Deklarasi Koalisi, Batal

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 12 November 2022
0 dilihat
Deklarasi Koalisi, Batal
Efriza, Dose Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Kemungkinan besar yang terjadi adalah mengenai masih terjadinya tarik-menarik kepentingan, utamanya soal calon wakil presiden (cawapres) yang belum rampung "

Oleh: Efriza

Dose Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

POROS koalisi baru gagal terwujud. Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) ditenggarai akan berkoalisi. Hanya saja ketiga partai ini gagal mendeklarasikan koalisi bersamanya.

Koalisi ketiga partai ini adalah poros koalisi ketiga. Kegagalan ketiga partai ini ditenggarai hanya Deklarasi semata bukan tentang koalisinya.

Deklarasi batal karena belum terjadi kesepakatan di antara ketiga partai tersebut.

Kemungkinan besar yang terjadi adalah mengenai masih terjadinya tarik-menarik kepentingan, utamanya soal calon wakil presiden (cawapres) yang belum rampung. Soal calon presiden (capres) ketiga partai itu disinyalir satu frekuensi mencalonkan Anies Baswedan.

Mufakat Belum Tercapai

Wacana simulasi cawapres menguat karena belum termufakati antar partai-partai koalisi mengenai cawapres pendamping Anies. PKS menginginkan Aher yang mendampingi Anies.

Wajar saja, karena PKS ingin bisa bicara banyak di kancah nasional utamanya Pilpres. Sebab, PKS selama empat kali Pilpres hanya sebagai “pemandu sorak” semata. Peran PKS, sekadar menggenapi kebutuhan koalisi menyikapi presidential threshold semata.

PD tentunya menolak keinginan PKS. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Ketua Umum PD, elektabilitasnya lebih tinggi dibandingkan Ahmad Heryawan (Aher). Jangan lupakan pula, PD punya pengalaman sebagai presiden selama satu dekade lalu, ketika pilpres pertama dan kedua diselenggarakan di era reformasi ini.

Sedangkan, Nasdem cenderung berharap cawapres non-partai. Nasdem telah mendeklarasikan Anies Baswedan, maka janggal jika yang berpotensi meraup keuntungan elektoral dan cawapresnya malah partai lain. Tak mungkin, Nasdem menggelar “karpet merah” jika tanpa adanya perhitungan keuntungan.  

Hanya saja, Nasdem masih bisa menerima jika AHY yang diusung. Meski AHY belum punya pengalaman di pemerintahan sama sekali, jika dibandingkan dengan Aher. Tetapi berdasarkan ideologi antara PD dan Nasdem sama dari nasionalis. Sehingga Nasdem lebih dapat mempersiapkan diri dalam mengantisipasi kemungkinan penurunan perolehan suara di pemilu mendatang.

Baca Juga: Ngopi Ala KPU

Nasdem khawatir, jika cawapres dari PKS ketimbang PD. Jika yang diajukan kader PKS, maka Anies malah akan terlabeli sebagai capres “Islam kanan.” Label itu akan memungkinkan PKS suaranya cenderung naik. Sebab, representasi dukungan Islam kanan menguat dan terwadahi oleh PKS.

Potensi Nasdem mengalami penurunan suara drastis cukup masuk akal. Sebab, suara nasionalis yang potensial milik Nasdem mengalami pergeseran kepada partai-partai lain. Apalagi saat ini berbagai hasil survei, menunjukkan Nasdem mengalami penurunan perolehan suara, juga dikhawatirkan tak lolos ke Senayan pasca mendeklarasikan dukungan kepada Anies.

Namun, Nasdem lebih memilih mencoba bijak dengan menyerahkan kepada Anies. Pilihan ini tentu saja, Nasdem telah mempelajari gelagat bahwa Anies juga tidak sepenuh hati memilih Aher. Sebab Anies sedang mencoba merangkul semua pemilih, tidak lagi ingin membatasi ceruknya dari kalangan Islam. Kalangan Islam dari unsur PKS semata, juga tak memuaskan karena jumlah ceruk Islamnya tidak mayoritas.

Sisi lain, Nasdem memang tak punya kader untuk diajukan sebagai cawapres. Nasdem juga sudah melihat realitas bahwa mengajukan Ganjar Pranowo maupun Andika Perkasa dari pilihan kedua dan ketiganya sebagai cawapres kecenderungan terbesar tidaklah mungkin terjadi.

Tetap Berkoalisi Menunggu Mufakat

Kemungkinan Nasdem, PKS, dan PD tidak berkoalisi persantasenya amat kecil. Ketiga partai ini telah satu frekuensi mendukung Anies, tinggal mencari nama untuk dipasangkan oleh Anies dengan potensial menang yang tinggi. Ketiga partai ini ditenggarai memiliki alasan masing-masing untuk tetap bersama.

