Menelisik Meriam Tempur di Benteng Keraton Buton
Deni Djohan, telisik indonesia
Senin, 16 Maret 2020
0 dilihat
Mahasiswa Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) di Istana Ilmiah, Kota Baubau. Istana Ilmiah berbatasan langsung dengan Pantai Kamali saat ini. Foto: Ist
" Benteng Keraton Buton menyimpan banyak misteri, yang hingga kini belum terpecahkan "
BAUBAU, TELISIK.ID - Benteng Keraton Buton menyimpan banyak misteri, yang hingga kini belum terpecahkan. Banyaknya situs peninggalan di dalamnya, membuat benteng terluas di dunia ini menjadi incaran para peneliti untuk menemukan cerita sejarah tersendiri pada setiap peninggalannya. Salah satunya adalah meriam yang tersusun rapi di setiap sudut dan di dalam benteng yang luasnya berukuran 400 ribu meter persegi atau 2. 740 meter.
Meriam merupakan senjata teknologi yang cukup canggih pada masanya. Meriam merupakan senjata berbentuk tabung yang memiliki laras panjang dengan diameter bervariasi. Berdasarkan panjang laras dan ukuran diameter meriam, akan diketahui ukuran maupun jenis kaliber meriam. Semakin besar kalibernya, maka semakin besar ruang untuk mesiu. Hal ini kemudian menjadikan potensi jarak tembak sebuah meriam.
Di dalam benteng, terdapat pemukiman warga turunan sultan dan tinggalan sejarah budaya masa kesultanan. Peninggalan tersebut di antaranya, Masjid Agung Keraton, tiang bendera yang disebut, Kasuluna Tombi, batu pertitaan atau batu gandangi/batu wolio dan batu popaua. Kedua batu ini merupakan batu yang digunakan dalam prosesi pelantikan Raja dan Sultan. Terdapat pula Istana Sultan ke-37, Muhamad Hamidi, yang disebut, Kamali Kaara dan Istana Sultan Umar yang disebut Kamali Bata. Benteng ini memiliki 12 lawana dan 17 baluarana. Pada setiap lawa dan baluara terdapat meriam dengan masing-masing jenis.
Berdasarkan data Arkeolog Unhas, Fahri, secara keseluruhan, jumlah meriam yang ada di kawasan benteng sebanyak 41 buah. Lima di antaranya berada di halaman Masjid Agung, satu di rumah penduduk serta 35 buah berada di Baluaranan dan Lawana benteng.
Setiap meriam memiliki ukuran, inskripsi, arah hadap, ukuran kaliber, kaliber, bahan dan tipe meriam berbeda. Semua itu dikarenakan memiliki bagian dasar, pangkal, lubang tembak, panjang laras, cincin dan moncong meriam berbeda. Meriam paling panjang berukuran 320 centi meter. Sedang yang paling pendek berukuran 166 centi meter.
Ukuran meriam yang ada, lebih dominan yang berukuran besar atau sebanyak 21 buah. Kemudian meriam yang berukuran sedang sebanyak 14 buah. Ada pula meriam benteng berukuran sedang baik diameter maupun panjangnya. Biasanya, meriam benteng ini tak berpindah tempat mengingat besar dan berat meriam tersebut. Khusus arah hadap yang berbeda ini berfungsi sebagai penunjang pertahanan pada setiap sisi.
Sebaran meriam hampir seimbang antara yang menghadap laut, dengan meriam yang menghadap ke perbukitan. Namun konsentrasi sebaran meriam tersebut lebih banyak diletakan pada sisi bagian Utara atau menghadap ke laut. Jumlah meriam yang diletakan disitu berjumlah 20 buah. Sedang meriam yang mengarah ke sisi timur atau perbukitan hanya 15 buah. Hal ini diketahui karena pada sisi Utara terdapat Teluk Baubau yang merupakan pelabuhan transit kapal-kapal dagang yang berlayar dari timur ke barat Nusantara.
Dari jumlah meriam yang ada, kaliber paling besar berukuran 33,7 inci. Ukuran ini terdapat pada 19 meriam yang ada. Sedang yang paling sedang berukuran 6,7 inci terdapat di 14 buah meriam. Semua meriam ini berbahan baku baja, perunggu dan kuningan.
Masing-masing meriam terdapat huruf pada bagian dudukan. Huruf ini berfungsi sebagai kode atau tanda pembuatan. Huruf tersebut, diantaranya F, G, H. Selain huruf, terdapat pula lambang VOC atau Verenigede Oustindische Compagnie yang merupakan serikat dagang dari Belanda, serta angka pada masing-masing meriam.
Meriam yang memiliki huruf F berjumlah 11 buah. Sedang meriam yang memiliki lambang VOC sebanyak delapan buah. Dari jumlah tersebut, dua lambang VOC memiliki huruf A dan enam berlambang VOC tidak memiliki huruf. Lambang VOC yang memiliki kode huruf A menandakan sebuah nama Kota, Amsterdam yang merupakan tempat meriam diproduksi.
Adanya bukti tinggalan benteng maupun sarana pendukung pertahanan lainnya tersebut, menandakan jika Buton pada masa itu telah benar-benar siap melindungi diri jika terjadi peperangan. Beberapa catatan sejarah yang ada, Buton tercatat pernah melakukan peperangan dengan kerajaan di sekitarnya. Di antaranya perang bersama kerajaan Goa Talo yang dipimpin langsung, Karaeng Bonto Marannu.
Selain itu, Buton juga pernah berkonflik dengan Belanda. Kisah ini tercatat dalam sejarah panjang Sultan ke-20 dan 23, Himayatuddin alias Oputa Yiko'o. Karena perlawanan itu, Sultan berjuluk geriliawan hutan itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh presiden RI, Ir. Joko Widodo.
Perlu diketahui, sebelum Montesquieu menemukan teori pemisahan kekuasaan pada pemerintahan yang dikenal dengan Trias Politica yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif sekitar tahun 1755, Kesultanan Buton sudah menerapkan sistem ini tahun 1600-an, yakni pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ihksanuddin. Pembagian wilayah kekuasaan pemerintah di Buton dikenal dengan, Walaka (ayah) dan Kaomu (anak) dan Papara (rakyat biasa).
Golongan Walaka, adalah mereka yang menjabat sebagai Siolimbona atau perwakilan sembilan kampung. Tugas mereka mengangkat dan memberhentikan sultan atau legislatif. Sedangkan seorang sultan diangkat dari golongan Kaomu. Dalam kelompok Kaomu ini terbagi tiga kelompok yang disebut, kamboru-mboru talu palena yakni, tapi-tapi, tanayilandu dan kombewaha. Tiga kelompok ini semacam partai di zaman sekarang.
Reporter: Deni Djohan
Editor: Sumarlin