Siswa SDN Lagole Wakatobi Berkebun Sawi
Penulis
Selasa, 30 Desember 2025 / 1:27 pm
Kebun sekolah menjadi ruang praktik. Siswa belajar dari tanah, bukan sekedar dari buku. Foto: Ist.
WAKATOBI, TELISIK.ID - SDN Lagole di Kabupaten Wakatobi kini punya ritme baru. Sekolah kecil ini hanya memiliki lima siswa di kelas enam, tetapi suasananya hidup. Hampir setiap pagi sebelum bel berbunyi, mereka sudah hilir mudik menenteng ember. Ada yang masih menguap, ada yang saling menggoda sambil berebut air. Seragam masih rapi, tapi tangan sudah siap kotor. Di samping kelas, deretan tanaman sawi tumbuh subur.
Kebun itu lahir dari pelajaran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Mulanya Nuriadin, guru pendamping, meminta Liana, Nova, Anggun, Nisa, dan Divan meninjau halaman sekolah. Mereka diminta menyebutkan apa saja yang bisa dianggap aset. Jawabannya beragam, dari bambu sampai kelapa. Setelah berdiskusi, dipilihlah tanah.
Itu yang paling mungkin dikelola. Tidak butuh modal besar. Tidak perlu alat rumit. Cukup kemauan dan keberanian untuk mencoba. Lahan yang tadinya dipenuhi singkong dan ubi itu disiapkan ulang. Bambu disusun, bedengan dibuat, dan benih sawi disemai dengan metode yang dipelajari dari guru dan video YouTube. Cara belajar yang diterapkan cukup fleksibel. Siswa menerima penjelasan, melihat contoh, mencoba, lalu memperbaiki.
Tentu saja menanam tidak selalu berjalan mulus. Ayam kampung sering menyelinap dan mencakar tanah. Kebun ini tidak memakai pestisida, jadi kumbang dan ulat betah tinggal di daun muda. Tapi kerusakan kecil begini dianggap sebagai bagian dari proses. Saat bibit sawi mulai layu karena panas, para siswa membuat peneduh dari daun nyiur. Saat ayam masuk lagi, mereka mengusirnya ramai-ramai.
Bagian yang paling disukai adalah kegiatan menyiram tanaman dan panen. Kegiatan menyiram membuat perasaan jadi tenang. Sementara itu, panen memberikan rasa puas. Sejak penanaman pada Agustus 2025, panen pertama dilakukan akhir November. Suasananya menyerupai pesta kecil. Para siswa menyentuh daun yang mereka rawat selama berhari-hari. Seolah tak menyangka, hasil kerja tersebut nyata dan benar-benar bisa dimakan.
Ketika sawi pertama berhasil dijual, rasa percaya diri pun meningkat. Pada awalnya, mereka berkeliling kampung sambil meneriakkan kata “sawi” dengan malu-malu. Setiap teriakan justru disambut tawa sendiri. Dari pengalaman itu tumbuh keberanian. Para siswa belajar bahwa hal yang dilakukan pertama kali sering terasa canggung, tetapi tetap perlu dicoba.
Semua uang hasil penjualan disimpan oleh bendahara kelas, Liana. Ibunya sempat terkejut saat melihat anaknya pulang membawa uang dan meminta Liana mengembalikannya ke guru. Setelah tahu bahwa anaknya mengelola kas kebun, rasa bangga muncul. Sejak itu Liana menjadi anak yang paling cepat bangun setiap pagi untuk berangkat ke sekolah.
Rutinitas kebun membentuk disiplin baru. Setiap pagi jam enam dan sore jam empat, mereka menyiram tanaman. Tidak ada absensi. Tidak ada hukuman bila tidak datang. Semua berjalan karena rasa memiliki. Anak-anak bahkan menegur teman yang masuk kebun tanpa izin. Bagi Nuriadin, perubahan ini terasa jelas.
Energi belajar anak-anak meningkat. Jika semangat mereka diukur dari satu sampai sepuluh, ia mengatakan anak-anak berada di angka sembilan koma lima. Mereka ikut di semua proses. Dari menanam benih sampai menjual hasil panen. Tidak ada yang sekedar numpang nama.
Baca Juga: Masyarakat Baubau Diimbau Tak Pesta Kembang Api Saat Perayaan Tahun Baru 2026
Kegiatan berkebun memberi gambaran nyata bagaimana Kurikulum Merdeka seharusnya bekerja. Kurikulum ini menempatkan guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping proses. Guru merasa lebih bebas bereksperimen dan tidak selalu terikat pada pola kaku. P5 memiliki tema gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, kewirausahaan, hingga rekayasa sederhana.