Nasdem jengkel dilecehkan dan dipandang sebelah mata oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tawaran Nasdem berkoalisi dan mengusung Ganjar Pranowo telah ditolak dengan turut direndahkan oleh Sekjen PDIP dengan sindirian “salah satu partai politik yang disebut mengalami penurunan elektoral lantas memunculkan nama kader PDIP untuk Pilpres 2024,” (rmol.id, 19 Juli 2022).

Sehingga Nasdem tentu tidak ingin malu kedua kalinya dengan gagal membangun koalisi dan mengusung Anies Baswedan sebagai capres di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini.

PD yang saat ini ketua umumnya AHY memiliki elektabilitas tinggi tentu tidak ingin membuang peluang besar ini.

PD juga berharap mereka akan kembali memerintah layaknya PDIP dulu yang satu dekade sebagai oposisi berhasil memerintah kembali. PD juga ingin mengambil kesempatan sebagai partai yang “dimusuhi” oleh PDIP, tentu saja PD akan dianggap lawan berat PDIP jika Anies dipasangkan oleh AHY.

Sedangkan PKS yang amat "genit."

PKS berusaha melakukan tekanan tinggi kepada Nasdem agar keinginan mengajukan Aher dapat diterima. PKS turut “membumbui” tekanan dengan bermanuver ke KIB dan Poros Gerindra-PKB.

Hanya saja, PKS berat jika ke Gerindra-PKB, sebab potensi kemenangannya kecil. PKS juga tidak lagi mesra dengan Gerindra pasca suara Gerindra mengalami penurunan karena isu identitas sedangkan PKS perolehan suaranya meningkat. Dan, juga PKS dalam menawarkan Aher peluangnya lebih kecil, cenderung besar ditolak oleh Gerindra dan PKB.  

PKS hanya dapat bermanuver ke Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Permasalahannya adalah KIB belum menentukan fokusnya saat ini. KIB masih berharap bisa mengajak PDIP dengan opsi Ganjar. Pilihan lainnya, jika gagal adalah mencari calon alternatif.

Berlarut Tetap Berkoalisi

PKS tak disalahkan jika memilih bermanuver di luar. Sebab, mereka butuh diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Meski begitu, PKS tetap berupaya membangun komunikasi dengan Nasdem dan PD.

Potensi berpalingnya PKS amat kecil. Solusi yang memungkinkan, mencari cawapres alternatif.

Simulasi adalah pilihan bijak. Simulai diperkirakan akan ada empat nama untuk di simulasikan. Asumsi empat nama, saling menawarkan nama cawapres, ketiga partai dan Anies sendiri. Meski, simulasi memang tak dapat menjadi jalan keluar, jika tak ada pemufakatan bersama.  

Simulasi akan sia-sia, jika KIB membuka peluang dengan turut mengusung AHY. Kemungkinan PD berpaling dari Anies Baswedan amat memungkinkan. Namun, saat ini dari Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak ada yang menyuarakan mendukung AHY. KIB saat ini, cenderung lebih memilih mengajukan Airlangga Hartarto, Ridwan Kamil, selain Ganjar Pranowo.  

KIB seperti dikatakan di atas, mereka sedang berjuang membangun hubungan agar terjadinya koalisi KIB dengan PDIP. Maka wajar nama AHY tidak menjadi alternatif pilihan KIB saat ini. Sebab PD dan PDIP adalah rival sehingga tidak memungkinkan disatukan untuk jadi alternatif pilihan.  

Baca Juga: Isu Kudeta di PDIP

Jadi KIB memungkinkan mengajak PD dengan syarat, jika PDIP memilih mengajukan pasangan calon sendiri. Meski begitu, mewujudkan koalisi KIB-PD juga lebih rumit, mengenai siapa capres yang akan diusungnya. Sebab, AHY lebih diprioritaskan sebagai cawapres.  

Skenario kemungkinan Anies gagal nyapres, memungkinkan meski kecil peluangnya. Jika poros koalisi KIB dengan PD dapat terwujud. Sayangnya, AHY dan PD pasif bermanuver. Sebab PD tetap berharap besar dengan peluang yang besar, AHY yang mendampingi Anies.  

Jadi kemungkinan koalisi PKS, Nasdem, PD hanya menunggu waktu saja. Ketiga partai itu terus membangun komunikasi dan merumuskan tawar-menawar kepentingan semata.

Namun, diantara nama antara Aher dan AHY, jawabannya adalah kemungkinan AHY lebih besar, kemungkinan calon alternatif adalah pilihan berikutnya, sedangkan Aher perkiraan perhitungannya hanya di urutan kesekian untuk diusung. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga