Mengenal Tahapan Tradisi Kari'a, Upacara Pingitan Masyarakat Muna

Wa Ode Ria Ika Hasana, telisik indonesia
Senin, 24 April 2023
0 dilihat
Mengenal Tahapan Tradisi Kari'a, Upacara Pingitan Masyarakat Muna
Pesrta kari'a atau pingitan setelah keluar dari kamar yang dipimpin oleh pomantoto. Foto: Ist.

" Upacara kari’a hanya dilakukan oleh anak perempuan yang beranjak dewasa yaitu dari umur 15 atau 16 tahun "

MUNA, TELISIK.ID - Muna adalah salah satu pulau yang memiliki banyak peninggalan budaya warisan leluhur. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah tradisi kari’a atau pingitan.

Upacara adat kari’a merupakan upacara ritual pingitan yang sangat meriah dan pelaksanaannya diiringi alat musik tradisional Muna. Kari’a menjadi pesta keluarga yang penting. Upacara ini hanya dilakukan oleh anak perempuan yang beranjak dewasa yaitu dari umur 15 atau 16 tahun.

Upacara ini kerap kali dilaksanakan sebelum acara pernikahan, sehingga anak gadis akan dipingit terlebih dahulu sebelum melaksanakan pernikahan.

Menurut salah seorang imam masjid di Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, La Ntolori menjelaskan, pelaksanaan upacara kari’a terdiri dari beberapa langkah atau tahapan yang harus dilakukan di antaranya:

1. Pengambilan air yang dipingit atau oleh masyarakat Muna disebut juga Kaalano Oe Kaghombo, pengambilan air mengawali proses upacara kari’a yaitu pengambilan air yang akan dighombo. Dahulu air yang akan digunakan hanya boleh diambil di sebuah tempat yang sudah digunakan secara turun temurun. Namun sekarang, sudah bisa diambil di sungai yang sudah disepakati tetua adat.

Setelah keluar kamar pingitan peserta menari dan diiringi oleh gong atau mbololo dalam bahasa Muna. Foto: Ist.

 

“Diambil dari sungai yang deras alirannya dan bersih, tidak dimasuki binatang dan dahulu diambil menggunakan pohon bamboo. Namun saat ini bisa diambil menggunakan jerigen karena sudah susah mencari pohon bamboo. Yang terpenting air itu ada dan sampai di tempat upacara untuk digunakan oleh peserta,” jelas La Ntolori.

2. Pengambilan mayang pinang atau bhansano bea. Dalam proses ini ada seseorang yang ditugaskan untuk mengambil mayang pinang. Pengambilan mayang pinang juga dilakukan dengan etika seperti tidak boleh menoleh ke kiri dan keckanan.

Baca Juga: Mengenal Kande-kandea, Tradisi Masyarakat Buton yang Masih Dipertahankan

“Orang yang mengambil mayang pinang itu ditunjuk langsung oleh yang punya acara dan biasanya dari keluarga sendiri. Adapun proses pengambilan mayang pinang, tidak boleh mengarah ke barat atau arah mayang pinangnya dan tidak boleh dijatuhkan tetapi harus dipegang sampai ke tanah,” ujar La Ntolori.

3. Pengambilan kembang atau kaalano kamba wuna. Dalam pelaksanan kari’a saat ini bunga yang digunakan dapat diganti dengan bunga-bunga lain yang aromanya wangi seperti bunga seroja. Menurut salah seorang pomantoto atau penunjuk arah dalam kari’a, Wa Malufini menjelaskan, pengambilan bunga dilakukan setelah pengambilan mayang pinang dan biasanya dilakukan sehari setelahnya.

“Pengambilan kembang ini juga dilakukan oleh orang yang ditunjuk khusus pihak keluarga dan kembang yang diambil harus memiliki bau harum. Sedangkan makna dari bunga itu sendiri disimbolkan sebagai perempuan,” ujarnya.

4. Mandi peserta kari’a. Peserta akan dimandikan dengan air yang dibacakan doa oleh imam. Wa Malufini menjelaskan, sebelum masuk ke dalam kamar, peserta harus dimandikan terlebih dahulu dengan air yang sudah dibagi menjadi dua tempat yaitu oe modaino yang diartikan sebagai menolak kejahatan yang dimandikan kepada para peserta kari’a dengan menghadap sebelah barat, dan oe metaano yaitu air yang telah dibacakan doa agar peserta diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.

5. Baca haroa. Tradisi baca haroa ini oleh etnis Muna seringkali dilakukan saat acara-acara besar, bukan hanya saat kari’a ini. Tradisi haroa sebagai salah satu sarana untuk meminta/memohon pada Tuhan.

Imam La Ntolori mengatakan, harus baca haroa sebelum peserta kari’a diantar masuk ke dalam kamar oleh pomantoto.

6.  Dimasukkan ke dalam kamar atau dalam bahasa Muna disebut Kafoluku. Peserta dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus yang disebut suo khusus bagi putri raja dan kamar songi untuk masyarakat biasa.

Wa Malufini menjelaskan, waktu dipingit di dalam kamar, tergantung kesepakatan dari yang punya hajat. Ada yang empat hari empat malam, ada juga yang dua hari dua malam bahkan ada yang hanya satu hari satu malam. Setelah para peserta kari’a masuk ke dalam kamar, kamar itu sudah dirapikan agar tidak ada cahaya yang bisa masuk dan telah disiapkan bantal serta kain putih.

Baca Juga: Pesta Adat Kasambu-Sambu, Tradisi Masyarakat Buton yang Tetap Lestari

“Kalau sudah mau dikasi masuk, kita dikait mi kita punya jari tangan oleh pomantoto lalu jalan menuju kamar. Tiba dalam kamar diatur arah dan posisi badan, biasanya posisi badan diarahkan menghadap kiblat dan itu tidak bisa kita balik badan suka-suka kita sendiri, katanya pamali. Nanti pomantoto yang balik baru bisa kita balik kita punya badan, makan hanya dikasih ketupat dan telur satu biji, saya 4 hari 4 malam dipingit dan diberikan wejangan untuk bekal masa depan ketika kita akan berumah tangga,” ujar Wa Daabe, salah seorang yang telah melaksanakan prosesi kari’a.

7. Perubahan posisi atau kabhansule. Pada tahap ini posisi anak perempuan yang dipingit diubah. Jika awalnya posisi kepala di sebelah barat, maka berubah menjadi di sebelah timur dengan posisi badan menyamping menindih kiri.

“Awalnya posisinya mengahdap kiblat kemudian dibalik lagi posisinya mengahdap ke timur dan ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh peserta pingitan, harus pomantoto yang atur dan balik kita punya badan dan diiringi gong, katanya sebagai tanda bahwa yg dipingit sudah melakukan kabalengka (balik posisi),” jelas Wa Daabe lagi.

8. Dikeluarkan dari kamar atau kabalengka. Para peserta akan dikeluarkan dari ruang pingitan setelah melewati waktu yang telah ditentukan. Proses ini akan dipandu oleh pomantoto di pagi buta dengan diiringi musik gong (mbololo) yang tidak boleh terhenti. Sama halnya seperti mengawali kafoluku dan selama dalam ruang kaghombo, bunyi gong didengungkan.

La Ntolori menjelaskan, makna kabhalengka seperti gadis itu dilahirkan kembali dengan sempurna. Pada saat kabhalengka, harus diiringi dengan gong atau mbololo sebagai tanda bahwa di atas rumah, gadis yang dipingit sudah dikeluarkan dari kamar dan gong tidak boleh berhenti sebelum kabhalengka selesai. (A-Adv)

Penulis: Wa Ode Ria Ika Hasana

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga