Pergeseran Peran Rekrutmen Politik

Efriza

Kolumnis

Sabtu, 21 Mei 2022  /  9:32 am

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

POLITISI partai tentu saja meradang melihat fenomena figur profesional yang tentunya non-partai mulai mendapatkan apresiasi dan respons positif berupa elektabilitas yang dianggap pantas sebagai calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Serentak 2024 mendatang.

Kritik disampaikan Masinton memang ditujukan kepada salah satu menteri di kabinet sekarang ini. Kritik yang disampikan Masinton menunjukkan kecemasan politisi partai, sebab bandul politik bergerak condong kepada calon profesional yang bukan orang partai. Menguatnya penerimaan masyarakat terhadap figur profesional yang tanpa partai bukan tanpa sebab, hal ini yang menarik untuk dibahas.

Akar permasalahan Indonesia sejak reformasi menguatnya partycracy, yang dari sisi konsep politik tidaklah salah tetapi dari sisi prakteknya yang cenderung merusak. Kedaulatan yang ditekankan kepada rakyat, lambat-laun kedaulatan telah pindah berada di tangan partai politik. Semua kanal politik dikuasai partai politik.

Menariknya, ketika kepercayaan diberikan porsi terbesarnya kepada partai politik, ternyata partai politik malah gagal menjalankan fungsi dan perannya dalam melakukan rekrutmen politik. Akhirnya, Demokrasi yang mengedepankan kompetisi dan kesempatan yang terbuka bagi banyak orang, bahkan terciptanya rekrutmen politik terbuka agar terjadinya rotasi kekuasaan dilakukan secara teratur dan damai, malah terkesan sulit mewujudkan bagian elemen dari demokrasi tersebut.

Sebab, terkait mengeni rekrutmen politik yang terdesain dan disampaikan kepada publik bahwa sulitnya mencari figur Capres/Cawapres yang terbaik. Sehingga akhirnya, seolah adanya kekosongan figur yang layak untuk memimpin Indonesia. Dianggap sebuah hal yang perlu diterima oleh masyarakat, sehingga yang terjadi adalah ketika calon yang didorong oleh partai politik sebagai kandidat Capres/Cawapres malah berkonotasi 4L yakni: loe lagi, loe lagi.

Pembuatan undang-undang juga direncanakan sekaligus dirumuskan oleh politisi partai yang menduduki jabatan di suprastruktur politik seperti legislatif dan eksekutif, maka wajar jika tak berjalannya rekrutmen politik dan terciptanya kompetisi. Contohnya, aturan presidential threshold 20 persen, hingga ditutupnya peluang calon independen maju sebagai Capres/Cawapres.  

Terkait calon independen, ketika membuat resah pikiran dan perasaan politisi. Mereka malah memunculkan bahasa baru yakni calon perseorangan. Calon perseorangan dianggap lebih tepat di dalam iklim demokrasi, maksudnya orang yang non-partai tetap diberikan kesempatan untuk maju sebagai Capres/Cawapres tetapi dengan prosedur konstitusional yakni melalui partai politik. Sebab partai politik adalah bagian dari elemen demokrasi itu sendiri.

Figur profesional tidak memiliki resistensi besar terhadap partai politik dan demokrasi. Figur profesional juga terbuka untuk diusung oleh partai politik. Sehingga, kran kebebasan masyarakat dalam demokrasi untuk terlibat dan konsistensi perebutan kekuasaan tetap dapat memunculkan banyaknya calon terbuka. Hal ini yang diungkapkan politisi ketika menolak usulan capres/cawapres non-partai, hal ini dibuktikan dengan naiknya Boediono sebagai Wapres.

Baca Juga: Kiai Pondok Pesantren jadi Rebutan

Kegagalan Kinerja Partai

Ketika era reformasi memilih kembali sistem multipartai. Perdebatan yang menyertainya, bahwa sistem multipartai dianggap tepat diterapkan dalam masyarakat yang luas dan juga masyarakatnya bersifat heterogen, sehingga masyarakat banyak yang diwakili oleh mereka. Ironinya adalah kesempatan partai politik dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk mengajukan Capres/Cawapres ternyata dikikis dengan nama koalisi dan juga keterpilihan di parlemen karena berhasil memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Sayangnya, ketika partai semakin dipercaya oleh publik. Tetapi nyatanya, partai malah menghasilkan rematch di Pilpres pada tahun 2019 mengikuti seperti pada periode 2014 lalu. Dengan jarak sekira satu jam saja, nyatanya figurnya adalah 4L (loe lagi, loe lagi), Disamping juga terbangunnya dinasti politik bahkan fenomena calon tunggal di beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Lebih ironinya lagi bahwa partai politik dalam memutuskan calon maupun pasangan calon, malah ditetapkan di menit terakhir. Padahal nama-nama yang beredar sebagai Capres/Cawapres maupun pasangan Capres/Cawapres sudah beredar sejak lama. Nyatanya, keputusan tetap dilakukan dalam situasi serba mepet, tetapi tetap yang ditetapkan Capres/Cawapres atau pasangan Capres/Cawapres tersebut.

Dengan sebuah keputusan yang dipaksakan tersebut, pernyataan mengenai pembicaraan nama Capres/Cawapres maupun pasangan Capres/Cawapres itu disampaikan bahwa pengambilan keputusannya perlu dilakukan dengan matang. Padahal jika kita telusuri dan pelajari bahwa pemilihan akan nama itu sebenarnya sudah berlagsung sejak lama, hanya saja prosesnya yang dikesankan rumit, dan bertele-tele.  

Situasi di atas terjadi, karena partai politik terlalu banyak. Sedangkan, banyaknya partai politik tidak berbanding lurus dengan hasil kinerjanya. Sebab, permasalahan diatas ditenggarai adalah kenyataan mengenai kegagalan partai berperan nyata bagi masyarakat dalam mempersiapkan calon pemimpin. Kegagalan partai politik dalam fungsi rekrutmen itulah yang digantikan perannya oleh masyarakat sipil, dengan mendorong sosok independen (profesional) dilirik oleh partai politik.

Peralihan Politik dari Partai ke Masyarakat Sipil

Fenomena partai politik tidak memainkan peran besar dalam fungsi rekrutmen politik, menyebabkan peralihan politik dari partai politik kepada Masyarakat Sipil. Masyarakat juga antusias terlibat dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden. Masyarakat juga antusias membentuk simpul relawan, juga hadirnya kekuatan masyarakat sipil dalam mendorong sosok profesional dengan melibatkan diri dan terlibat dalam proses politik kandidasi Capres/Cawapres atau pasangan Capres/Cawapres.

Jika kita pelajari dan simak dengan teliti bahwa masyarakat mendasari pemilihan Capres/Cawapres non-partai yang dinilai adalah prestasi dan kinerjanya. Popularitas, elektabilitas, dan persepsi positif atas kinerjanya yang menguatkan mereka dalam perhitungan sebagai Capres/Cawapres pada Pemilu 2024 mendatang, sebut saja sosok seperti figur Erick Thohir, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

Baca Juga: Puan Maharani sebagai Cawapres

Patut dicatat bahwa, tak semua figur profesional yang bekerja baik memperoleh dukungan elektabilitas, seperti Sri Mulyani, Tito Karnavian, Yaqut Cholil Qoumas, dan Retno Marsudi, nama-nama yang populer tetapi tidak memperoleh respons positif yang tinggi dari masyarakat.  

Figur non-partai bahwa mereka memang populer dan juga didukung elektabilitas yang cukup, tetapi mereka sejatinya tetap butuh partai politik, karena persyaratannya yang berhak mengajukan capres/cawapres adalah dari partai politik maupun gabungan partai politik.

Sehingga mereka yang sukses dan dapat dukungan dari masyarakat, sebenarnya malah bagus bagi iklim politik sebab kompetisinya menjadi sehat antara figur dari kader partai dengan figur dari non-partai.

Jika kita simak dengan sesama bahwa elektabilitas figur non-partai yang malah didukung masyarakat menunjukkan rakyat Indonesia mulai menyadari akan politik, dan ini juga baik untuk menggugah partai politik agar mereformasi diri supaya tidak mempersiapkan figur seorang calon hanya berdasarkan trah keluarga semata, maupun jabatan ketua umum semata. (*)