Mengamankan Kekuasaan, Memperluas Koalisi

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 05 September 2021
0 dilihat
Mengamankan Kekuasaan, Memperluas Koalisi
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Langkah yang dilakukan Presiden Jokowi menunjukkan pemerintah memiliki kekhawatiran tak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) terus bermanuver untuk memperluas koalisi. Upaya menambah dukungan partai politik sebagai pendukung pemerintah dilakukan melalui pertemuan dengan Partai Amanat Nasional (PAN).

Langkah yang dilakukan Presiden Jokowi menunjukkan pemerintah memiliki kekhawatiran tak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat.

Upaya memperluas koalisi tak sekadar melumpuhkan partai-partai politik di luar pemerintahan, tetapi jelas ditujukan dengan obsesi Presiden Jokowi untuk turut terlibat dalam dinamika politik pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 nanti.

Pertemuan PAN dengan Presiden

Jokowi tak sekadar hanya berdiskusi, mempersatukan persepsi, melainkan adanya kesepakatan dukungan juga akan dapat diikuti dengan membagi jabatan. Sinyal akan terjadinya reshuffle kembali cenderung mungkin terjadi, andai pun dalam membagi jabatan tak melulu harus dalam lingkup posisi menteri, sebab bisa saja untuk jabatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun duta besar.

Lebih luas, dukungan pemerintah tentu saja akan membantu PAN memperoleh persepsi positif di masyarakat. PAN saat ini dalam posisi serba salah, mencoba untuk mengkritisi kinerja pemerintah, tetapi sayangnya komunikator dari legislator PAN tak pandai berkomunikasi, malah yang terjadi pernyataan-pernyataannya blunder di masyarakat.

Jika PAN memilih di luar pemerintahan, tentu saja popularitas PAN akan semakin meredup, apalagi konflik di internal PAN telah menghasilkan partai baru yang berasal dari rahim PAN yakni Partai Ummat.

Baca juga: Berkaca pada Suksesi DPW PPP Sultra

Presiden Khawatir Elektabilitas Turun

Pemerintah saat ini mungkin saja merasa mulai tenang karena penurunan kasus pandemi COVID-19. Meski hal itu terjadi tidak benar-benar berupa penurunan, tetapi itu hanya strategi yang bisa saja dinilai positif maupun negatif. Relaksasi dari pandemi COVID-19 untuk tujuan penyelamatan ekonomi masyarakat yang terdampak akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pemerintah juga memahami akan situasi terjadinya gelombang lanjutan pandemi COVID-19. Oleh adanya rencana pemerintah melakukan kembali pembelajaran sekolah tatap muka di bulan Oktober. Situasi rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sementara dilakukan dengan situasi herd immunity yang belum berhasil dilakukan.

Ini tentu saja, akan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah jika ternyata gelombang COVID-19 kembali melonjak. Di sisi lain, jelas periode Oktober hingga Januari bukan periode yang tenang, biasanya di periode ini pemerintah akan mulai sibuk melakukan pengaturan pembatasan kegiatan beribadah menjelang natal dan tahun baru.

Berbagai potensi yang acapkali terjadi pelonjakan ini, sudah sangat dihapal bahkan dimaklumi oleh masyarakat. Naik atau turunnya pandemi COVID-19 ini dianggap tergantung pemerintah, tetapi sayangnya pemerintah tak pernah belajar dari siklus yang sama setiap tahunnya. Pemerintah kurang memperhatikan pengupayaan pelonjakan COVID-19 tidak terjadi, misalnya, atas rencana PTM nanti.  

Upaya yang dilakukan pemerintah lebih kepada kekhawatiran penurunan popularitas semata. Pemerintah lebih khawatir terhadap komentar-komentar negatif yang dilakukan oleh partai-partai politik oposisi, sehingga strategi melumpuhkan oposisi terus dilakukan oleh pemerintah.

Indikasi agar terus menyampaikan berita positif terhadap pemerintah sangat diinginkan oleh pemerintah, hingga seni mural di jalanan pun begitu menakutkan bagi pemerintah, akhirnya ruang ekspresi mural turut diberangus.

Baca juga: Polemik Amandemen Terbatas UUD 1945

Persiapan Pilpres 2024

Pemerintah sekarang ini sangat sibuk dalam wacana-wacana politik. Presiden Jokowi terlarut dalam proses persiapan Pemilu 2024, akhirnya pemerintahan dijalankan untuk kepentingan menuju Pemilu 2024.

Perilaku merasa sebagai penentu pencalonan presiden dan wakil presiden, malah membuat pemerintahan sibuk membujuk partai-partai politik sebagai pendukung pemerintah. Akhirnya, pemerintahan dibangun dengan cara membungkam kritik.

Langkah-langkah politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, sebenarnya malah bikin penurunan popularitas pemerintah bagi publik. Pertemuan dengan PAN tidak dapat dianggap sekadar mendukung pemerintahan saat ini semata, tetapi langkah politik ke depan bisa saja diupayakan sejak dini.

Indikasi melumpuhkan oposisi juga dapat dilakukan dengan memberangus iklim demokrasi yang bersifat kompetitif. Langkah mengajak PAN untuk turut ikut dalam dukungan di pemerintahan.

Ini telah menghadirkan persepsi negatif di ruang publik bahwa pemerintah sedang melakukan skenario berupa dagelan politik, seperti dipersepsikan agar terjadinya Pilpres dengan calon-calon yang diusung oleh pemerintah, tetapi dengan menyingkirkan dua partai politik yang memilih sebagai oposisi pemerintah.

Kekuatan dari oposisi yang hanya menyisakan dua partai, dengan perincian Partai Demokrat yang hanya sebesar 7,77 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meraih 8,21 persen, tentu saja tidak akan dapat melakukan koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Sebab prosentase kedua partai hanya sebesar 15 persen, sedangkan syarat mencalonkan presiden dan wakil presiden dibutuhkan 20 persen suara.

Dengan pernyataan PAN yang menyatakan mendukung pemerintah, tentu saja popularitas kedua partai dapat semakin meredup, suara kencang mengkritik pemerintah pun akan semakin sayup-sayup terdengar.

Apalagi kedua partai ini juga memiliki persoalan internal dari perebutan suara dan popularitas, seperti PKS akibat konflik internal menyebabkan kehadiran Partai Gelora Indonesia, hal yang sama juga terjadi dengan PAN yang sedang terjadi perebutan dualisme kepemimpinan dalam proses pengadilan negara.

Presiden Jokowi tentu saja melakukan langkah ini setidaknya untuk meredam keriuhan komentar negatif terhadap pemerintah yang dapat menyebabkan penurunan popularitas pemerintah dalam persepsi publik.

Di samping itu, Presiden Jokowi dirasakan memang sedang mencoba untuk mengupayakan terjadinya transisi pemerintahan kepada calon presiden dan wakil presiden yang memang memperoleh dukungan dari Presiden Jokowi secara langsung dan tidak langsung, untuk disodorkan dan dipilih oleh masyarakat dalam Pilpres 2024.

Harus diakui, memang sangat disayangkan Presiden Jokowi yang sedang terbelenggu oleh persoalan pandemi COVID-19 malah semakin larut dalam urusan politik elektoral dan popularitas semata. (*)

Artikel Terkait
Atlit

Atlit

Kolumnis Selasa, 17 Maret 2020
Baca Juga