Presiden Jokowi yang Terbebani Berbagai Kepentingan

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 13 Juni 2021
0 dilihat
Presiden Jokowi yang Terbebani Berbagai Kepentingan
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Presiden Jokowi mulai menyadari bahwa politik di Indonesia dengan realitas sistem multipartai tanpa adanya partai politik yang memperoleh suara dominan, malah merepotkan langkah politik pemerintah "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

TAK ringan bekerja sebagai Presiden di republik ini, apalagi pasca reformasi. Sistem multipartai yang dipilih ternyata menjadi problematika tersendiri. Apalagi didukung fakta bahwa tidak adanya partai yang memperoleh suara dominan.

Partai-partai yang masuk tiga besar saja suaranya hanya di level menengah, bahkan dengan perbedaan suara yang tidak terlalu jauh. Kondisi ini ditambah dengan realitas bahwa partai-partai semakin pragmatis dalam berperilaku.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya ingin berkomitmen memimpin negeri tanpa politik pragmatis. Penggunaan hak prerogatif dalam memilih pembantu presiden dibangun dengan dasar tidak “bagi-bagi kursi” melainkan bersifat profesional.

Menteri-menteri juga tidak boleh merangkap jabatan sebagai pemimpin partai politik. Impian itu akhirnya layu sebelum berkembang, disebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan DPR di Senayan.

Di samping, pemerintah kesulitan bekerja dengan optimal, karena jumlah dukungan pemerintahan lebih kecil dibandingkan dengan oposisi, sekitar 36,96 persen berbanding 63,03 persen.

Presiden Jokowi yang memfokuskan pemerintahan kepada pembangunan infrastruktur, mulai berpikir ulang dalam pengelolaan pemerintahan. Lambat-laun Presiden Jokowi malah terperangkap dalam kekhawatiran pemerintahan akibat riuh-rendah di Senayan.

Presiden Jokowi mulai menyadari bahwa politik di Indonesia dengan realitas sistem multipartai tanpa adanya partai politik yang memperoleh suara dominan, malah merepotkan langkah politik pemerintah.

Realitas dan kekhawatiran inilah yang menunjukkan pernyataan Jokowi bahwa ia di periode kedua pemerintahannya tidak lagi punya beban, malah sebuah pernyataan yang hanya angan-angan semata. Sebab, Presiden Jokowi semakin terperangkap dalam politik “bagi-bagi kekuasaan.”

Karakter pemerintahan tak lagi setangguh dulu, pundak hingga punggung Jokowi semakin “menunduk” menandakan ia terbebani oleh berbagai kepentingan. Politik kebijakan yang dijalankan Pemerintah Jokowi malah menjauh dari aspirasi publik.

Pemerintah dalam berpikir pembangunan infrastruktur menunjukkan sangat membutuhkan stabilitas politik, sehingga melemahkan pelembagaan politik lainnya dan memerosotkan semangat partisipasi politik masyarakat adalah langkah tepat.

Baca Juga: Popularitas Puan versus Tuan (Ganjar) Menuju Pilpres 2024

Wajar akhirnya, realitas bahwa Jokowi adalah orang yang baik tetapi ia terperangkap bergaya “neo Orde Baru.” Tulisan ini ingin menguraikan pengelolaan pemerintahan presiden Jokowi di periode kedua ini.

Politik “bagi-bagi kursi”

Presiden Jokowi semakin berpikir ringkas dan pragmatis, dengan melupakan komitmen dirinya yang lalu. Hak prerogatif memilih menteri tak lagi dapat dirasakan benar-benar dipegang teguh oleh Presiden Jokowi.

Presiden malah menunjukkan sikap manut dengan kemauan dan kepentingan orang-orang, kelompok, maupun partai-partai politik yang telah berperan mendukung dan memenangkannya di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Ia tidak lagi peduli berbagai persepsi negatif bahwa pengelolaan pemerintahannya didasari oleh politik akomodasi, “balas budi,” maupun politik transaksional.

Begitu ia terpilih, hal utama yang dilakukannya adalah melemahkan pelembagaan politik. Gerindra yang sejatinya adalah rival di Pilpres 2019, kekuatan terbesar dari oposisi, malah diajak bergabung dalam koalisi. Ia mengatakan dengan tegas, Indonesia tak mengenal oposisi yang ada adalah politik gotong royong.

