Catatan Kritis, Lebih dalam Memaknai Serah Terima Jabatan
Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 07 November 2020
0 dilihat
Suryadi, Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)/Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (Puskompol). Foto: Ist.
" Pelurusan makna dan keterbukaan seperti itu akan sangat terasa bermanfaat ketimbang sekadar melontar kalimat-kalimat formal seperti ‘Pergantian pejabat adalah hal yang biasa sebagai tour of duty dan tour of area untuk memenuhi kebutuhan organisasi’. "
Oleh: Suryadi
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)/Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (Puskompol)
UPACARA pelantikan pejabat baru dan serah-terima jabatan yang mengikutinya bukanlah satu selebrasi belaka. Padanya terkandung makna historis termasuk sebentuk pertanggungjawaban yang sangat berguna bagi sebuah institusi termasuk pucuk pimpinannya dalam memulai perjalanan ke masa-masa mendatang.
Momen itu bukan sekadar seremonial atau rutinitas belaka. Bukan pula peristiwa yang cenderung untuk disederhanakan ke dalam kalimat ‘Pergantian pejabat adalah hal yang biasa sebagai tour of duty dan tour of area untuk memenuhi kebutuhan organisasi’.
Itu usang dan tidak bijak!
Pernyataan-pernyataan serupa itu sering terdengar hingga kini yang disebut-sebut sebagai era reformasi, yaitu suatu masa selayaknya seseorang berubah menjadi sosok yang reformatif.
Di era ini, justru pejabat yang berwenang selayaknya mengkomunikasikan bahwa, peristiwa pergantian pejabat itu bermakna historis dan penanda dimulainya perjalanan ke masa depan yang lebih baik.
Sebab, seremoni pelantikan dan serah-terima jabatan itu akan bermanfaat sebagai awal bermulanya sosialisasi ukuran-ukuran prestasi suatu institusi tertentu termasuk mereka yang berkiprah di dalamnya.
Artinya pada titik tertentu di kemudian hari, momen itu akan menjadi titik start yang mengantarkan kepada kemungkinan terbukanya koreksi dan evaluasi.
Pelurusan makna dan keterbukaan seperti itu akan sangat terasa bermanfaat ketimbang sekadar melontar kalimat-kalimat formal seperti ‘Pergantian pejabat adalah hal yang biasa sebagai tour of duty dan tour of area untuk memenuhi kebutuhan organisasi’.
Langkah mengkomunikasikannya secara terbuka kepada masyarakat, menjadi begitu penting terutama bagi Institusi-institusi yang merepresentasikan Negara dan ‘berorientasi pelayanan terbaik bagi masyarakat’.
Dalam kalimat lain, dapat dikatakan, selebrasi pelantikan dan serah-terima jabatan serta pemaknaan seperti itu, dapat dipastikan sangat dibutuhkan oleh setiap institusi.
Terlebih lagi, bila substansi dari seremoni-seremoni tersebut bisa dikomunikasikan kepada masyarakat dalam kalimat sederhana, tidak berbau ‘komandoism’, mudah dipahami, jauh dari hal yang gampang ditangkap sebagai sebuah kamuflase, dan satu lagi: berguna sebagai titik restarting untuk menjadi lebih baik.
Terlepas dari tepat atau tidak, adalah wajar bila masyarakat begitu sensitif untuk, misalnya menyoroti Polri yang tak lain adalah ‘milik mereka’ sendiri baik dalam kias maupun sesungguhnya.
Baca juga: Sumpah Pemuda, Aktualisasi Komitmen Kaum Muda
Betapa tidak, sekurangnya terdapat ada dua hal besar yang sangat diharapkan dari Polri. Polri itu perlu membangun diri di satu sisi, sementara Polri juga butuh partisipasi positif –baik pasif maupun aktif-- dari masyarakat si pemilik Polri.
Dengan hal semacam itu, ingin dikatakan, jika hal itu bisa diwujudkan, maka yang terjadi pada Polri dan masyarakat bukan saling koreksi, melainkan menyatu dalam semacam suasana autokritik. Polri merasa dimiliki dan masyarakat merasa memiliki. Sangat bersahabat!
Alasan utamanya adalah bahwa, di satu sisi jelas Polri berfungsi sebagai penegak hukum dan juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas). Kedua fungsi itu dapat digambarkan ke dalam dua kalimat sederhana yang sejatinya saling berseberangan.
Mengingat obyeknya adalah masyarakat dan pada ketika lain atau bahkan pada saat bersamaan masyarakat diharapkan ikut serta menjadi subyek. Masyarakat terkena pada kedua posisi itu. Oleh sebab itu, mengapa tak kembali bersahabat saja.
“Berwajah Ganda”
POLITIK itu, suka atau tidak suka, menyangkut kehidupan semua orang. Di era reformasi ini, yakni saat bandul politik bergerak dari otoriter-represif ke arah demokratis, Polri yang pada fungsi dan perannya, juga terpanggil untuk mereformasi diri.