Kebun ini menggabungkan semuanya dalam bentuk yang bisa disentuh. Anak-anak tidak hanya belajar konsep. Mereka mengalaminya lewat aktivitas harian. Ini yang membuat pembelajaran kontekstual menjadi relevan bagi lingkungan sekitar. Pemilihan sawi juga sesuai dengan pendekatan kontekstual dalam kurikulum.
Di Desa Lagole, masyarakat tidak banyak menanam sawi. Mereka lebih akrab dengan kangkung, pepaya, dan kelor. Jadi ketika anak-anak memilih sawi, mereka juga mempelajari peluang pasar. Masa panennya cepat dan tanah sekolah cocok. Pertimbangan yang sangat rasional. Mereka belajar membuat keputusan yang relevan dengan kebutuhan sekitar.
Tantangan paling berat adalah soal air. Pada musim kemarau, mereka terpaksa mengambil air dari bak warga. Pernah seorang anak terpeleset dan tercebur hingga timba ikut jatuh ke dalam bak. Semua menjerit lalu tertawa sambil mencari kayu untuk mengambil timba.
Pembeli pertama adalah guru mereka, Ibu Ima, sebagai bentuk dukungan. Guru-guru lain ikut membeli. Warga pun ikut karena sawinya segar dan tidak pahit.
Hingga kini uang yang terkumpul sudah hampir lima ratus ribu rupiah. Jika model sederhana seperti ini diterapkan lebih luas, sekolah di desa bisa menjadi titik awal ekonomi kecil yang sehat. Bukan berarti sekolah berubah menjadi pasar, tetapi anak-anak belajar memahami lingkar sederhana produksi dan konsumsi.
Ima melihat perubahan itu sebagai bentuk ekonomi kecil yang memperkuat karakter anak. Mereka belajar tentang proses, disiplin, dan kepercayaan. Menurutnya, anak harus diberi ruang untuk praktek, bukan hanya menerima ceramah tentang tanggung jawab. Jika sesekali mereka salah, itu bagian dari belajar. Model seperti ini membantu guru memahami siswa dengan lebih dekat dan memberi mereka ruang untuk tumbuh, bukan sekadar menilai.
Orang tua juga melihat dampaknya. Liana, misalnya, tetap membantu pekerjaan rumah seperti biasa. Tapi ia lebih sigap bangun dan lebih bersemangat ke sekolah. Ibu Liana bahkan ingin menyumbang bibit jika kebun diperluas. Ada rasa bangga yang mengalir ke keluarga, bukan hanya ke sekolah. Jika kebiasaan seperti ini menyebar ke banyak desa, maka pendidikan tidak hanya berdampak pada siswa, tapi juga pada budaya lokal yang lebih sehat dan produktif.
Anak-anak kini mulai menanam paria pahit sebagai tanaman berikutnya. Mereka memanfaatkan kerangka atap bekas pelindung bibit sawi. Mereka bereksperimen dengan pola tanam tumpang sari. Semua ini dilakukan karena rasa ingin tahu.
Dari proses ini tampak jelas bahwa Kurikulum Merdeka bukan sekadar istilah di dokumen.
Baca Juga: Kebun Merica dan Cengkeh Seluas Satu Hektare Terbakar di Kolaka Utara
Ia menjadi pengalaman yang menggerakkan. Anak-anak belajar membaca lingkungan, mengambil keputusan, bekerja sama, menghadapi kegagalan kecil, dan bangga atas hasilnya. Guru belajar memberi ruang, mengamati, dan mendukung tanpa mendikte semua langkah. Orang tua belajar bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar teori, tetapi tempat membangun karakter.
Desa merasakan geliat kecil ekonomi dan kebersamaan. Ini adalah potret kecil bagaimana pemberdayaan di tingkat lokal, kalau dirawat, bisa menjadi fondasi bagi daya saing bangsa di masa depan.
Pada akhirnya, kebun itu mengubah cara anak-anak memandang diri sendiri. Tangan kecil yang biasanya memegang pensil itu, kini bisa membuat tanaman tumbuh. Mereka yang awalnya malu menawarkan sayur, belajar untuk percaya diri. Dari uang yang berhasil dikumpulkan , mereka belajar mengelolanya bersama.
Anak-anak SDN Lagole belajar menjadi pribadi mandiri melalui pengalaman nyata. Mereka belajar bahwa kepercayaan adalah pintu pertama menuju tanggung jawab. Dan selama pintu itu terbuka, mereka punya ruang luas untuk tumbuh sebagai generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga peduli pada lingkungan, desa, dan masa depan bangsanya.
Penulis: Eka Putri Puisi
Editor: M Nasir Idris
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS