Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Siswanto Azis, telisik indonesia
Kamis, 29 Oktober 2020
0 dilihat
Ustaz Syaifuddin Mustaming. Foto: Ist.
" Karena tidak ada dalil-dalil yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan jika diteliti malah terdapat dalil-dalil yang membolehkannya. "
KENDARI, TELISIK.ID - Ada beberapa pendapat di masyarakat soal memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Ada yang suka memperingatinya tapi ada sebagian kalangan yang tidak.
Bagaimana ajaran Islam memandang hal ini? Berikut penjelasannya yang di kemukakan oleh Ustaz Syaifuddin Mustaming terkait hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah boleh dan tidak termasuk bid’ah dhalalah (mengada-ada yang buruk).
“Karena tidak ada dalil-dalil yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan jika diteliti malah terdapat dalil-dalil yang membolehkannya,” terang Ustaz Syaifuddin Mustaming.
Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi maupun para sahabatnya namun perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis.
“Sedangkan bid’ah dhalalah adalah perbuatan baru dalam agama yang bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis,” ujar Ustaz Syaifuddin Mustaming, kepada Telisik.Id melalui sambungan telepon selulernya.
Kebolehan memperingati Maulid Nabi memiliki argumentasi syar'i yang kuat. Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setiap hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim).
Kita juga dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta.
Baca juga: Makna Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadis itu menerangkan bahwa pada setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksanya di neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya.
Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah SAW lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Quran jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.
Juga realita di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang melarang Maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi Maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
“Bagi sebagian kalangan barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah/ritual peribadatan dalam syariat,” terangnya.
Mereka yang melarang peringatan Maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.
“Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam al Suyuthi mengatakan dalam menanggapi hukum perayaan Maulid Nabi SAW. Menurut saya asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Quran dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang,” jelasnya.
Baca juga: Ini 4 Bahaya Berhubungan Intim saat Haid dan Hukumnya Menurut Islam
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia.
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari Maulid Rasulullah SAW”.
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah SAW dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia.
"Sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta,” ungkapnya.
Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan sya’ir dan sajak-sajak, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi Maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.
“Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka,” katanya
Tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada anak yatim dan fakir miskin, pameran produk halal, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.
“Intinya bahwa memperingati maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai wujud kecintaan kepada Nabi, sekaligus ikhtiar menumbuhkembangkankan rasa cinta itu, menghidupkan sunnah-sunnahnya, serta yang terpenting adalah berusaha maksimal mengimplementasikan nilai-nilai keteladanan yang dicontohkan Nabi SAW,” tutupnya. (B)
Reporter: Siswanto Azis
Editor: Haerani Hambali