Pemblokir Jalan Provinsi di Muna Dipolisikan, Begini Tanggapan Pemerhati Hukum

Sunaryo, telisik indonesia
Senin, 22 November 2021
0 dilihat
Pemblokir Jalan Provinsi di Muna Dipolisikan, Begini Tanggapan Pemerhati Hukum
La Ode Murham Naadu, pemerhati hukum. Foto: Ist.

" Aksi pemblokiran jalan provinsi di Desa Wakumoro, Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna yang dilakukan kelompok Forum Aspirasi Masyarakat (Frasa) berbuntut pelaporan di Polres Muna mendapat tanggapan dari pemerhati hukum di Sultra "

MUNA, TELISIK.ID - Aksi pemblokiran jalan provinsi di Desa Wakumoro, Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna yang dilakukan kelompok Forum Aspirasi Masyarakat (Frasa) berbuntut pelaporan di Polres Muna mendapat tanggapan dari pemerhati hukum di Sultra.

La Ode Muhram Naadu SH MH, salah seorang pemerhati hukum mengatakan, dengan adanya laporan 4 camat yakni, Bone, Parigi, Tongkuno Selatan dan Marobo itu bukan untuk menyelesaikan masalah.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unusra) ini, polemik yang terjadi itu seharusnya dilihat secara kausalitas. Bukan hanya akibatnya saja. Beberapa pertanyaan dalam pemenuhan unsur pasal bisa dikaji lebih dalam untuk merenungkan mengapa hal ini bisa terjadi.

Paling tidak, kata dia, instrumen pidana yang akan dikenakan adalah Pasal 63 Undang-Undang (UU) nomor 38 tahun 2004 jo pasal 192 KUHP.

Pada pasal 63 UU nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, jelas disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Kemudian, pasal 192 KUHP yang menyebutkan barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membuat tak dapat dipakai bangunan untuk lalu-lintas umum, atau merintangi jalan umum darat atau air, atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Bila perbuatan itu dapat menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu-lintas dan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, bila perbuatan itu dapat menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu-lintas dan mengakibatkan orang mati (KUHP 35, 206, 336, 406, 408; CP. 437).

Semetara dalam Pasal a quo ada beberapa hal yang dilarang yakni, mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dan menghancurkan, merusak, membuat, merintangi jalan umum darat/air atau menggagalkan usaha. Termasuk juga soal merintangi jalan umum di darat atau air.

Dalam pasal 192 terdapat 2 akibat yang dimaksud yaitu, menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu lintas (poin 1) atau menimbulkan bahaya keamanan lalu lintas dan juga kematian (poin 2).

"Berkaitan dengan hal ini bila dilihat pada perbuatannya mana yang lebih mendekati pada konteksnya. Apakah tindakan mereka mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan dan menghancurkan, merusak, membuat, merintangi jalan umum darat/air atau menggagalkan usaha jalan yang memang sesuai fungsi jalan berdasarkan UU atau memang jalan tersebut sudah rusak dan justru membahayakan jika dijalani?" kata Murham, Senin (22/11/2021).

Sebagai cacatan juga, bahwa di dalam 2 ketentuan hukum tersebut, kiranya terdapat dua jenis delik yang berbeda, pada ketentuan pasal 63 ayat (1) termasuk dalam delik materiil yang mana terganggunya fungsi jalan mesti betul-betul terjadi, sedangkan pada pasal 192 KUHP termasuk dalam delik formil, yang mana unsur akibat berupa bahaya lalu lintas tidak perlu betul-betul terjadi, melainkan cukup menjadi sebuah potensi.

"Tegasnya ketentuan pasal 192 KUHP bukan sebagai actual loss, melainkan sebagai potential loss, sehingga terhadap 2 hal itu sudah dianggap memenuhi unsur delik. Sehingga bisa saja diberikan tafsiran terhadap pasal tersebut bahwa blokade jalan di kasus ini termasuk dalam terganggunya fungsi jalan, kemudian tindakan merintangi jalan umum yang mana menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu lintas," ujarnya.

"Di situ memang tidak mesti betul tercapai atau terjadi, cukup melihat konteksnya bahwa itu berpotensi kesana," sambungnya.

Namun bila melihat bahaya keamanan lalu lintas, menurut Ketua KNPI Muna itu, harusnya dijawab dengan melihat fungsi jalan. Bagaimana dengan kasus-kasus kecelakaan yang justru terjadi karena jalan itu rusak?

Baca Juga: Bupati Sebut Aspal Buton Terhambat Booming Akibat Pandemi COVID-19

Bisa saja pemblokiran jalan ini justru menghindarkan pengguna jalan dari kecelakaan. Atau menurunkan angka kecelakaan. Bila dilihat dari unsur mens rea pemblokiran jalan ini, tidak lain dan tidak bukan notabene dilakukan untuk kepentingan umum.

