Ebiet G Ade: Memetik Nadi Jiwa dalam Melodi

Haidir Muhari, telisik indonesia
Selasa, 28 Juli 2020
0 dilihat
Ebiet G Ade: Memetik Nadi Jiwa dalam Melodi
Ebiet G. Ade, musisi legendaris. Foto: Repro jakarta post

" Mahsyur dengan nama Ebiet G Ade, tenar dengan memetik senar gitar di setiap kali manggung. Sejak akhir 1970-an hingga saat ini. Kurang lebih 50 tahun sudah menggema nusantara dengan dawai gitarnya. "

YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Larik syair, lirik dari petik gitarnya dan khas suaranya, mengalun nadi jiwa. Ia adalah Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, lahir di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 21 April, 66 tahun lalu.

Mahsyur dengan nama Ebiet G Ade, tenar dengan memetik senar gitar di setiap kali manggung. Sejak akhir 1970-an hingga saat ini. Kurang lebih 50 tahun sudah menggema nusantara dengan dawai gitarnya.

Tempo menuliskan bahwa Ebiet awalnya menyanyikan syair sahabatnya, Emha Ainun Najib. Lalu teman-temannya berseloroh, “Kamu sering melantunkan syair teman, kapan kamu bisa menyanyikan syairmu sendiri?".

Karena kelakar itu, lalu alumni SMA Muhammadiyah Yogyakarta itu tersadarkan. Ia kemudian menulis syairnya sendiri.

Nyatanya syair yang ia tuliskan itu, melegenda dan melekat hampir di semua generasi. Larik syair itu, tertenun indah dalam lirik gitarnya yang bergenre Folk Pop dan Country.

Misalnya saja dalam lagu Titip Rindu Buat Ayah berikut ini. Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa//benturan dan hempasan terpahat dikeningmu//kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras//namun kau tetap tabah hm//meski nafasmu kadang tersengal//memikul beban yang makin sarat//kau tetap bertahan.

Baca juga: Indah Luwu Utara: Kepala Daerah Perempuan Pertama di Sulsel

Lagu tersebut jika didengar dalam hening sepi nan suasana temaram, akan menyusuri relung terdalam, mengundang ingatan purba, lalu meretas bulir air mata. Sungguh mengingatkan kita kepada sosok ayah yang berjuang melawan nestapa dari terpa terik, demi masa depan anak-anaknya tercinta.

Ebiet tampak teliti dan telaten mendeskripsikan perjuangan keras seorang ayah. Ia gambarkan mata, sebagai jendela yang telah melahap sepuluh ribu peristiwa. Guratan di kening sebagai bukti memecah solusi dari masalah sepanjang usia.

Ebiet membawa kita melihat lebih dalam dari wajah yang kita lihat biasa saja selama ini dari seorang Ayah. Wajah bukan hanya bentuknya, melainkan fenomena panjang dari wajah itu. Ebiet hendak berpesan, coba lihat lebih dalam, hayati lagi.

Begitu dalam nan menyentuh. Larik sastra itu tertenun apik dalam lirik yang lahir dari petik dawai gitarnya. Berselimut utuh dengan suara khasnya yang seolah terpotong di akhinya.

Dalam lagu berita kepada kawan pun, Ebiet menuliskan sastra juga nampak yang dalam. Kawan coba dengar apa jawabnya//ketika ia kutanya mengapa//bapak ibunya telah lama mati//ditelan bencana tanah ini.

Ebiet piawai menenun kata demi kata. Melakukan refleksi ke dalam diri, menggugah rasa. Mencerap daya komunikasi dari apa yang dilihatnya.

Ia menekankan, apa-apa di alam ini punya daya komunikasi. Segala sesuatu sesungguhnya mengetuk-ngetuk sadar dan refleksi manusia. Tergambar dalam larik selanjutnya, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Baca juga: Pilkades Gumanano: Cermin Berdemokrasi dari Aras Lokal

Syair lagunya bertemakan cinta dan refleksi tentang alam sekitar. Lagu-lagunya mengetuk-ngetuk rasa, mewakili suara wong cilik (misalnya anak gembala). Lagi, semua itu menyetubuh indah dengan petik gitar dan warna suaranya.

Dedikasi dan ketekunannya pun berbuah. Dilansir viva.co.id  banyak penghargaan yang didapatkan antara lain Biduan Pop Kesayangan PUSPEN ABRI (1979-1984), penghargaan lingkungan hidup (2005), dan penghargaan peduli Award Forum Indonesia Muda (2006). Ia juga pernah menulis lagu dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam album rinduku padamu  pada 2007.

Hal lain yang menarik dari Ebiet adalah tidak pernah meributkan walau lagunya diputar tanpa izinnya. Ia malah menganggap itu bagian dari apresiasi dari khalayak. Karena ini tempo memproduksi liputan bertajuk "Bayaran Tuhan".

Melalui lagu tersebut, ia berpesan ada hal yang lebih berharga dari apresiasi seni yaitu kepuasan jiwa. Kepuasan jiwa adalah hal yang sering tak bisa dijamah oleh berkoper-koper uang.

Kepuasan jiwa adalah hal yang sudah demikian renggang. Manusia modern kerap mengalami kehampaan, teralienasi oleh kesibukan mengejar materi yang menumpukkan letih yang bertambah-tambah. Muaranya adalah rasa yang kian kerontang, bag dahaga lalu meminum air garam.

Sampai kapan kita akan terbuai oleh rutinitas seperti itu? Masihkan nada di nadi jiwa kita mengalun indah seirama melodi?

Reporter: Haidir Muhari

Editor: Kardin

Baca Juga