Kisah Pilu Pedagang Kasuami di Pasar Anduonohu Kendari

Boy Candra Ferniawan

Reporter Wakatobi

Jumat, 30 April 2021  /  12:51 pm

Deka saat membuat kasuami (kanan) dan pedagang kasuami (kiri). Foto: Ist.

KENDARI.TELISK.ID - Deka (31) adalah satu dari sedikit pedagang kasuami di Kota Kendari. Tentu tak mudah bertahan hidup hanya dengan mengandalkan hasil dari penjualan kasuami yang tak seberapa.

Tapi Deka tak menyerah. Keputusannya berhijrah ke Kota Kendari tahun 2014 lalu, membuatnya bertekad untuk bisa memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga kecilnya.

Ayah satu anak ini nekat memboyong keluarganya ke Kendari untuk mengadu nasib sebagai pedagang kasuami. Kasuami sendiri merupakan makanan khas dari ubi kayu yang menyerupai tumpeng, berbentuk kerucut. Dengan tubuh kecilnya, setiap hari ia bersama sang isteri berjualan kasuami di Pasar Anduonohu Kendari.

Sehari-hari Deka membuat 50 sampai 100 buah kasuami dengan harga Rp 5.000 per kasuami. Menjadi pedagang kasuami tentu bukanlah pilihan yang menguntungkan baginya. Bahkan kadang dipandang sebelah mata. Namun tak ada pilihan lain bagi Deka selain menjalani dengan ikhlas.

Baca juga: April 2021, DPB Kendari Capai 212.389 Pemilih

Deka mengungkapkan, meski pas-pasan, hidup mereka sekeluarga sampai detik ini bisa terpenuhi berkat dua karung ubi kayu yang harus mereka kupas, cuci, parut dan dibuat menjadi kasuami setiap hari.

“Demi keluarga, sampai detik ini saya mampu bertahan. Pernah kerja di proyek tapi saya tinggalkan karena penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Atas saran ibu saya, akhirnya mulai beralih usaha berjualan kasuami,” tuturnya, Kamis (29/4/2021).

Deka mengungkapkan alasannya memilih meninggalkan kampung halaman di Tomia, Wakatobi, dikarenakan di  desanya tak ada pekerjaan baginya. Sehingga dia memantapkan merantau di Kendari.

Dia berharap bisa pulang kampung setiap hari raya lebaran. Tapi apalah daya, mereka harus memperhitungkan ongkos yang harus dikeluarkan untuk mudik, dikarenakan penghasilan yang tidak seberapa.

Jika dihitung-hitung, penghasilan bersih yang mereka dapatkan hanya sekitar Rp 100 ribuan. Sebab penghasilan yang didapatkan harus disisihkan untuk modal membeli ubi kayu 2 karung per hari seharga Rp 200 ribu. Belum lagi sewa lapak di pasar, dan panjar di setiap toko yang mereka titipkan kasuami.

Baca juga: Tertunda 6 Bulan, Abdurrahman Saleh Terima SK Ketua PODSI Sultra

"Bila mengingat masa sulit, hati saya sangat sedih. Dulu kami harus rela  kehujanan karena tidak ada lapak yang kami miliki. Kadang tidak ada penghasilan sama sekali dalam sehari bila kondisi hujan karena sepi pembeli," ujarnya.

Di awal berjualan kasuami, Deka juga pernah berjualan di Toronipa. Perjalanan kesana biasanya ditempuh sekitar satu jam lebih. Bila hujan, dia terpaksa harus mengikhlaskan kasuaminya tak jadi dijual, dan hanya dibagikan kepada tetangga.

“Di bulan Ramadan, omzet kami menurun drastis dari biasanya. Yang biasanya kami membuat 100 kasoami, tapi sekarang, mengingat kondisi sebagian orang masih menjalankan puasa, maka kami kurangi jadi 50-70 per hari,” ujarnya lagi.  

Menurut Deka, di Kendari sangat banyak penikmat kasuami. Karena itulah, dia bisa tetap bertahan meski dengan penghasilan pas-pasan.

Saat ini Deka beserta keluarga kecilnya tinggal di sebuah kontrakan kecil. Harapannya, lebaran nanti bisa mudik ke kampung halaman. Untuk itu, sejak awal bulan kemarin, dia menyisihkan sedikit keuntungannya untuk biaya berlebaran di kampung. (B)

Reporter: Boy Candra Ferniawan

Editor: Haerani Hambali

TOPICS