Jokowi Teken PP Kebiri Pelaku Seksual Anak, Komnas Perempuan Tak Setuju

Muhammad Israjab, telisik indonesia
Senin, 04 Januari 2021
0 dilihat
Jokowi Teken PP Kebiri Pelaku Seksual Anak, Komnas Perempuan Tak Setuju
Penolakan dari Komnas Perempuan terkait PP Nomor 70 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Foto: Repro Kompas.com

" Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban. "

JAKARTA, TELISIK.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Kebiri untuk Predator Seksual.

PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak ditandatangani Jokowi pada 7 Desember 2020.

"Bahwa untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak," demikian bunyi pertimbangan PP 70/2020 yang dikutip, Senin (4/1/2021).

Siapa saja yang bisa dikenakan kebiri dan pemasangan chip? Disebutkan:

- Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

- Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya atau dengan Orang Lain (Pelaku persetubuhan).

- Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Cabul kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual, Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan, atau Membujuk Anak untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul. (Pencabulan).

Baca juga: Jokowi Tak Masuk Gelombang Pertama Penerima Vaksin, Ini Penjelasan Kemenkes

"Pelaku Anak tidak dapat dikenakan Tindakan Kebiri Kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik," bunyi Pasal 4.

Tindakan kebiri dilakukan paling lama 2 tahun. Tindakan Kebiri Kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.

"Pendanaan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan," demikian bunyi Pasal 23.

Namun muncul penolakan dari Komnas Perempuan terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

"Terkait dengan PP untuk pelaksanaan kebiri, Komnas Perempuan sepertihalnya sikap awal ketika terhadap PERPPU Nomor 1/2016 tentang Perubahan ke 2 atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak disahkan yang kemudian menjadi UU Nomor 17 tahun 2016, menyatakan bahwa Komnas Perempuan menentang pengebirian apapun bentuknya," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, kepada wartawan, Minggu (3/1/2021), seperti dikutip dari Detik.com.

Ada sejumlah alasan yang dipaparkan Komnas Perempuan terkait menentang PP tersebut. Alasan pertama yakni karena tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, serta menyelesaikan konflik.

"Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban," ujar Siti.

Baca juga: PLN Perpanjang Subsidi Listrik 450 dan 900 VA hingga Maret 2021

Alasan kedua adalah karena kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau untuk kepuasan seksual.

Tetapi, kata Siti, terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas maupun menunjukkan kekuasaan maskulin, kemarahan atau pelampiasan dendam.

"Jadi mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual," katanya.

Siti mengatakan pengebirian akan mengubah manusia menjadi aseksual, mengubah identitas dan tidak ada jaminan kembali seperti sedia kala. Menurutnya, pengebirian melanggar UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Dia meminta agar negara lebih serius dan komprehensif dalam menangani kekerasan seksual. Menurut Siti, ada berbagai cara yang diungkap Siti, mulai dari pencegahan hingga pemberian sanksi melalui rehabilitasi khusus.

"Pertama pencegahan yang antara lain dengan pendidikan seksual, kedua perumusan tindak pidana kekerasan seksual yang tidak terbatas pada perkosaan dan pencabulan, ketiga penanganan korban yang ramah, keempat pemenuhan hak-hak korban, kelima pemberian sanksi berupa tindakan kepada pelaku kekerasan seksual melalui rehabilitasi khusus dalam bentuk konseling perubahan perilaku," jelasnya. (C)

Reporter: Muhammad Israjab

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Baca Juga