Laode Harsim  pergi merantau.

Setelah ditinggal suami 3 tahun lalu karena stroke, kehidupan Nur Hidayat (58) menjadi jauh lebih sulit. Tidak hanya biaya pendidikan cucunya yang harus menjadi tanggungan, tetapi biaya kehidupan sehari-hari ia dan anaknya yang juga harus menjadi tanggungannya saat ini.

Anak bungsunya, Wanti telah menikah namun akhirnya bercerai. Sebab suami yang terkena liver kerena sering mabuk-mabukan, pada akhirnya membuat Wanti memilih untuk berpisah dan tinggal bersama Ibunya.

Menurut penuturan Nur Hidayat, Wanti malu jika harus ikut berjualan di pinggir jalan, sehingga Wanti hanya ingin membantu membuat sapu lidi dan membiarkan Nur Hidayat yang menjualnya.

bersama satu orang anak dan empat cucunya, Nur Hidayat tinggal di sebuah gubuk jalan Sao-sao, samping Kantor BPK dekat SMPN 9, kompleks pemulung. Bermodalkan Rp 100.000, ia menyewa lahan di tanah orang lain dan membangun gubuk kecil menggunakan tripleks yang dibantu oleh beberapa orang tetangganya.

Pencahayaan di gubuk kecilnya dialirkan oleh tetangganya yang lain, yang bersedia memberikan aliran listrik ke gubuk kecilnya.

"Cahaya lampu, saya dibantu tetangga yang anaknya saya ajar ngaji," 6Kata Nur Hidayat tersenyum.

Nur Hidayat juga seorang guru ngaji, Sekalipun menjadi pedagang sapu, ia masih tetap bisa mengajarkan anak-anak sekitar kompleks mengaji. ada beberapa anak-anak tetangga yang juga mau diajar mengaji olehnya. Saat malam tiba setelah selesai berdagang, Nur Hidayat baru akan mengajar di gubuk kecil miliknya.

Baca Juga: Hidup Menumpang di Lahan Orang, Pemulung Lansia Ini Pernah Dituduh Pencuri

Nur Hidayat sejak bertahun-tahun yang lalu sudah menggeluti pekerjaan membuat sapu. Sapu-sapu yang sering di jualnya di pinggir jalan adalah hasil dari kerajinan tangannya sendiri. Bahan membuat sapunya diambil dari kota yang jauh kemudian diolahnya menjadi sebuah kerajinan tangan.

Semasa gadis, saat masih berada di Ambon ia adalah seorang penjahit. Tidak hanya menjahit, kerajinan lain pun digeluti Nur Hidayat saat itu, seperti membuat kurungan ayam, sapu ijuk dan sapu lidi dari rotan dan bambu. Anyaman lain yang berbahan wol juga bisa dibuatnya menjadi sebuah tas dan kerajinan tangan yang menghasilkan. namun sejak melahirkan 3 orang anaknya, ia lebih berfokus hanya membuat sapu lidi karena lebih mudah.

Kemampuan membuat bermacam-macam kerajinan yang dimilikinya semasa gadis dulu, membuatnya sangat bersyukur karena sampai hari ini ia masih tetap bisa hidup.

"Saya memang hanya tamatan Madrasah Ibtidaiyyah, tetapi ibu saya dulu adalah guru Sekolah Kepandaian Putri (SKP), semua kerajinan tangan yang ibu saya ketahui diajarkan ke saya. Ibu saya meninggal saat saya kelas 6 sekolah dasar (SD). Saya di ajar mandiri sejak kecil. Kerajinan yang diajarkan ke saya menjadi kenang-kenangannya untuk saya," kata Nur Hidayat penuh haru. Sabtu (2/4/2022)

Ia mengemukakan, apa yang ditinggalkan untuknya saat itu, semua adalah hasil ajaran almarhum ibunya dan bisa sangat berguna baginya sampai hari ini.

Suaminya dahulu sebelum meninggal adalah pengganti imam sholat di kantor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). menurut penuturan Nur Hidayat menjadi imam ataupun guru ngaji adalah pekerjaan yang mulia jadi, orang tuanya sejak dulu tidak mengajarkan untuk menerima sepeserpun dari pekerjaan itu.

"Jika tidak ada yang imami sholat di kantor BPK, suami saya yang biasa menggantikan," terang Nur Hidayat.

Mulai dari pagi hingga menjelang sore, ia duduk menjajakan sapu di pinggir jalan. Walau hasil jualan yang kadang tidak menentu tudak membuatnya menyerah.

Baca Juga: Demi Bantu Ekonomi Keluarga, Pelajar Ini Jadi Buruh Pikul di Pasar

Sehari-hari Nur hidayat menjual, selalu ditemani seorang cucunya bernama abdillah (10). Abdillah juga sering diajar ngaji oleh Nur Hidayat.

"An-nas sudah hafal, Al-ikhlas belum," jawab Abdillah saat ditanya Telisik.id surat apa saja yang sudah dihafal.

Suka-duka saat berjualan juga dihadapi Nur Hidayat. Ketika ada saja orang baik yang melintas dan berhenti untuk sekedar memberinya sembako atau uang tunai, Nur Hidayat akan sangat bersyukur. Namun ketika ia harus berhadapan dengan seorang penipu membuatnya pernah berputus asa sehingga harus pulang dengan tangan kosong.

Kejadian tertipu itu diceritakan Nur Hidayat saat ada orang yang datang membeli sapunya, sapu diberikan namun uang tidak diterima. Sang penipu malah meminta kembalian, padahal harga 4 sapu yang harusnya dibayarkan tidak dikasih. saat itu Nur Hidayat yang merasa tidak dalam kesadaran penuh tetap memberikan kembalian dan akhirnya pulang dengan tangan kosong.

Rasa putus asanya karena telah ditipu membawanya pulang tanpa membawakan hasil. Kejadian yang dialami Nur Hidayat sebanyak dua kali ini memberikannya pelajaran untuk lebih berhati-hati terhadap orang lain. (A)

Reporter: Nadwa Rifada

Editor: Kardin