Hak dan Status Anak Angkat Dalam Islam

Haerani Hambali, telisik indonesia
Senin, 13 Desember 2021
0 dilihat
Hak dan Status Anak Angkat Dalam Islam
Tujuan adopsi adalah untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya. Foto: Repro Suara.com

" Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nashab, mahram, ataupun hak waris "

KENDARI, TELISIK.ID - Memiliki anak angkat lewat jalan adopsi kerap menjadi salah satu solusi pilihan pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan.

Islam telah lama mengenal istilah tabbani atau adopsi. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritshah sebagai anaknya.

Secara harfiah, tabbani diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya.

Secara hukum, anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, tapi belum dikaruniai anak.

Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Dilansir dari Republika.co.id, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memperhatikan aspek ini.

Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi.

Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

MUI mengingatkan, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya.

Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surah al-Ahzab ayat 4, "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.''

Begitu pula surah al-Ahzab ayat 5, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).''

Surah al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan, Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.''

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Dan, Abu Zar r.a sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam fatwanya, MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya, dengan menyematkan nama orang tua angkat di belakang nama si anak. Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya.

MUI mengharapkan, supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri. Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh.

"Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala,'' demikian fatwa MUI.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan, "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah.''

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya.'' Qatadah berkata, siapa pun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad''. (Khazin, Juz Vi hlm 191).

"Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nashab, mahram, ataupun hak waris,'' kata ulama NU dalam fatwanya.

Anak angkat tak memiliki hak waris

Sementara itu, dilansir dari pa-jakartatimur.go.id, Drs. H. Nur Mujib, MH, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menjelaskan, dalam hukum kewarisan, anak angkat tidak termasuk ahli waris, karena secara biologis tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya kecuali anak angkat itu diambil dari keluarga orang tua angkatnya.

Karena bukan ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli waris dari warisan orang tua angkatnya.

Walaupun tidak mendapat warisan dari orang tua angkatnya, akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibat untuk mendapatkan harta warisan orang tua angkatnya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh KHI dalam pasal 209 ayat (a) :”Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.

Kalaulah pengangkatan anak itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Sebab sudah jelas kedudukan anak angkat tidak sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, anak angkat dapat menerima warisan orang tua angkatnya dengan jalan wasiat wajibat.

Terdapat beberapa kesalahan dalam mengangkat anak

Pertama, pengangkatan anak tidak dilakukan di depan persidangan Pengadilan sehingga tidak ada bukti tertulis tentang pengangkatan anak.

Kedua, orang tua angkat dalam membuat akta kelahiran bagi anak angkatnya sengaja menghilangkan nasab anak angkat dari orang tua kandungnya dengan mengganti nama orang tua kandungnya dengan nama orang tua angkat.

Seharusnya dalam akta kelahiran anak angkat itu tetap dicantumkan nama orang tua kandungnya.

Pengangkatan anak tanpa keputusan pengadilan banyak dilakukan oleh masyarakat. Mengangkat anak dengan menghilangkan hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya dengan cara, anak angkat tersebut dibuatkan akta kelahiran di Disdukcapil dengan mencantumkan nama orang tua angkat sebagai orang tua kandungnya.

Baca Juga: Ini Alasan Islam Larang Laki-Laki dan Perempuan Bukan Mahram Berduaan

Islam tidak membenarkan pengangkatan anak seperti itu. Islam melarang mengambil anak orang lain untuk diberi status anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.

Sebagaimana kita ketahui, sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah, dahulu ia mempunyai seorang anak angkat yaitu Zaid Bin Haritsah. Waktu itu karena anak angkat dihukumi sebagai anak kandung, maka Zaid itupun dipanggil oleh orang banyak dengan panggilan Zaid Bin Muhammad, sampai kemudian turun ayat di atas yang membatalkan anak angkat sebagai anak kandung, dan tetaplah Zaid dipanggil dengan Zaid Bin Haritsah.

Sejak itu anak angkat tetap menjadi anak kandung orang tua biologisnya, hanya pemeliharaan dan biaya hidup sehari-harinya beralih kepada orang tua angkatnya.

Perbuatan semacam ini mungkin dipandang sepele oleh orang tua angkat. Masalahnya bukan sebatas hanya administrasi saja, tetapi berkaitan dengan nasab, kemahraman, kewarisan dan perwalian seseorang yang harus dikaitkan dengan orang tua kandung.

Perbuatan semacam ini merupakan kebohongan yang sangat dilarang dalam Islam. Islam mengatur bahwa penyebutan anak itu tidak bisa dibangsakan kepada orang lain yang bukan ayahnya. Penyebutan seorang anak hanya dibenarkan digandengkan dengan ayah kandungnya. Harus menyebut Bin atau Binti ayah kandungnya. Tidak bisa disebut dengan Bin atau Binti ayah angkatnya.

Diriwayatkan dari Saad Bin Abi Waqas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengakui (bapak) yang bukan bapaknya sendiri, atau membangsakan maula yang bukan maulanya sendiri, maka ia akan mendapatkan kutukan Allah SWT, Malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak berkenan menerima taubat dan tebusannya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Rasululah bersabda: “Tiada seorang laki-laki yang mengakui bapak yang bukan bapaknya sendiri sedangkan ia mengetahui (hal itu), melainkan dia telah kufur”. (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah bersabda: “Barang siapa mengakui bapak yang bukan bapaknya sendiri, sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram baginya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: 5 Akhlak Rasulullah Kepada Istrinya, Patut Diteladani

Sungguh sangat fatal akibat orang yang membangsakan seorang anak bukan dengan ayah kandungnya tetapi dengan orang tua angkatnya.

Bagaimanapun dekatnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, tetap saja orang tua angkat adalah orang lain, tidak bisa menggantikan kedudukan orang tua kandung. Ketika ia menikah haruslah berwali dengan orang tua kandungnya, tidak bisa berwali dengan orang tua angkatnya. (C)

Reporter: Haerani Hambali

Editor: Fitrah Nugraha

Baca Juga