Ini Modus Cuci Uang Ala Oknum Kemenkeu, Satu Oknum Capai Rp 35 Triliun
Nur Khumairah Sholeha Hasan, telisik indonesia
Sabtu, 01 April 2023
0 dilihat
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (kiri), mendapati angka transaksi mencurigakan oknum Kemenkeu senilai Rp 35 triliun. Foto: Repro Kompas.com
" PPATK mengungkap modus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kemenkeu yang angkanya mencapai puluhan triliun rupiah "
JAKARTA, TELISIK.ID - Sejak mencuatnya harta kekayaan mencurigakan oleh oknum Kementerian Keuangan (Kemenkeu), membuat Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bergerak menelusuri harta kekayaan para anggota Kemenkeu.
Dikutip dari Kompas.com, PPATK bahkan mengungkap modus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kemenkeu yang angkanya mencapai puluhan triliun rupiah.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menuturkan, ada oknum di Kemenkeu yang menggunakan perusahaan cangkang sebagai alat pencucian uang. Bahkan, satu oknum bisa memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang.
Melansir Tribunmedan.com, perusahaan cangkang merupakan sebuah perusahaan yang tidak memiliki kegiatan yang berhubungan dengan bisnis, asetnya juga sangat kecil, terkadang perusahaannya hanya di atas kertas saja. Jadi modusnya adalah perusahaan hanya sekedar nama tanpa memiliki bentuk fisiknya sebagai kantor.
Sehingga perusahaan cangkang erat hubungannya dengan peluang pelanggaran hukum, contohnya adalah tindakan menyembunyikan dana hasil korupsi atau bisnis ilegal, pencucian uang, juga penghindaran pajak.
Ivan mengungkapkan, oknum tersebut umumnya menggunakan nama orang-orang terdekat di akta perusahaan cangkangnya, seperti istri, anak, bahkan sopir dan tukang kebun.
Baca Juga: Usai Kemenkeu Kini Kementerian ESDM Korupsi Puluhan Miliar Rupiah, Tersangka Sudah Ada
“Karena modus pelaku TPPU itu adalah selalu proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, akun orang lain dan segala macam,” ujarnya dikutip dari Kompas.com.
Menurutnya, dugaan TPPU tersebut merupakan bagian dari dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu yang nilai totalnya sebesar Rp 349 triliun. Khusus dugaan TPPU yang langsung melibatkan oknum Kemenkeu dengan modus perusahaan cangkang, nilainya ditaksir mencapai lebih dari Rp 35 triliun.
Tndak pidana pencucian uang ini diduga melibatkan 461 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 non-ASN. Dugaan TPPU dengan modus perusahaan cangkang tersebut sudah dilaporkan PPATK ke Kemenkeu.
“Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum. Sehingga, ini enggak bisa dikeluarkan, data perusahaan tadi enggak bisa dipisahkan dari oknum tadi,” jelasnya.
Hitungan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan data transaksi mencurigakan antara penyampaian PPATK dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Jika dihitung dugaan TPPU satu oknum berikut perusahaan cangkang yang ia miliki, didapati angka transaksi mencurigakan senilai Rp 35 triliun sebagaimana yang dijelaskan PPATK.
“Kami masukkan nama-nama perusahaan, berikut nama oknum, di situlah ketemu Rp 35 triliun,” kata Ivan.
Baca Juga: DPR Soroti Rencana Kemenkeu Pengenaan Cukai Ban Karet, BBM hingga Detergen
Dalam rapat yang sama, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Mahfud MD mengungkap bahwa dugaan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan data agregat dugaan TPPU periode 2009-2023.
Data yang bersumber dari 300 laporan hasil analisis (LHA) itu terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp 35 triliun. Dalam hal ini, data Mahfud berbeda dengan yang sebelumnya diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun," katanya. (C)
Penulis: Nur Khumairah Sholeha Hasan
Editor: Haerani Hambali
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS