Demi Kepentingan Gibran

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 21 Oktober 2023
0 dilihat
Demi Kepentingan Gibran
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Putusan MK yang dikabulkan sebagian ditenggarai untuk Gibran hingga dengan menghadirkan norma baru dari Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bunyi norma baru tersebut, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

UPAYA yang dilakukan dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) berupa penurunan batas usia calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) yang telah ditolak oleh MK pada dasarnya disinyalir untuk kepentingan sosok Gibran semata. Narasi menyertainya sekadar basa-basi saja tentang narasi untuk kepentingan anak muda, maupun bonus demografi.

Namun, Putusan MK yang dikabulkan sebagian ditenggarai untuk Gibran hingga dengan menghadirkan norma baru dari Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bunyi norma baru tersebut, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Ini yang akhirnya menjadi polemik di masyarakat.

Siasat dan Kepentingan Memuluskan Gibran

Disinyalir jika MK sampai memutuskan untuk menurunkan batas usia akan kentara untuk kepentingan Gibran. Namun akan berbeda, jika menambahkan klausul “atau pernah/sudah menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Terkesan, jika yang pertama mengesankan penilaian terhadap seseorang dipaksakan maju sebagai capres/cawapres sekadar batasan usia, berbeda dengan penambahan norma baru berupa klausul pemilihan umum akan mengesankan masih terdapat konsep kedaulatan rakyat di dalam kategori tersebut.

Polemik diminta segera diakhiri, sebab Putusan MK adalah final dan mengikat. Gibran telah diberikan “karpet merah” oleh MK. Gibran dianggap layak maju sebagai cawapres pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 ini.

Hanya saja, yang menggelitik, masa sosok Gibran yang sudah mendapatkan “karpet merah” dari MK hanya diproyeksikan sebagai cawapres saja. Memang janggal, dengan bahasa Sarkas, kenapa tidak diwacanakan saja merubah komposisinya Prabowo ataupun Ganjar dalam posisi cawapres kemudian Gibran capres.  

Tak dimungkiri bahwa Pasal 169 huruf q itu memang terkait capres dan cawapres, ketika capres dengan elektabilitas tertinggi satu dan dua besar saat ini yakni Prabowo dan Ganjar saja seolah mengikhlaskan tersandera menunggu keputusan MK menunggu Gibran, sehingga keputusan mengenai pasangannya yang akan ditentukan pada last minute.

Pengabaian oleh Mahkamah Konstitusi

MK dalam keputusannya telah jelas mengabaikan peran dua lembaga negara lain, sebab aturan soal batas usia adalah open legal policy yang berada diranah legislatif, dan/atau dalam hubungan kerjasama antara legislatif dan eksekutif.

MK dalam memuluskan Gibran, patut dikenang sebagai lembaga yang tidak independen dan tidak menegakkan keadilan. MK telah mengabaikan aspirasi luas masyarakat yang menginginkan MK menolak segala putusan hanya untuk memuluskan obsesi Gibran semata.

Baca Juga: Strategi Politik 'Prank' Ala Jokowi

Ternyata sebaliknya, MK akhirnya mengabaikan mekanisme proses pengambilan keputusan di lembaga tersebut, seperti pengaturan open legal policy menjadi pilah-pilih sekehendak MK semata, yurisprudensi dari lembaga ini juga diabaikan. MK rela menjadi lembaga yang terbebani kepentingan politis, akhirnya MK, sekadar Mahkamah Kacau, mengutip kejengkelan masyarakat atas Putusan MK.

Pro-kontra terhadap Gibran bukan soal dia cawapres semata. Tetapi sekaligus menunjukkan bahwa Jokowi sebagai penguasa politik mencoba membangun dinasti politik dalam lingkup nasional. Ia sebagai penguasa politik yang lahir dari reformasi malah yang menjadi aktor kemunduran demokrasi.

Jika Gibran dipaksakan sebagai cawapres dan mau menerimanya, artinya Gibran sekadar Anak Muda yang tampil "dikarbit", anak muda yang sekadar "anak papi", menjadi pemimpin karena bantuan orang tua.

Ia malah merusak citra dirinya sebagai sosok anak muda yang lahir karena keterpanggilan, kapabilitas, dan memang dianggap layak oleh masyarakat, seperti saat terpilih sebagai wali kota Surakarta.  

Gibran saat ini terjebak karena obsesinya dan juga mengejar momentum, sebab Jokowi sebagai ayahnya dan penguasa politik saat ini akan habis masa jabatannya, sedangkan ada pemikiran untuk melanjutkan kebijakan pemerintah saat ini.

Akhirnya, obsesi keluarga Jokowi perlahan-lahan meruntuhkan nilai-nilai demokrasi seperti kompetisi dan keadilan, bahkan sudah menerobos ke sendi institusi pengawal konstitusi yakni MK.

Pembelajaran dari Gibran

Pasca Putusan MK, memang sangat sulit kita berharap dari politisi dan partai politik untuk tidak menjadikan Gibran Cawapres, kecuali jika masyarakat luas menolak pencalonan Gibran.  

Baca Juga: Kaesang dan PSI yang Telah Layu

Sebelum dan sesudah Putusan MK, amat miris telah terjadi tragedi ketatanegaraan, preseden buruk terjadi dengan norma baru hadir untuk memuluskan Gibran. Dan, ironi berikutnya, dua capres dengan elektabilitas tiga besar, malah bersemangat menunggu sosok "anak muda" yang belum cukup usianya untuk memimpin negeri ini.

Sosok ini sekarang dibungkus, “yang penting pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Semestinya, biarkan Gibran ditempa dulu menjadi pemimpin dari berbagai jabatan eksekutif lainnya seperti Walikota kembali, atau Gubernur.

Jangan memaksakan Gibran yang sebenarnya untuk kepentingan Jokowi yang ingin kebijakan pembangunannya dilanjutkan. Meskipun ditenggarai Gibran juga terobsesi untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai Pemimpin Republik ini. Amat disayangkan MK memuluskan obsesi itu dalam putusannya, yang terjadi sekarang Gibran telah diberikan “karpet merah” untuk sebagai cawapres.

Meski miris, tetapi masih ada harapan walau kecil. Jadi sebaiknya, meski MK memuluskan Gibran, tetapi Koalisi dua pasangan lainnya yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan Koalisi PDIP-PPP, jangan memaksakan diri memajukan Gibran sebagai cawapres.

Biarkan saja norma baru dari MK ini menjadi nilai positif, sebagai kesempatan anak muda yang telah punya pengalaman memimpin di daerah untuk maju di daerah tanpa khawatir mengenai batasan syarat minimal. Norma baru ini bisa menjadi positif, dengan syarat jika Jokowi, Gibran dan/atau koalisi yang menginginkan Gibran sebagai cawapres, mengurungkan niatnya memaksakan Gibran sebagai cawapres. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga