Kritik untuk Presiden Jokowi
Kolumnis
Minggu, 21 Februari 2021 / 10:40 am
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
DUA kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kata kritik. Pernyataan pertama diungkapkannya di Hari Pers Nasional. Ia menyinggung mengenai ruang diskusi dan kritik.
Kemudian pernyataan kedua, disampaikan oleh Presiden Jokowi dengan menyebut “masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik,” yang disampaikannya saat memberi sambutan pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, beberapa minggu lalu.
Kritik sejatinya tidak melulu dianggap buruk. Makna kritik secara politik dapat diartikan input (masukan) berupa tuntutan dari masyarakat. Selain, input yang lebih populer dianggap sebagai dukungan dari masyarakat. Dukungan terhadap institusi pemerintah dan terhadap output yang sedang dibahas maupun yang telah dihasilkan.
Namun, pernyataan Presiden Jokowi ini disampaikan bukan sekadar ingin masyarakat menyalurkan kritik, merespons kerja pemerintah, maupun memberikan feedback terhadap pengelolaan pemerintahan.
Tetapi juga karena adanya keinginan pemerintah memperoleh dukungan, popularitas, bahkan menampilkan wajah pemerintahan sekarang ini sebagai rezim demokratis. Meski begitu, tak mudah mengelola popularitas pemerintahan saat ini yang lagi ter-nina-bobo-kan oleh pengikut-pengikut fanatiknya.
Baca juga: Konstruksi Praksis Politik Pilkada 2020
Pengelolaan Pemerintahan Jokowi
Merujuk terhadap Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang beberapa minggu lalu merilis dan menyampaikan Laporan Indeks Demokrasi 2020. Indonesia dalam rilisnya menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi dengan skor 6.3.
Dari segi peringkat, Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor mengalami penurunan dari yang sebelumnya 6.48. Skor ini menunjukkan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dimasukkan dalam kategori sebagai negara dengan demokrasi cacat, (http//www.dw.com).
Tentu saja Skor Demokrasi tersebut yang membuat pemerintah mulai bercermin kembali. Presiden Jokowi memang kurun tiga tahun telah mendapat stigma, bahwa ia memerintah dengan cara represif.
Jokowi juga sudah melontarkan banyolan bernada bantahan, sejak 2017 lalu, dengan menyatakan bahwa wajah seperti dia tak mungkin bisa dianggap diktator. Memang jika kita sepintas melihat Presiden Jokowi, sangat diragukan ia adalah presiden diktator, apalagi bertindak represif. Tapi tentu saja, asumsi ini tidak sepenuhnya benar.
Presiden Jokowi jelas menunjukkan dirinya ingin bekerja dengan serius. Ia ingin berkontribusi nyata untuk masyarakat. Bahkan, berkali-kali Jokowi menyatakan bahwa periode kedua ia memimpin dengan tanpa beban.
Keinginan Presiden Jokowi ini tentu saja tidak mudah dilakukan. Sebab, sejak Pilkada 2017 lalu, Indonesia mengalami proses demokrasi yang kebablasan. Artikulasi politik ekstrem mewarnai perpolitikan yang pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Merujuk kepada Alfian, ia dengan bahasa yang sederhana namun menohok. Alfian menjelaskan mengenai komunikasi politik dalam sistem politik anarki (1991). Berdasarkan Pernyataan Presiden Jokowi mengenai artikulasi politik ekstrem, yang menunjukkan bibitnya sempat ditebar dan tumbuh di Indonesia.
Telah terjadinya keterbukaan atau kebebasan yang nyaris tak terbatas dan tak terkendali yang merangsang orang atau golongan untuk menjadi terobsesi dengan ideologinya. Lalu, memperkuat aspirasi dan kepentingan masing-masing.
Sehingga yang terjadi adalah mengembangnya suasana curiga dan permusuhan di masyarakat (Alfian, 1991). Hal ini dapat terjadi karena ideologi kebersamaan yakni nilai-nilai Pancasila mengalami pemudaran rasa memiliki dan wujud implementasi nyatanya di masyarakat.
Proses Pemilu Serentak 2019 lalu, bahkan mempertajam terjadinya pembelahan di masyarakat, antara pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo. Kesadaran bahwa pemerintah tak akan bekerja maksimal, jika masih kuatnya nila-nilai ekstrem di tengah masyarakat.
Langkah inilah yang menyebabkan Presiden Jokowi melakukan upaya untuk merangkul lawan politiknya. Semua akhirnya, bersama-sama berada di pemerintahan, bekerja untuk pemerintah dengan didasari semangat Persatuan dan Kesatuan Indonesia.
Tetapi, di sisi lain. Betapa sulitnya meminimalisir nilai-nilai ekstrem yang bertentangan dengan nilai Pancasila sebagai dasar negara. Inilah yang menyebabkan Presiden Jokowi memilih untuk membubarkan organisasi yang dinilai ekstrem tersebut.
Karena sulit untuk menyamakan persepsi dalam bernegara. Ketika kekuatan itu telah menganggap dirinya benar, sehingga tidak mungkin mereka mau mendengar. Akhirnya, tindakan pemerintah, menyebabkan wajah demokrasi Indonesia mengalami penurunan indeks demokrasi.