Kekuatan oposisi akhirnya langsung dapat dilumpuhkan, dengan kekuatan pendukung pemerintah meningkat menjadi 75 persen dari sebelumnya 64,97 persen. Membangun pemerintahan gotong royong ala Jokowi juga dilakukan dengan mengakomodir tim kampanye nasional, relawan, hingga politisi-politisi dari koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 kemarin.

Wajar akhirnya, pemilihan menteri yang sejatinya hak prerogatif Presiden, yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun, malah Presiden Jokowi menunjukkan karakter diri presiden yang lemah. Ini ditunjukkan dengan Presiden Jokowi menyatakan permintaan maaf, bahwa dari 300 nama yang diajukan hanya bisa diakomodir 34 untuk kebutuhan kementerian.

Selain itu, Presiden Jokowi juga limbung, ketika digertak oleh Relawan Pro Jokowi (Projo) yang menyatakan akan menarik diri sebagai pendukung, karena Presiden Jokowi mengajak Prabowo Subianto yang adalah rival Jokowi di Pilpres malah diangkat sebagai  pembantu presiden, akhirnya, kursi wakil menteri desa di share untuk mewakili kelompok relawan tersebut.

Riak-riak yang hadir dipermukaan cenderung menunjukkan keinginan agar kerja keras mereka “dibayar”dengan garansi jabatan. Pengakomodiran inilah yang dilakukan Jokowi hingga paket kekuasaan tak sekadar kursi menteri, perluasan kursi wakil menteri juga dilakukan hingga tak tanggung-tanggung dari 3 kursi wakil menteri di periode lalu, menjadi 15 wakil menteri di periode ini.  

Kursi berikutnya yang juga dibagi-bagi dalam menggaransi kerja keras mereka adalah kursi dewan pertimbangan presiden, staf khusus presiden, Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga Duta Besar (Dubes). Bahkan, reshuffle ala Jokowi juga acapkali mengesankan hanya menggeser jabatan bagi menteri yang terkena reshuffle.

Jika pada periode pertama Presiden Jokowi lalu, ada mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Yuddy Chrisnandi yang digeser menjadi Duta Besar Ukraina. Sedangkan pada periode keduanya, Wishnutama Kusubandio lengser dari menteri pariwisata dan ekonomi kreatif diberikan kursi Komisaris Telkomsel.

Pola lengser-pungut, bukan hal baru bagi Presiden Jokowi, setidaknya ada 4 mantan menteri yang menduduki kursi komisaris, dari 33 kursi Komisaris yang terungkap dibagi-bagi tersebut.

Baca Juga: Untung Rugi Buat PDIP

Pola Linglung dalam Legislasi

Keputusan/kebijakan maupun legislasi yang dilakukan pemerintah juga menunjukkan political support lebih penting dibandingkan dengan electoral support. Presiden Jokowi malah semakin menjauh dari semangat reformasi dalam memberantas korupsi.

Revisi UU KPK yang beberapa kali ditolak oleh Presiden Jokowi, ternyata di balik itu hanya merupakan misi tersembunyi, yang  disinyalir disengaja untuk ditunda, tetapi pada dasarnya hanya menunggu moment saja.

Kekhawatiran akan gelombang protes, terganggungnya elektabilitas pemerintahan, dan kekhawatiran ketidakterpilihan kembali, menunda adalah pilihan rasional, yang penting misi itu selesai.

Penolakan dengan mekanisme demonstrasi terhadap legislasi yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah banyak dilakukan di periode kedua ini, sebut saja respons terhadap revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang akhirnya pemerintah menyatakan menunda dengan alasan perlu dikaji kembali.

Penolakan juga dilakukan terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang dalam Perpres itu diperbolehkan investasi minuman miras, yang akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi dalam pengelolaan pemerintahan membangun suatu politik keberimbangan, dengan konsep “win-win solution.”

Presiden Jokowi berusaha merawat dukungan masyarakat terhadap pemerintahan. Tetapi pada dasarnya Presiden Jokowi juga tak sanggup menolak keinginan dari kepentingan politik dari partai-partai pendukungnya.

Konsep inilah yang menunjukkan Presiden acapkali linglung, tak teguh pendirian terhadap pilihan yang telah diambilnya. Menunggu kesempatan dan momentum yang tepat, terkesan adalah pilihan yang bijak, dibandingkan bersikukuh untuk menolak kepentingan politik dari berbagai partai pendukung pemerintah.

