Upaya Penyelesaian Konflik Partai Demokrat
Kolumnis
Minggu, 04 April 2021 / 5:24 pm
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
RIUH-rendah konflik internal Partai Demokrat pemberitaannya cenderung mengalami penurunan dalam headline di media massa. Sejak keluarnya keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 31 Maret 2021, yang menolak permohonan Moeldoko untuk mengesahkan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB), disebabkan karena dokumen yang diajukan dianggap tidak lengkap.
Sejak awal Konflik Internal Partai Demokrat, penulis sudah menyatakan, konflik ini hanya konflik internal semata. Meski begitu, di asumsi publik, pemerintah tetap saja dijadikan sasaran atas terjadinya konflik internal tersebut.
Namun, ketika persoalan kekisruhan Partai Demokrat terkait hukum administrasi negara itu telah memperoleh keputusan, ditambah dengan menguntungkan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), keputusan ini disambut dengan suka-cita yang menganggap pemerintah telah bertindak objektif dan menyelamatkan demokrasi. Padahal sejak awal, sudah terlihat bahwa pemerintah tidak turut campur atas konflik internal tersebut.
Sikap Pemerintah dan Presiden Joko Widodo
Awal merebaknya konflik, sebenarnya telah ditunjukkan bahwa sikap pemerintah adalah tidak ikut campur atas konflik yang melanda Partai Demokrat dan juga akan bersikap objektif dalam pengambilan keputusannya.
Sikap tegas pemerintah yang tetap kukuh tak ikut campur dengan urusan konflik internal Partai Demokrat, menunjukkan kepada publik bahwa ini adalah konflik internal semata, bukan upaya untuk melemahkan demokrasi dan peran partai-partai lain seperti dilakukan oleh Orde Baru.
Di sisi lain, sikap pemerintah ini sempat menyembulkan pertanyaan di publik, Apakah Sikap Pemerintah sudah benar?
Tentu saja, Sikap Pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah benar. Sikap kukuh terhadap pendirian untuk tidak ikut campur, pilihan tepat. Tidak memihak adalah upaya untuk menjaga konsentrasi Pemerintahan, untuk lebih baik memikirkan urusan masyarakat dan pandemi ini.
Dibandingkan, harus mengikuti lakon-lakon para politisi yang hanya acap mengganggu kerja pemerintahan. Dengan pemerintah tidak ikut campur, maka konflik ini akan tetap menjadi konflik internal antar kedua kubu di partai demokrat.
Dengan tidak ikut campur dan tegas menunjukkan dalam sikap, keputusan, maupun berkomunikasi kepada publik. Sehingga menyebabkan, keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah utamanya Kemenkumham dalam proses hukum administrasi negara, membawa dampak positif.
Baca Juga: Bola Salju Mafia Tanah Menggelindingkan Ancaman Pemiskinan
Apalagi, kubu AHY memenangkan keputusan dalam polemik hukum administrasi negara dalam penentuan kepengurusan yang sah. Kemenangan ini turut berdampak positif berupa apresiasi kepada Presiden Jokowi bahwa pemerintah memang bersikap objektif dan tetap berpijak kepada merawat demokrasi.
Pada dasarnya, jika diperhatikan dengan seksama bahwa awal terjadinya konflik Partai Demokrat, pemerintah telah menunjukkan sikap tegasnya.
Saat itu, pemerintah telah mengakui yang masih sah adalah kubu dari Partai Demokrat kepemimpinan AHY, itu ditegaskan oleh Mahfud MD selaku Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), bahwa pemerintah masih mencatat kepengurusan resmi Partai Demokrat masih dipegang oleh AHY.
Sikap ini kembali ditunjukkan dengan keputusan dari Kemenkumham setelah melakukan verifikasi atas kelengkapan data dari kubu Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB).
Dinyatakan berdasarkan dari hasil pemeriksaan dan/atau verifikasi terhadap seluruh kelengkapan dokumen fisik, ternyata yang dipersyaratkan masih ada beberapa kelengkapan yang belum dipenuhi.
Sehingga, dengan dikeluarkannya keputusan Kemenkumham maka menunjukkan persoalan kekisruhan internal Partai Demokrat dibidang hukum administrasi negara telah selesai, urusan selanjutnya berada di luar pemerintah, dan sudah semestinya bukan urusan pemerintah lagi, (IG, mohmahfudmd, Rabu 31 Maret 2021).
Selanjutnya, sikap Presiden Joko Widodo juga sudah tepat. Presiden Jokowi tidak terpengaruh desakan dari luar pemerintah, yang mengiring kepada upaya agar dilakukan reshuffle terhadap Moeldoko.
Sebab, reshuffle, memang seharusnya berdasarkan kriteria kecakapan dalam kinerja, jangan bertindak gegabah dan terburu-buru.
Reshuffle jangan hanya sekadar, ditangkap oleh publik semata-mata karena adanya unsur perebutan kekuasaan antara Moeldoko dengan AHY.
Andai saja, saat itu dilakukan reshuffle, yang meskipun dilakukan berdasarkan kriteria kecakapan, namun tetap yang ditangkap oleh publik adanya kecurigaan turut campurnya pemerintah dalam konflik internal Partai Demokrat.
Hal yang sama, juga sebaiknya pemerintah, jangan juga tergiring kepada keinginan dilakukan reshuffle terhadap Moeldoko yang merupakan kepala staf kepresidenan, ketika pasca kekalahan kubu Moeldoko.
Langkah gegabah dan terburu-buru, malah bisa terjerumus kepada asumsi bahwa reshuffle disebabkan kegagalan Moeldoko menjalankan “arahan” untuk mengambil kesempatan dalam konflik internal Partai Demokrat.
Dari ketiga pendirian dan argumentasi yang tetap dilakukan dan dipertahankan oleh pemerintah, malah menunjukkan sikap objektif dari sisi pemerintah.
Wajar akhirnya, sekarang respons positif dan simpatik masyarakat turut diterima oleh Pemerintahan Jokowi, apalagi setelah AHY diakui masih sebagai kepengurusan sah dari dualisme konflik kepengurusan partai demokrat.
Saat itu, ketiga sikap pemerintah yang penulis gambarkan tentu saja akhirnya berdampak bahwa perebutan kekuasaan antara kubu Moeldoko dan AHY akan dapat diselesaikan melalui tiga jalur yakni, pertama, pemufakatan internal di antara kedua kubu.
Kedua, saling berupaya memenuhi kelengkapan administrasi yang sah, dan diakui. Dan, ketiga, perseteruan akan dibawa ke meja hijau pengadilan publik, atas saling klaim antara kedua kubu yang berkonflik. Di antara tiga pilihan itu, semestinya, pilihan pertama yang dipilih antar kedua kubu.
Baca Juga: Diduga Tak Kembalikan Dana Titipan Proyek, Kadis Kominfo Sultra Disomasi
Langkah Meredakan Konflik Partai Demokrat
Fenomena perpecahan partai politik di era Reformasi memang seperti menjadi sesuatu yang lumrah di tengah perpolitikan yang pragmatis sekarang ini.
Dalam kerangka secara kelembagaan, partai politik memang mengalami anomali, yang semestinya fungsi partai politik untuk mengatasi konflik yang terjadi di dalam masyarakat, namun ternyata alih-alih partai politik sebagai agent of conflict managemen, yang terjadi sebaliknya partai politik terlibat dalam koflik internal partai itu sendiri, (Lili Romli, 2017: 17).
Konfliik perebutan kekuasaan di internal Partai Demokrat akan terus berlanjut jika tak ada itikad baik di antara kedua belah pihak untuk bersama-sama melakukan pemufakatan internal. Konflik ini sejatinya, lebih disebabkan oleh pengelolaan partai politik dalam pengambilan keputusan bersifat sentralisasi.
Di sisi lain karakter keanggotaan partai politik di Indonesia memang masih berkarakter menggantung ke atas, maksudnya, di dalam internal partai bahwa anggota tidak memegang peran penting dalam penentuan kebijakan partai atau arah kebijakan partai lebih banyak ditentukan dari atas. Wajar akhirnya, jika potensi konflik mudah terjadi, (Warsito Ellwin dan Hari Subagyo, 2011: xvii).
Konflik internal Partai Demokrat ini sebenarnya kumulatif dari konflik yang terjadi pasca Kongres Partai Demokrat 2010 lalu. Tatkala Kongres itu dilakukan, dinamikanya adalah adanya upaya membawa Partai Demokrat menjadi partai modern.
Tetapi, perkembangan dari politik yang semakin pragmatis, disertai dengan euforia kemenangan besar Partai Demokrat, sehingga keinginan partai demokrat sebagai partai modern, menguap begitu saja.
Akhirnya, malah yang terjadi sebaliknya, kepemimpinan Partai Demokrat semakin mengukuhkan tipe partai personalistik semata, (Efriza, 2019: 28).
Semestinya, jika ingin menyikapi konflik di internal partai demokrat. Partai Demokrat mulai memikirkan untuk menuju kepada membangun partai modern. Disisi lain, upaya mewujudkan soliditas internal partai, maka partai demokrat perlu mengembangkan dan memperkuat mekanisme pengambilan keputusan internal secara demokratis (Lili Romli, 2017: 18). Langkah ini merupakan upaya nyata dari partai personalistik menjadi partai modern.
Partai Modern ini sebenarnya adalah sikap partai yang sempat digagas oleh pendiri partai demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menginginkan dilakukannya modernisasi agar kinerja partai lebih responsif.
Seperti, struktur hubungan partai harus menjadi lebih responsif, hubungan antara elemen di pusat dan daerah lebih harmonis dan sinergis, dan pengambilan keputusan dilakukan dengan transparan. Jadi, dengan gagasan modernisasi akan menciptakan sistem yang kuat untuk menjalankan roda organisasi partai, (Andi Mallarangeng, 2010: 70-71). (*)