Jika tidak, maka terjadi perlombaan yang tak seimbang dengan aspirasi dan keinginan masyarakat yang begitu dinamis. Kata Aneke Onese, “Polisi di negara mana pun berwajah ganda” (Tito dan Hermawan, Democratic Policing, 2017:24).
Pada posisinya seperti itu, Polri hendaklah lebih meningkatkan lagi komunikasi-komunikasi terbuka dan elegan sehingga tidak dengan gampangan ditangkap oleh masyarakat sebagai “sedang berkamuflase” karena tercium dari bahasa-bahasanya yang cenderung commandoism.
Misalnya, terus terjebak ke dalam pernyataan formal ‘Pergantian pejabat adalah hal yang biasa sebagai tour of duty dan tour of area untuk memenuhi kebutuhan organisasi’.
Hal seperti itu bahkan tidak menguntungkan bagi korps baju coklat yang kini memiliki sekitar 500 ribu personel. Maka, sebuah awal yang apik adalah menghilangkan kebiasaan serupa itu dalam banyak hal termasuk ketika mengawal masuknya pejabat baru alias pergantian pejabat.
Baca juga: Jembatan Teluk Kendari: Asa Baru yang Instagramable
Dinamika pergantian pejabat di Polri bukan saja terjadi dalam tiga atau empat Kapolri terakhir. Sepanjang pergantian demi pergantian sampai era Jenderal Pol.
Tito Karnavian itu pula, sering terdengar adanya pernyataan semacam ini: “Pembenahan organisasi Polri secara struktural jauh lebih bisa dilaksanakan, sedangkan perubahan secara kultural butuh waktu yang tidak sebentar.”
Mengingat itu adalah pernyataan orang-orang nomor satu di Polri, saya ingin menaruh rasa percaya penuh. Pada siapa lagi, jika tidak kepada orang sepenting itu.
Ia memimpin dan mengendalikan institusi Polri melalui orang-orang kepercayaannya di Polda-Polda terhadap jajaran bawah yang berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat seperti Polres berikut Polsek dan Bhabinkamtibmasnya.
Cukup berat dan sangat mungkin tidurnya seorang kapolri tidak bisa nyenyak, karena seperti diketahui, masyarakat yang dihadapi itu begitu kompleks, lengkap dengan segenap bawaannya berupa kebiasaan, adat-istiadat, karakter atau budaya masing-masing.
Buku Memori Jabatan
KAPOLRI di mata sosiolog hukum terkemuka alm. Prof. Satjipto Rahardjo, “…dia adalah komandan, penentu kebijaksanaan dan arah kepolisian. Lebih daripada itu, Kapolri membimbing pasukannya dengan menanamkan visi perpolisian kepada anak buahnya” (Asy’ari, 2002: 257).
Setiap Kapolri adalah jenderal yang di setiap periode kepemimpinannya dimulai dari menerima jabatan hingga berakhir dengan menyerahkan jabatan. Termasuk Jenderal Pol.
Idham Azis yang menerima tongkat estafet Kapolri 1 November 2019 dari Tio Karnavian, dan ia akan memasuki usia pensiun 58 tahun pada 30 Januari 2021. Itu Idham pastikan sendiri ketika usai uji kelayakan dan kepatutan di DPR, sebelum Presiden Jokowi menetapkannya sebagai Kapolri.
Momen menjadi orang nomor satu Polri, pasti adalah hanya bagi seorang jenderal yang terpilih setelah ia memasuki peluang seleksi atas sejumlah jenderal. Kemudian ia ditetapkan menjadi pembantu Presiden setingkat menteri setelah –yang di era reformasi untuk Kapolri— memenuhi keharusan melalui proses politik di Parlemen.
Saya mencatat dengan baik serah-terima dari Tito kepada Idham dilakukan di Mako Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Rabu, 6 November 2019. Waktu itu Tito harus pensiun sebelum waktunya, karena telah dipilih Presiden Jokowi menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri, dan ia menerimanya.
Baca juga: Cegah Stunting itu Penting
Saya ingin mengatakan, upacara pelantikan dan selebrasi serah-terima –sebagaimana kejadiannya pada Kapolri-kapolri terdahulu—sekali lagi bukan peristiwa biasa. Ia mengandung dan selayaknya dimaknai lebih jauh bagi perjalanan Polri ke masa-masa depan.
Oleh karena itu, saya meyakini, pasti sebelum itu sudah dilakukan berbagai penyiapan utamanya satu hal yang tak bisa dipandang remeh: buku memori serah terima jabatan.
Maka, serah-terima jabatan Kapolri tidak dapat dikatakan sekadar “pelengkap” bagi sebuah pergantian pucuk pimpinan Polri. Pergantian Kapolri itu harus dimaknai sebagai momen pertanggungjawaban si pendahulu, dan titik start bagi pejabat baru.
Rentetan serah terima jabatan itu sarat makna terutama bagi si pejabat baru. Ia harus menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan oleh pendahulunya; memilah-milah untuk menghentikan atau melanjutkan program yang masih relevan dan aktual bagi kepentingan Polri yang pasti akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan di luar institusinya, antara lain berupa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, selain juga politik dengan segala dinamikanya.
Tentu saja, terbuka ruang bagi Kapolri untuk melakukan sesuatu yang baru melalui langkah-langkah kreatif dan inovatifnya untuk menjadikan Polri yang disiplin dan tegas (bukan militer) dalam penegakkan hukum.
Pada saat yang sama, pesan pentingnya adalah, berperilaku humanis dan jujur demi menjamin terpeliharanya kamtibmas, sehingga mampu menggaet partisipasi positif dari masyarakat.
Catatan yang tak kalah pentingnya, yaitu tentang begitu bermaknanya serah terima jabatan Kapolri yang ditandai oleh adanya “buku tebal serah-terima” tadi. Saya yakini, “buku tebal serah terima” antara lain juga berisi tentang kriminalitas yang telah, sedang, dan disertai prediksi perkembangan lebih lanjut yang boleh jadi futuristik sifatnya.
Publik sudah mafhum, di satu sisi dinamika dalam tubuh Polri --dalam beberapa era Kapolri hingga kini— ditandai beruntunnya pergantian pejabat Polri mulai dari yang jenderal hingga perwira pertama.
Di sisi lain, bermunculan peristiwa yang tergolong kasus kriminal dengan pelaku warga masyarakat, atau kerja sama warga masyarakat dengan oknum polisi, atau oknum polisi itu sendiri. Lantas, apa hubungannya kedua hal tersebut dengan pentingnya “buku tebal serah-terima”?
Di dalam pengadaan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) –rasanya ini berlaku umum—antara lain, tentu saja ada penerimaan awal anggota baru melalui berbagai jenjang sekolah/akademi. Selain juga, ada pembinaan karir yang mencatat track record bahwa seseorang layak atau tidak menempuh proses penjenjangan karir.
Baca juga: Setelah Disrupsi, Pandemi COVID-19, What's Next?
Pada “buku tebal serah-terima” tadi, saya yakini terdapat data antara lain tentang kriminal yang terjadi dan berhasil dituntaskan di masa dan oleh pejabat terdahulu; kriminal yang lazim disebut hutang masa lalu atau masih belum terselesaikan; kriminal yang terjadi di masa lalu tapi masih berkembang hingga di masa pejabat baru dan seterusnya.
Di situ lah letak pentingnya tidak berpandangan bahwa ‘Pergantian pejabat adalah hal yang biasa sebagai tour of duty dan tour of area untuk memenuhi kebutuhan organisasi’. Pernyataan seperti itu, seyogyanya, jelas sebuah aksioma. Tidak perlu dibuktikan lagi.
Masyarakat sudah mafhum akan hal itu. Ia hanya akan menjadi satu pernyataan yang mubazir yang –setelah kemudian disiarkan oleh media massa-- mungkin saja akan mengundang sinisme publik.
Ada sesuatu hal lagi yang patut dicatat dari pentingnya pergantian pejabat serta “buku tebal serah-terima” tadi. Jika, substansinya dapat dikomunikasikan dengan baik, terbuka, jernih, dan efektif ke internal Polri dan ke luar, niscaya di benak masyarakat akan tergelar gambaran jujur mengenai dinamika dan prestasi atau sebaliknya tentang Polri yang tetap dalam rasa memiliki.
Demikian pula dengan para pimpinan Polri yang puncaknya mengerucut kepada pucuk pimpinan Polri. Mereka juga menjadi mudah dan jernih terjelaskan tentang sesuatu apa yang sesungguhnya terjadi sepanjang masa kepemimpinannya dan sebelumnya.
Dari situ, iklim yang ingin dicapai adalah, “rasa saling percaya yang dimulai dari internal Polri sendiri” dan “antara Polri dan masyarakat sekaligus untuk memperoleh dukungan masyarakat”.
Maka sebaiknya, stigma-stigma yang ditujukan kepada Polri, dimaknai secara arif, bukan saja oleh Polri itu sendiri, tapi oleh masyarakat di luar yang selama ini dengan gampang mengeluarkan stigma.
Jadi dalam bingkai “memetik hikmah”, sesungguhnya terhadap stigma hendaklah tidak berhenti pada memilah-milahnya saja, tapi jangan abaikan begitu saja. Dibuang sayang! Kata Jakob Oetama, “Stereotip itu tidak seluruhnya benar, tidak pula seluruhnya salah.
Stereotip itu tumbuh dalam benak orang karena pengalaman, observasi, tetapi juga prasangka dan generalisasi. Karenanya, stereotip bermanfaat sebagai pangkal tolak serta bahan pemikiran serta penilaian secara kritis” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, 2017, vii).
Komunikasi yang baik itu, bukan yang searah apalagi commandoism, tapi komunikasi yang mampu mengundang masuk ke dalam alur dialog nan jernih! (*)