Pemerintah juga semakin mengesankan menjauhkan diri dari menyerap dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Beberapa rencana kebijakan menteri yang begitu fantastis, menimbulkan perdebatan di masyarakat, hingga mengerutkan dahi masyarakat.

Ternyata ketika mendapatkan respons di masyarakat, di anggap rencana itu terungkap karena adanya kebocoran informasi semata. Seperti, rencana Kementerian Pertahanan yang berencana membeli Alat Utama Sistem Persenjataan (alutsisa) TNI dengan nilai ribuan triliun, maupun baru-baru ini juga Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan juga mengungkap adanya dokumen draf yang bocor terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang memuat wacana perluasan pengenaan pajak untuk sembako hingga pendidikan.  

Terkesan bahwa respons masyarakat, terjadinya polemik di masyarakat, merupakan sikap “kegaduhan” yang mesti segera dihilangkan. Pemerintah akhirnya, terkesan ingin mengambil keputusan tanpa mengakomodasi suara rakyat.

Rakyat yang “gaduh”dianggap akan berpengaruh terhadap stablitas politik, tentu saja yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap upaya pembangunan infrastruktur.

Presiden Sudah Lelah

Saat ini, tampak terlihat Presiden Jokowi mulai lelah. Mudah menunjukkan ia kelelahan, ketika ia akhirnya mengatakan, harus dengan bahasa seperti apa bahwa ia tak berkenaan menjadi presiden untuk tiga periode, dan ia juga tak akan melakukan amandemen konstitusi.

Sayangnya, ketika letih itu begitu terasa, ia tak berupaya lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. Malah cenderung dipersepsikan akan memperluaskan kekuasaan dengan upaya merangkul mitra koalisi baru yakni Partai Amanat Nasional, sehingga akan tersisa PKS dan Partai Demokrat saja yang berada di luar pemerintahan.  

Baca Juga: Airlangga Hartarto dan Golkar yang Rasional

Presiden Jokowi saat ini tak bisa dipungkiri adalah penentu dari persepsi publik dalam pencalonan presiden. Tak bisa diabaikan bahwa saat ini calon-calon presiden dan wakil presiden yang populer dan mempunyai kans untuk maju di Pilpres 2024 mendatang, ditentukan oleh perjalanan karirnya sebagai pembantu presiden.

Sebut saja menteri-menteri yang berlatarbelakang dari Istana adalah Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Tri Rismaharini, Erick Thohir, Yaqut Cholil Qoumas dan Sandiaga Uno, nasibnya seakan berada dalam genggaman tangan Presiden Jokowi.

Meski begitu, Jokowi juga tersandera akan kepentingan-kepentingan mereka. Popularitas mereka dibiarkan bersinar meski dengan kinerja yang tidak begitu menonjol dan optimal.

Melihat realitas di atas, saat ini yang semestinya segera dilakukan oleh Presiden Jokowi, adalah Pertama, mengembalikan semangat diri seperti yang diucapkan bahwa ia tak lagi terbebani, sebab tak ada lagi kepentingan untuk mencalonkan diri sebagai presiden kembali.

Kedua, Presiden Jokowi juga perlu menyadari bahwa merangkul banyak partai politik di pemerintahan, bukan pilihan yang tepat. Sebab pemerintah akan tersandera untuk memikirkan kepentingan mereka dari kompensasi kerja mereka di pemerintahan.

Ketiga, Presiden Jokowi semestinya mempersiapkan diri untuk tidak lagi bak “bulan madu” dengan partai-partai pendukung pemerintah. Sebab suka-tidak suka bahwa riak-riak akan lebih terdengar dari Istana.

Upaya meraih popularitas, meningkatkan elektabilitas, akan menyebabkan menteri dari partai politik bekerja melambat tetapi kecenderungan berbicara semakin intens.

Keempat, Presiden Jokowi perlu membuang asumsi bahwa pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan adanya stabilitas politik melalui melemahkan pelembagaan politik dan memerosotkan partisipasi politik masyarakat.

Karena nantinya Presiden Jokowi harus berani menghadapi realitas bahwa partai-partai pendukung pemerintah, akan segera berikhtiar sebagai oposisi tetapi dengan bahasa mitra strategis dan kritis bagi pemerintah; dan Kelima, Presiden Jokowi harus segera “berkoalisi” kembali dengan rakyat, agar keberhasilan pembangunan infrastruktur didasari semangat demokratisasi, bukan hasil dari kebijakan politik “neo-Orba”yang dijalankan oleh pemerintah. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga