Umbu, Jejak Dedikasi dari Malioboro hingga Pulau Dewata
Reporter
Selasa, 04 Agustus 2020 / 9:39 pm
BALI, TELISIK.ID - Oleh asuhan tangan Umbu, banyak sastrawan besar mencapai takdirnya. Nama-nama seperti Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Suwarna Pragolapati, Joko S. Passandaran dan Arwan Tuti Artha, hingga penyanyi fenomenal Ebiet G. Ade.
Umbu Landu Paranggi lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada 10 Agustus 1943. Menuntaskan sekolah rakyat hingga SMP di Sumba. Lalu SMA ditempuhnya di Yogyakarta, lalu menempuh perkuliahan di ke Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
Pria yang yang khas dengan rambut gondrong itu juga digelari "Presiden Malioboro". Panggailan itu lahir berkat dedikasinya proa dengan garis wajah keras itu menajamkan potensi anah asuhnya.
Persada Studi Klub (PSK) adalah kelas sastra yang diasuhnya itu. Didirikan sejak 5 Maret 1969, di kemudian hari klub ini berhasil melahirkan sastrawan ternama yang mewarnai nuansa sastra nusantara.
Karena itu banyak anak-anak muda yang mau mengasah nalar sastra berkunjung ke klub yang beralamat di jalan Malioboro Nomor 175 A. Umbu memang tertarik membina anak-anak muda. Baginya anak muda punya asa gigih.
"Ya, saya memang mengutamakan orang-orang muda. Mereka bagi saya adalah “binatang yang lain”, yang selalu ingin menggelandang dalam perburuan hidup yang sesungguhnya," tuturnya seperti dilansir dari balairungpress.com.
Cara mengajarnya pun sangat unik. Ia seolah memahami betul bahwa manusia bukanlah gelas kosong yang harus diisi, melainkan api yang hanya perlu disulut sedikit saja akan menari dalam geloranya sendiri.
Baca juga: Ebiet G Ade: Memetik Nadi Jiwa dalam Melodi
Ia kerap memperkenalkan sastra sebagai bagian yang terintegrasi dari kehidupan. Ia sangat lihai menunjukkan bahwa guru terbaik adalah pengalaman.
Seperti dilansir dari tirto.id, Teguh Ranusastra Asmara pernah suatu malam diajak menyusuri Malioboro. Beberapa kali Umbu berhenti dan meminta Teguh mengamati sekelilingnya. Ditunjuknya seorang gelandangan yang tertidur di emperan sebuah toko.
“Dik, itu puisi! Coba amati, rasakan dan renungkan. Bangun puisi dengan suasana malam seperti ini. Cari kata yang sederhana untuk mewakili ide adik," kenang Teguh meniru seruan Umbu.
Umbu sangat memahami anak muda sebagai masa yang berapi-api. Pemuda dengan segala keingintahuannya acapkali "nakal". Di balik semua ia memilih tak ingin memvonis. Ia yakin setiap manusia punya potensi.
"Saya menganggap itu sebagai bagian dari misteri penciptaan. Sayangnya, kita cenderung memvonis mereka. Tak tahu adatlah, tak tahu diuntunglah, apalah orang bilang. Tapi ingat, di balik sikap yang demikian, tersimpan kekuatan yang mengejutkan dan daya kreativitas yang meledak-ledak," teguhnya seperti dilansir dari balairungpress.com.
Karena itu, Umbu selalu mengapresiasi setiap karya anak-anak muda yang bertandang di PSK. Ia menunjukan bahwa setiap karya anak manusia, patut untuk diapresiasi.
“Sebagai tradisi, Umbu meminta yang hadir membacakan puisinya. Maka, enam penyair muda itu mencoba membacakan puisi yang dibawa, terutama yang belum pernah dimuat di media massa," kenang Teguh dilansir dari tirto.id.
Hal yang kerap terlupa dari generasi pendidik saat ini adalah apresiasi kepada setiap potensi anak didik. Hal yang paling penting dari itu adalah membangun kepercayaan diri anak didik. Itulah tiang yang menopang teguhnya potensi mereka di masa yang akan datang.
Gaya yang khas itu telah berhasil membangun iklim sastra yang kreatif. Hal itu senada dengan pengamatan Emha Ainun Najib dan Arwan Tuti Artha seperti dilansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id.
"Sastra Yogya seringkali jadi nostalgik, romantik, dan nyinyir," ungkap Emha. Arwan melanjutkan, "Beberapa sastrawan potensial hanya berhasil memacu dirinya, sedikit mengguncangkan situasi, tetapi tak seorang pun mampu menempati peranan Umbu sebagai ustadz," ucapnya.
Baca juga: Indah Luwu Utara: Kepala Daerah Perempuan Pertama di Sulsel
Tahun 1975, Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogya dan kemudian bermukim di Denpasar, Bali. Di Pulau Dewata tersebut ia tetap melanjutkan dedikasi mendidik generasi muda. Melalui asuhannya di Bali itu ada nama yang turut mewarnai khazanah sastra nasional, antara lain Raka Kusuma.
Hal yang juga inspiratif dan menyentak kesadaran dari sikap Umbu adalah menolak eksistensi dan ketenaran sebagai penyair. Emha mengungkapkan hal itu.
“Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas," demikian Emha dilansir dari tirto.id
Hal yang sama pun diakui oleh Ketua Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2019, Riris K. Toha. Sebagai apresiasi publik atas segala denyut dedikasinya, Umbu dianugerahi penghargaan atas pencapaian sepanjang hayat.
"Selama 50 tahun lebih, tanpa pamrih, tanpa menghendaki panggung dan tanpa jaminan apapun dari masyarakat, dia bekerja hanya untuk membangun kehidupan dan budaya serta siapa Indonesia. Melalui puisi, pembimbingan dan pengembangannya," kata Riris sebagaimana dikutip dari historia.id.
Puisi-puisinya telah tersebar di berbagai media massa seperti Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Pelopor Yogya, hingga Majalah Kolong. Puisi-puisinya juga terbit dalam antologi bersama, Manifes (1968), Tonggak III (1987), Teh Ginseng (1993), Saron (2018) dan Tutur Batur (2019).
Orang-orang menyebutnya sebagai 'pohon rindang' tapi dia sendiri menolak. Ia menyebut dirinya sebagai 'pupuk'.
Laksana pupuk yang menumbuhkan dan menyuburkan tanaman. Dari tempaannya yang penuh dedikasi, ia selalu mampu membentuk sastrawan ternama.
Reporter: Haidir Muhari
Editor: Kardin