Kutak-Katik Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 28 November 2021
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Partai Golkar mengeluarkan isu siap “menampung” Ganjar Pranowo, dan membuka peluang mengusung Ganjar di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
KETIKA Partai Golkar mengeluarkan isu siap “menampung” Ganjar Pranowo, dan membuka peluang mengusung Ganjar di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Beberapa hari kemudian, muncul pula wacana lainnya dari kubu PDIP dan/atau pendukung Joko Widodo (Jokowi) yang mengusung rencana memasangkan Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.
Wacana menduetkan Ganjar dan Puan juga muncul setelah sebelumnya Fadli Zon melakukan cuitan di Twitter dengan menyindir Presiden Jokowi terkait banjir di Sintang. Akibat sindirian itu, Prabowo via Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani menegur Fadli Zon yang adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Upaya mengajukan pasangan calon Ganjar Pranowo dan Puan Maharani tentu saja bukan sekadar lemparan isu, wacana semata, namun juga dapat dilihat sebuah strategi politik yang sedang dirancang oleh PDIP dalam mempersiapkan diri menghadapi Pilpres 2024 mendatang.
Mensolidkan Mesin Partai
Mewacanakan duet pasangan sendiri dengan Ganjar Pranowo dan Puan Mahawani adalah bentuk respons agar elektabilitas Golkar tak meroket. Sebab sebelumnya, Golkar mewacanakan “mengusung” Ganjar Pranowo sebagai calon presiden/wakil presiden dari Golkar selain masih mengusung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Wacana Ganjar-Puan dicuatkan oleh kalangan PDIP sendiri juga untuk menunjukkan PDIP Solid, tak terjadi konflik. Bahkan, PDIP juga menyatakan bahwa kans sebagai calon presiden dari PDIP lebih dari satu dan/atau dua nama calon, sebut saja Ganjar, Puan, Tri Rismaharini, dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Baca Juga: Amnesia Politik
Berdasarkan Survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis misal pada Februari 2021, ketiga nama yakni Ganjar (10,6 persen), Ahok (7,2 persen) dan Tri Rismaharini (5,5 persen) memiliki elektabilitas tinggi dan/atau setidaknya di atas 5 persen dibandingkan dengan Puan yang hanya sebesar 0,1 persen, (Detik.com, 23 Februari 2021).
Wacana ini dilontarkan juga sebagai bentuk teguran tak langsung kepada Prabowo Subianto yang adalah Ketua Umum Partai Gerindra. Prabowo sangat berharap akan kembali berkoalisi dengan PDIP dan diusung sebagai calon presiden berpasangan dengan Puan Maharani.
Wacana ini digulirkan untuk merespons ketidaksolidan Partai Gerindra sebagai pendukung pemerintah dan/atau PDIP, dalam kasus kritik dari Fadli Zon menyindir Presiden Jokowi soal banjir Sintang.
Dengan mewacanakan menduetkan Ganjar-Puan seperti memberikan pesan bahwa, jika Gerindra tak solid mendukung pemerintah, tak bisa menertibkan kadernya, maka wacana sejak 2019 lalu untuk menduetkan Prabowo Subianto dan Puan Maharani seperti romantisme Koalisi PDIP-Gerindra di Pilpres 2009 lalu, akan terancam batal.
PDIP lebih baik mengusung paket calon presiden sendiri dibandingkan harus berkoalisi dengan Gerindra dengan mengusung Prabowo-Puan, yang mana kemungkinan menangnya tipis, dan ketidaksolidan kader-kader Gerindra sebagai pendukung pemerintah bukan tak mungkin juga dapat terjadi di Pilpres nanti.
Dampak Wacana Pasangan Ganjar-Puan
Wacana ini tentu saja banyak menimbulkan problematika tersendiri ke depannya. Misalnya, wacana ini dapat saja memengaruhi penurunan elektabilitas Ganjar sebagai calon presiden. Kekecewaan masyarakat akan ditampakkan dalam hasil survei beberapa bulan ke depan.
Meski begitu, lontaran wacana ini diharapkan menaikkan elektabilitas sosok Puan. Puan dianggap kesulitan menaikan elektabilitasnya melalui politik baliho, dan malah menimbulkan reaksi keras yang kontra atas pencitraan yang dihadirkan Puan dengan menanam padi bersama petani di tengah hujan.
Poin positif lainnya adalah dapat merangkul kader-kadernya agar kembali solid, sehingga tidak terjadi friksi faksi. Bahkan, ini adalah upaya merangkul kembali suara-suara pendukung Jokowi di Pilpres 2019 lalu, karena sebagian besar pendukungnya juga berharap tongkat estafet kepemimpinan dari Presiden Jokowi dilanjutkan oleh Ganjar Pranowo.
Meski begitu, perguliran wacana pasangan calon presiden Ganjar-Puan, malah dapat membuat ketidaksolidan partai-partai sebagai pendukung pemerintah. Hal ini dapat dilakukan oleh dua partai besar yakni Partai Golkar dan Partai Gerindra.
Kedua partai ini sangat meradang, kesempatan menaikkan elektabilitas dan menawarkan calon presiden dari partainya sendiri untuk berkoalisi, terkesan telah tertutup kansnya.
Ketidakpatuhan juga dapat ditunjukkan oleh Partai Nasdem.
Sebab dengan rencana akan diusungnya paket pasangan calon presiden-wakil presiden sendiri dari PDIP, maka jika ingin berkoalisi, Partai Nasdem harus meninggalkan lontaran wacana mendongkrak elektabilitas partai yang menginginkan Partai Nasdem dan Koalisi dalam memilih calon presiden-wakil presiden dilakukan dengan cara konvensi.
Kekhawatiran inilah yang bisa juga menyiratkan tentang isu wacana reshuffle kembali akan dilakukan oleh Pemerintah. Patut diduga salah satu alasannya, agar dapat mengakomodir anak Surya Paloh yakni Prananda Surya Paloh untuk memperoleh jabatan Menteri sebagai “gula-gula” kekuasaan agar Partai Nasdem tetap solid mendukung Pemerintah.
Risiko Mengusung Paket Pasangan Calon Sendiri
Wacana ini digulirkan menunjukkan sebuah keegoisan PDIP, dengan wacana Ganjar-Puan diharapkan dapat membendung kenaikan suara Partai Golkar dan Partai Gerindra yang berusaha mendongkrak kenaikan elektabilitas melalui isu mendekati kader PDIP yakni Ganjar, maupun mengambil isu sebagai partai politik pendukung Pemerintahan yang loyal.
Mengusung pasangan calon sendiri dari PDIP dengan memajukan Ganjar-Puan, jika merujuk pada regulasi, PDIP memang bisa memajukan pasangan calon presiden-wakil presiden sendiri tanpa perlu berkoalisi. Jika merujuk angka presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) yang ditetapkan yakni 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif (Pileg) sebelumnya.
Berdasarkan fakta, pada Pileg 2019, PDIP meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR. Artinya, persentase kursi DPR yang dimiliki PDIP sebesar 22,26 persen, ini menunjukkan PDIP telah melewati ambang batas 20 persen kursi DPR seperti dipersyaratkan presidential threshold, dan ini juga menunjukkan PDIP dapat mengusung paket calon presiden-wakil presiden sendiri.
Meski begitu, PDIP tentu saja sudah memikirkan berbagai resiko yang akan dihadapi dalam Pemilu serentak 2024 mendatang. Resiko pertama, partai-partai lain akan lebih mudah mendirikan koalisi tandingan dan peluangnya besar untuk mengalahkan pasangan calon Ganjar-Puan. Penting juga diingat, elektabilitas kader-kader dari PDIP bukanlah yang memiliki elektabilitas tinggi seperti Jokowi tempo lalu, melainkan kategori menengah termasuk Ganjar sendiri.
Bahkan, lagi-lagi koalisi tandingan dapat kembali dikomandoi oleh Gerindra, tetapi dengan penguasaan koalisi yang lebih besar dan solid berdasarkan tambahan barisan partai-partai politik pendukung pemerintah yang sakit hati.
Kedua, repotnya mempersiapkan kutak-katik pasangan calon Ganjar-Puan, ini terkait mengenai siapa calon presiden dan calon wakil presidennya. Jika Puan calon wakil presidennya, kecenderungan yang terjadi adalah dibenak masyarakat akan adanya kekhawatiran dan kekecewaan seperti terhadap pasangan calon terpilih saat ini Jokowi dan Ma’ruf Amin dapat terulang kembali.
Posisi Puan jika sebagai wakil presiden dianggap tak berbeda jauh dengan Ma’ruf Amin jika terpiih, yang dianggap tak berperan besar, tak banyak membantu kerja presiden, bahkan beratnya beban kerja pemerintahan seperti dipikul sendiri oleh Jokowi, hal yang sama dapat terjadi kembali dengan Ganjar.
Sedangkan, jika Puan yang sebagai calon presiden, malah lebih mengecewakan masyarakat, sebab, elektabilitas Puan lebih kecil dari Ganjar. Sehingga peralihan pilihan masyarakat terhadap koalisi lain malah semakin terbuka, disebabkan kekecewaan masyarakat yang menginginkan Ganjar Pranowo sebagai calon presidennya.
Jika Puan terpilih dan yang memerintah, kecemasan juga merasuki benak pikir masyarakat. Era saat Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada periode 2004-2009 lalu, dapat kembali terulang. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden malah dianggap sebagai the real president, tentu saja Ganjar akan diasumsikan seperti itu.
Baca Juga: Perilaku Agresif Pemerintah Menimbulkan Keraguan Netralitas Pemilu 2024
Di sisi lain jika Puan-Ganjar, yang terjadi adalah kemerosotan semangat kerja kader PDIP lebih tinggi, dibandingkan sebaliknya. Sebab, Ganjar lebih populer dan diterima mayoritas besar kader PDIP dibandingkan Puan. Puan memang tetap diterima tetapi di kalangan elite terbatas, sedangkan Ganjar dapat lebih banyak diterima di kalangan elite dan level akar rumpt pada internal PDIP.
Harapan internal PDIP terhadap Ganjar sebagai Presiden juga lebih tinggi, sebab Ganjar adalah sosok pengganti yang pas seperti Jokowi dengan nilai plus bangunan politik dinasti tak meluas. Tetapi perlu diingat, jika menaruh trah dinasti di posisi nomor dua sebagai wakil presiden, bukanlah hal yang mudah, karena ini tentang pengelolaan partai yang telah lama di atas bangunan personalisasi partai.
Bahkan, persaingan yang telah dilakukan oleh Puan terhadap Ganjar tentu akan berefek adanya rasa geram di hati si pewaris trah dinasti, bersifat legowo itu sulit.
Jadi peluang memang terbuka, tetapi banyak faktor yang perlu diperhatikan, agar jangan sampai pasangan ini kalah sebelum memasuki panggung Pilpres.
Mensolidkan suara partai dan pendukung Jokowi, dan turut mengerem laju popularitas partai-partai lain, memang tepat dengan mewacanakan menduetkan pasangan Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.
Namun, mengusung pasangan calon sendiri di dalam sistem kepartaian multipartai, tentu saja bukan hal yang lazim, sehingga butuh keberanian, kerja keras yang luar biasa besar, dan mempersiapkan sikap legowo yang amat tinggi menghadapi kemungkinan besar kekalahan. (*)