Dengan melihat kondisi yang ada memang ada masyarakat yang berkeberatan dengan pemblokiran jalan. Lantas bagaimana dengan masyarakat sekitar yang seisi rumahnya penuh debu, selama ini terserang penyakit Ispa, serta segala dampak buruk sebagai akibat penyelenggaraan jalan yang mati suri selama puluhan tahun.

Sehingga mana yang didahulukan, apakah masyarakat yang hanya lewat atau masyarakat sekitar jalan yang mengalami penderitaan selama ini.

Selanjutnya, pertanyaan paling penting adalah apakah kepolisian sudah bertindak secara proposional melihat kerusakan jalan yang terjadi.

Dalam pasal 273 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan menyebutkan bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Lantas, bagaimana langkah kepolisian dalam menyikapi sudah berapa puluh tahun jalanan itu dibiarkan begitu saja dan berapa ratus orang yang menjadi korban sebagai akibat tindakan penyelenggara jalan yang membiarkan hal ini terjadi.

"Pertanyaannya apakah sudah ada lenyelenggara J

Jalan yang dihukum?" terangnya.

Muhram juga menerangkan, jika kepolisian bersikap adil dan menekankan pada aspek kepastian hukumnya, maka seharusnya terhadap penyelenggara jalan yang melakukan pembiaran terhadap kerusahkan jalan pun harusnya dimintai pertanggungjawaban.

Apalagi dalam asas hukum disebutkan bahwa seseorang yang berdiam diri, tidak mencegah atau tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan, sama seperti ia yang memerintahkan.

Baca Juga: Bocah Asal Buton Tewas Akibat Kecanduan Game Online

"Jika benar-benar akan dilakukan pemidanaan terhadap beberapa oknum, patutnya seluruh masyarakat yang terlibat dipanggil. Karena pertanggungjawaban pidananya bukan beberapa orang. Harus dipanggil semua, termaksud pemblokiran sebelum-sebelumnya dan di beberapa titik selain di Desa Wakumoro," terangnya.

Kemudia juga, lanjut Muhram, jika menggunakan instrumen pasal 63, bahkan secara ekstensif banyak pihak yang bisa dipanggil termaksud penyelenggara acara yang memblokir jalan tanpa izin. Kasus seperti ini banyak. Jika semua orang sama dihadapan hukum, mengapa mereka saja yang dipanggil klarifikasi?

Belum lagi, dengan penyelenggara jalan. Jelas sekali expressive verbis pasalnya yakni, pasal 273 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan menyebutkan bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

"Pertanyaannya pernahkah mereka diklarifikasi? Adakah niat untuk memanggilnya? Ingat asas proporsionalitas," ujarnya.

Dalam persoalan ini, menurutnya

pendekatan komunikasi memang sangat perlu dilakukan. Masalah ini bisa dilihat dari presepektif sosiologisnya, bukan yuridisnya saja. Apalagi parsial.

Pertanyaannya penting dari kejadian ini adalah apakah tindakan masyarakat mengganggu fungsi jalan yang berfungsi sebagaimana mestinya ataukah tindakan masyarakat dimaksudkan agar jalan berfungsi sebagaimana mestinya.

Instrumen pidana sebagaimana langkah yang sudah terjadi seharusnya tidak terjadi atau dihentikan. Hendaknya pidana dijadikan sebagai langkah terakhir. Masih banyak cara yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Sebagai sebuah sanksi, maka sanksi pidana harus ditempatkan pada posisi yang paling terakhir bukan di depan. Karena sifat sanksi pidana yang keras, dan memberikan implikasi yang berbeda untuk setiap orang.

"Masih ada langkah-langkah lain yang bisa diupayakan. Baiknya semua pihak berpikir ke arah restoratif justice. Pertemukan semua pihak. Gubernur harusnya turun langsung, dinas terkait juga. Jangan main utus-utus. Masyarakat pasti berang. Apalagi jika yang diutus tidak sesuai tupoksi dan persoalan tendernya mbalelo. Ayolah duduk bersama, kasih solusi yang jelas dan berkepastian," ungkapnya.

Sementara itu, Kapolres Muna, AKBP Debby Asri Nugroho melalui Kasat Reskrim, IPTU Hamka menerangkan, pihaknya melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait, karena adanya aduan dari empat camat.

"Kita sebatas melakukan klarifikasi untuk menindaklanjuti aduan empat camat itu. Seperti apa hasilnya, tergantung keterangan saksi dan pihak yang diadukan nantinya," tukasnya. (B)

Reporter: Sunaryo

Editor: Fitrah Nugraha

Artikel Terkait
Baca Juga