Baca juga: Maju Mundur Jadwal Pilkada Lanjutan
Dua Wajah Pemerintah
Presiden Jokowi dalam memerintah layaknya sebagai penguasa politik, ia memainkan dua wajah secara bersamaan. Presiden Jokowi ingin memperoleh citra yang baik sebagai penguasa politik. Pemerintahannya yang dijalankan dua periode ini ingin diselesaikan dalam kadar demokrasi yang substantif.
Tetapi Presiden Jokowi melupakan kebutuhan dukungan elektoral di masa kampanye pemilu lalu. Yang tidak hanya dibangun melalui dukungan politik berdasarkan kumpulan partai politik semata.
Namun, turut pula membentuk berbagai kekuatan untuk memperoleh dukungan secara elektoral di masyarakat, melalui berbagai macam organisasi masyarakat. Memang secara tampilan dianggap sebagai relawan. Tetapi secara politik, relawan ini, tentu diinisiasi oleh elite politik dengan adanya kepentingan, tak mungkin sepenuhnya tanpa pamrih.
Kita masih ingat bahwa Presiden Jokowi rela mengabaikan hak prerogatifnya memilih para pembantunya di kementerian dengan memberikan jatah wakil menteri kepada organisasi relawan pendukungnya di Pemilu Serentak 2019 lalu.
Bukan hanya kursi wakil menteri, jika ditelusuri maka kursi BUMN dan Duta Besar, terkesan lumrah untuk dibagi-bagi kepada para pendukungnya, baik dari kelompok partai politik maupun relawan.
Layaknya penguasa politik, yang diibaratkan Dewa Janus, yang bermuka dua, seperti disampaikan oleh Maswadi Rauf (2001).
Penguasa politik memainkan peran dua wajah sekaligus, yakni konflik dan integrasi. Ia sebagai penindas dan pelindung, penyalahgunaan kekuasaan dan pencipta ketertiban.
Inilah lakon yang bisa dimainkan oleh Presiden Jokowi. Ia mengetahui di era kemajuan teknologi.
Utamanya media sosial membuka peluang untuk komunikasi lebih “akrab” dengan publik. Tetapi di sisi lain, media sosial juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan tertawaan atau bahan caci maki di publik.
Situasi inilah yang menyebabkan Pemerintah tak menutup kemungkinan, melakoni, dengan memberi kesempatan, dan membiarkan pengikut-pengikutnya yang fanatik. Lalu, Pemerintah mengabaikan pengawasan ketat, karena kebutuhan untuk terus memperoleh dukungan masyarakat terhadap rezim dan pemerintahan.
Situasi inilah yang menyebabkan Pemerintahan Jokowi utamanya sang presiden, dianggap sedang melakukan pencitraan. Seolah-olah mengharapkan masyarakat memberikan dukungan bahkan kritik, tetapi di sisi lain, membiarkan para pengikutnya yang taklid buta membuat yang bersuara sumbang akan menyusahkan dirinya. Inilah yang suka tidak suka, Presiden Jokowi harus segera menertibkan pengikutnya.
Baca juga: Revisi UU Pemilu hanya Memperluas Kekuasaan
Kritik dalam Saran untuk Presiden Jokowi
Memberikan kritik terhadap Pemerintah, maupun Presiden Jokowi semestinya tidaklah dianggap sebagai bentuk kebencian, apalagi dikategorikan sebagai bentuk komunikasi politik ekstrem.
Pemerintah perlu mendapatkan respons dari masyarakat, berupa tuntutan dan dukungan. Bukankah pemerintahan yang tenang tanpa kritik, menunjukkan pemerintah sedang menggunakan cara-cara represif, bisa saja malah menerapkan tangan besi.
Sebagai bentuk konsisten, sudah semestinya, Presiden Jokowi melakukan langkah-langkah untuk menunjukkan keluhuran hati melibatkan masyarakat dalam menjalankan kekuasaannya.
Langkah ini dapat dilakukan dengan cara: Pertama, Presiden Jokowi perlu memanggil organisasi-organisasi yang memang sebagai pendukung pemerintah, maupun elite-elite politik dari pendukung pemerintah, yang malah melakukan tindakan tidak demokratis. Upaya diskusi dan komunikasi politik itu untuk menyelaraskan persepsi dengan pemerintah.
Kedua, memberikan pengarahan terhadap aparat negara seperti kepolisian untuk lebih selektif dalam merespons laporan masyarakat atas kritik terhadap pemerintah.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu kembali mendengarkan masukan masyarakat, melalui aksi nyata mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat secara langsung. Presiden Jokowi memang menyatakan dirinya, saat ini memerintah dengan tanpa beban.
Tetapi sejatinya, Presiden Jokowi sedang terbebani antara mewujudkan kerja nyatanya dengan mengelola kepentingan dari partai-partai politik pendukung pemerintah, elite-elite politik, dan relawan-relawan dari pendukungnya di Pemilu Serentak 2019.
Sudah semestinya, Presiden Jokowi membagi bebannya kepada masyarakat, membangun dukungan bersama rakyat, agar wajah demokrasi di bawah kepemimpinannya benar-benar selaras antara wajah demokrasi dan wajah sang Presiden. Demokrasi substantif pun dapat diimplementasikan dengan senyatanya. (*)