Langgar Zonasi Tangkap, Dinas Kelautan Muna Barat Tak Bisa Tindak Nelayan Pengguna Perre-Perre

Putri Wulandari

Reporter Muna Barat

Sabtu, 20 Januari 2024  /  1:16 pm

Dinas Kelautan dan Perikanan Muna Barat menanggapi keluhan nelayan Katela dan menyebut alat tangkap perre-perre diduga melanggar zonasi tangkap tradisional. Foto: Kolase

MUNA BARAT, TELISIK.ID - Nelayan Pulau Katela resah. Pengoperasian alat tangkap perre-perre mengancam sumber pendapatan nelayan tradisional. Pasalnya, alat tangkap itu mampu mendeteksi keberadaan kerumunan ikan, karena dilengkapi dengan GPS dan daya lampu yang sangat tinggi.

Keluhan itu disampaikan oleh salah satu nelayan, Edi. Dia meminta agar dinas terkait serius menyelesaikan keluhan para nelayan di Pulau Katela, karena ini menyangkut kelangsungan hidup nelayan.

"Kami hanya mengandalkan hasil tangkap ikan, karena kalau berkebun tidak memiliki lahan," ujarnya.

Nelayan lainnya, Mustamin mengatakan, alat tangkap tersebut sangat berbahaya. Selain menurunkan penghasilan nelayan sekitar, juga mampu mengurangi ekosistem laut akibat penangkapan ikan  yang berlebihan.

Pasalnya, alat tangkap tersebut mampu menghasilkan ikan mencapai ratusan kilogram bahkan mencapai kurang lebih satu ton.

"Sehingga ini membuat kami para nelayan resah," ujarnya.

Baca Juga: Hasil Nelayan Turun, Alat Tangkap Perre-Perre di Muna Barat Mengancam Ekosistem Laut

Kepala Bidang Alat Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Muna Barat, Saluddin mengatakan bahwa alat tangkap jenis perre-perre diduga melanggar zonasi wilayah tangkap, sebab masuk di wilayah nelayan tradisional, sehingga bisa diproses hukum.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 136 Tahun 2022, menyatakan bahwa wilayah alat moderen seperti alat tangkap tersebut masuk dijalur 1 B atau sejauh empat mil dari pulau terdekat.

"Satu mil itu sejauh 1,6 kilometer, jadi kalau empat mil, berarti wilayah penangkapan alat tangkap itu harus sejauh 6 kilometer lebih dari pulau terdekat," terangnya, Jumat (19/1/2024).

Namun, yang memiliki kewenangan terkait hal tersebut adalah Pemprov Sulawesi Tenggara. Pemda Muna Barat hanya sebatas melakukan pembinaan misalnya proses mediasi yang telah dilakukan sebelumnya, hal ini merujuk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 bahwa kabupaten tidak punya wilayah laut. Olehnya itu urusan izin, pemanfaatan ruang laut, itu ada di provinsi.

Pihaknya telah menyampaikan secara lisan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Kabid Pengawasan. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut, sehingga pihaknya mengaku susah untuk mengambil tindakan.

"Karena permasalahan ini dialami oleh masyarakat kita, maka kita lakukan pembinaan pada kelompok masyarakatnya saja, tetapi pemanfaatan ruang lautnya ada di provinsi," terangnya.

Selanjutnya, nelayan Desa Katela juga pernah mengamankan alat tangkap perre-perre karena masuk wilayah tangkap nelayan tradisional Desa Katela. Namun pemilik perre-perre tidak terima dan langsung melaporkan nelayan Desa Katela ke Polsek Tiworo Kepulauan.

Baca Juga: Nelayan Dilarang Tangkap Ikan Oktober Mendatang, Ini Sebabnya

Kendati demikian, pihak DKP juga masih menunggu informasi terkait penyelesaian masalahnya. Tetapi jika berbicara soal pokok masalah, harusnya pihak kepolisian juga mengundang pihaknya supaya bisa dijelaskan secara teknis bahwa masalah ini sudah pernah dilakukan mediasi, namun pemilik alat tangkap perre-perre tidak pernah hadir dalam proses mediasi.

Kemudian soal mengamankan alat tangkap itu, nelayan desa katela sudah melakukan langkah yang tepat karena telah masuk di wilayah tangkap tradisional dan otomatis telah melanggar, meskipun oknum tersebut tidak menghadiri proses mediasi.

Berdasarkan Permen Kelautan Nomor 137 Tahun 2022 itu jelas, bahwa perre-perre adalah alat tangkap dengan kategori ramah lingkungan, tetapi jalurnya lain karena lampunya terlalu besar, maka jalurnya satu B ke atas atau empat mil ke atas.

Alat tangkap ini sama dengan bagang, hanya memang dia berkapasitas lampu. Selain itu juga menggunakan alat-alat yang diketahui, namun menurut nelayan Desa Katela jika pengguna alat tangkap tersebut sudah selesai menangkap di wilayah Katela, kadang kala banyak ikan yang mati.

"Makanya perlu penyelidikan, jangan sampai mereka menggunakan strom dan sebagainya, alat tangkap itu juga berbahaya," tukasnya. (A)

Penulis: Putri Wulandari

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS