Dibangun Tahun 1724, Masjid Sulthani Plasakuning Masih Terjaga Kelestariannya
Affan Safani Adham, telisik indonesia
Jumat, 17 Juli 2020
0 dilihat
Masjid Plasakuning beberapa kali mengalami renovasi. Foto: Ist.
" Sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro, di masjid Plasakuning juga ditempatkan abdi dalem kemasjidan, yang menjalankan tugas di masjid Plasakuning dengan fungsi masing-masing: khatib, muadzin, jajar jamaah, jajar ulu-ulu (penghulu) dan jajar marbot. Kesemua fungsi tersebut diemban oleh abdi dalem bergelar Raden. "
YOGYAKARTA, TELISIK ID - Masjid Sulthani Plasakuning atau Masjid Pathok Negara Plasakuning berada di Jl Plasakuning Raya, Minomartani, Ngaglik, Sleman, yang berjarak 9 km dari Utara Keraton Yogyakarta.
Masjid yang didirikan pada tahun 1724 berada di atas tanah kasultanan seluas 2.500 m2. Bangunan masjid pada saat didirikan seluas 288 m2 dan setelah pengembangan menjadi 328 m2.
Di antara kelima masjid Pathok Negara milik Kraton Yogyakarta: Masjid Pathok Negoro di Plasakuning, Mlangi, Dongkelan, dan Babadan, Masjid Pathok Negara di Plasakuning adalah bangunan yang paling terjaga kelestariannya.
Pathok berarti sebuah penanda tapal batas dalam bahasa Jawa. Dengan demikian istilah pathok negara artinya tapal batas suatu negara atau kerajaan saat itu.
Masjid Pathok Negara didirikan setelah pembangunan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Sehingga bentuk masjid tersebut meniru Masjid Gedhe Kauman sebagai salah satu usaha legitimasi masjid milik Kasultanan Yogyakarta.
Persamaan ini juga didukung oleh beberapa komponen yang ada di dalamnya seperti mihrab, kentongan dan beduk.
Masjid Pathok Negara mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota masjid juga mempunyai kesamaan: terbuat dari tanah liat dan atap masjid terbuat dari sirap.
Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa Masjid Pathok Negara lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, yang mempunyai atap tajuk bertumpang tiga.
Ciri-ciri lain dari kekhasan Masjid Pathok Negara ini adalah pada masing-masing masjid terdapat kolam keliling, pohon sawo kecik dan terdapat mimbar yang ada di dalam masjid.
Masjid Pathok Negara Sulthoni Plasakuning dalam perkembangannya mengalami perubahan dan salah satu penyebab semua itu adalah masuknya arsitektur modern di Indonesia.
Masjid Pathok Negara Plasakuning didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III pada 1812-1814.
Beliau adalah ayahanda Pangeran Diponegoro, ketika Kyai Raden Mustafa (Hanafi I) menjadi Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berkedudukan di Plasakuning.
Nama Plasakuning sendiri diambil dari nama pohon Ploso yang mempunyai daun berwarna kuning. Dulu, letak pohon ini kira-kira 300 meter sebelah timur masjid. Namun sekarang sudah tidak ada.
Satu hal yang menarik, daerah di sekitar masjid hanya ditempati oleh orang-orang yang masih memiliki garis keturunan dengan Kyai Mursodo.
Daerah di sekitar masjid dikenal dengan sebutan daerah Mutihan, yang mempunyai arti sebagai tempat tinggal orang-orang putih atau santri. Daerah di sekitar masjid yang disebut daerah Mutihan juga disebut sebagai daerah Plasa Kuning Jero, yang hanya ditempati oleh orang yang mempunyai ikatan darah dengan pendiri masjid. Sedangkan daerah yang agak jauh dari masjid disebut Plasa Kuning Jobo.
Sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro, di masjid Plasakuning juga ditempatkan abdi dalem kemasjidan, yang menjalankan tugas di masjid Plasakuning dengan fungsi masing-masing: khatib, muadzin, jajar jamaah, jajar ulu-ulu (penghulu) dan jajar marbot. Kesemua fungsi tersebut diemban oleh abdi dalem bergelar Raden.
Keaslian Masjid Pathok Negara Plasakuning dapat terlihat pada bagian atap, di mana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak atap masjid.
Dulu, penutup atap masjid menggunakan sirap. Namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun 1946.
Pada bagian lantai masjid dahulu diplester biasa menggunakan semen merah. Kemudian pada tahun 1976 lantai masjid diganti dengan tegel biasa. Begitu juga dengan daun pintu dan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dulu tembok dinding masjid setebal 2 batu, namun karena terkikis terus-menerus sekarang tinggal 1 batu.
Baca juga: Idul Adha di Masa Pandemi, Islam Harus Menjadi Solusi
Dahulu pintu masjid hanya ada satu dan sangat rendah yang menyebabkan ruang masjid menjadi gelap. Pintu yang rendah ini dimaksudkan agar setiap orang yang masuk masjid hendaknya menunduk dan menunjukkan rasa tata krama serta sopan-santun terhadap masjid.
Keadaan demikian menyebabkan ruangan di dalam masjid menjadi gelap sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu masuk masjid menjadi 3 bagian serta ditambah jendela di ruang dalam masjid.
Semua penambahan dan perbaikan bangunan pada masjid, terlebih dahulu dimintakan persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di Kraton, baik mengenai bentuk dan modelnya.
Pada ruang dalam masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penahan konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian besar masih asli dan terbuat dari kayu jati.
Tahun 2000 Masjid Plasakuning mengalami renovasi pada 4 tiang utama dan beberapa elemen lainnya. Pada tahun 2001, masjid ini kembali mengalami renovasi pada bagian serambi dan tempat wudhu. Renovasi ini dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan DIY.
Pada tahun tersebut masyarakat secara swadaya juga mengganti lantai tegel masjid dengan keramik, memasang konblok di halaman serta mendirikan menara pengeras suara.
Di depan masjid terdapat dua kolam. Setiap orang yang akan memasuki masjid harus bersuci terlebih dahulu di kolam itu. Makna lain dari 2 kolam ini adalah apabila kita menuntut ilmu haruslah sedalam-dalamnya.
Di dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan. Masjid ini juga masih menganut adat lama di mana adzan pada saat salat Jumat dilakukan 2 kali.
Dahulu sekitar tahun 1950 adzan pertama dilakukan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang dari mereka. Begitu juga dengan khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Baru pada tahun 1960 adat tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2 orang, tetapi adzan tetap dilakukan 2 kali. Khotbah juga diganti dengan menggunakan bahasa Jawa.
Pada bagian pintu gerbang, masjid ini memiliki pintu gerbang yang berundak. Pada tiga undakan pertama berarti Islam itu terdiri dari 3 elemen yakni iman, Islam dan ikhsan. Pada 5 undakan kedua menunjukkan bahwa rukun Islam itu ada 5, sedangkan pada 6 undakan ketiga menunjukkan bahwa rukun iman itu ada 6.
Pada momen-momen tertentu, di masjid ini juga dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga Kraton, semisal tradisi Bukhorenan. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari tradisi Kraton yang lestari hingga sekarang. Maksud dan tujuannya tidak lain adalah untuk mengkaji ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad SAW dengan membaca dan memahami hadits-hadits yang terdapat dalam Sahih Bukhari.
Reporter: Affan Safani Adham
Editor: Haerani Hambali