Pemilih Kelompok Rentan Kerap Jadi Korban Politik Uang

Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Kamis, 08 Februari 2024
0 dilihat
Pemilih Kelompok Rentan Kerap Jadi Korban Politik Uang
Petugas sampah dan pemulung merupakan kelompok rentan yang kerap jadi korban politik uang. Foto: Fitrah/Telisik

" Warga yang berprofesi sebagai buruh, khususnya pemulung atau petugas sampah, merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap politik uang atau money politics saat menjelang pemilu "

KENDARI, TELISIK.ID - Warga yang berprofesi sebagai buruh, khususnya pemulung atau petugas sampah, merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap politik uang atau money politics saat menjelang pemilu.

Meski memiliki hak dan kebebasan yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya dalam memberikan suara pada pesta demokrasi, namun pengamatan di lapangan, tingkat kesadaran para pemulung minim karena kurangnya pengalaman dan pemahaman tentang politik dan pemilu.

Karena minimnya pemahaman tersebut, ada pemulung yang menggunakan hak pilih mereka, namun ada juga sebagian yang mengambil jalan untuk tidak memilih karena bagi mereka, nasib mereka ditanggung sendiri dan pemerintah atau anggota legislatif dianggap tidak peduli.

Kendati begitu, pemilih dari kalangan pemulung masih rawan menjadi korban politik uang (money politics), rentan terhadap mobilisasi dan cenderung hanya menjadi pemilih tradisional.

Mereka sering jadi sasaran bagi-bagi uang atau sembako jelang pemilu. Kondisi ekonomi yang sulit dan pendidikan politik yang kurang, membuat banyak dari mereka terbujuk memberikan hak pilih karena iming-iming sejumlah uang atau sepaket sembako.

“Kita ini kerja dari subuh sampai malam, bahkan juga tidak ada libur. Saat Lebaran saja, kita liburnya cuma setengah hari. Jadi tidak sempat mi kita mau cari tahu tentang caleg-caleg itu,” kata Natan, salah satu pemulung yang ditemui di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Puuwatu, Kota Kendari, Senin (29/1/2024).

Natan mengaku tidak mengetahui tentang siapa saja peserta pemilu, khususnya calon legislatif baik di tingkat daerah, provinsi maupun pusat. Baginya, dalam menentukan siapa calon legislatif yang akan dia pilih hanya berdasarkan dari ‘bantuan’ yang diterimanya.

“Kalau ada caleg atau suruhannya datang, kita bilang jangan mi repot-repot sampaikan visi misi, langsung mi saja berapa mau kita dikasih ini, kita pilih mi itu dia,” ujarnya.

Hal tersebut dilakukan karena menurut pengalaman Natan, para caleg yang sudah duduk di kursi parlemen tidak pernah lagi datang ke daerahnya untuk mendengar aspirasi warga di TPA.

“Jadi mereka itu datangi kita saat jelang pemilu saja, sesudah itu tidak ada mi lagi datang,” keluhnya.

Jika pada pemilu sebelumnya, lanjut dia, para caleg atau tim suksesnya sudah datang ke TPA jauh-jauh hari sebelumnya untuk membagikan sembako atau uang, namun hingga dua pekan menjelang pemilu tahun ini, belum ada yang datang menghampiri warga TPA Puuwatu.

Senada dengan itu, warga TPA Puuwatu lainnya, Ida Hanika (42) mengaku memilih caleg berdasarkan ‘bantuan’ yang dia terima. Dari pengalamannya selama ini sejak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ia memilih caleg berdasarkan dari jumlah ‘bantuan’ yang dia terima.

“Iya toh, jadi kita pilih itu dari siapa yang paling banyak kasih kita uang. Kalau ada kasih kita Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu misalnya, kita lebih pilih dia yang kasih kita Rp 100 ribu. Kalau tidak ada yang kasih kita juga, mending kita tidak memilih,” kata Ida saat ditemui di depan rumahnya di TPA Puuwatu.

Bagi Ida, cara memilih seperti itu merupakan hal yang biasa dan logis. Karena menurutnya mendapatkan uang dari para caleg adalah sesuatu yang wajar dilakukan, mengingat mereka membutuhkan bantuan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara suara yang diberikan pada pemilu tidak begitu berarti baginya.

“Jadi begitu ji kita di sini kalau pemilu, siapa yang kasih kita uang, itu mi yang kita pilih saja. Toh, nanti setelah mereka terpilih juga dia lupakan maki juga,” ujarnya.

Baca Juga: Pj Gubernur Pimpin Pengamanan Pemilu di Polda Sulawesi Tenggara

Dari data yang dihimpun, saat ini terdapat 158 Kepala Keluarga (KK) di kompleks TPA Puuwatu. Yang terdaftar sebagai wajib pilih sebanyak 376 orang. Mereka berprofesi sebagai pemulung, sopir dan petugas di mobil sampah.

Jadi Korban Politik Uang

Pengamat Politik Sulawesi Tenggara, Andi Awaluddin Maruf, menyoroti fenomena money politics yang muncul di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Tenggara. Menurutnya, money politics berkembang karena sebagian masyarakat menghadapi kendala ekonomi rendah dan minim pemahaman politik.

Dosen Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) ini menilai, oknum-oknum dari berbagai partai dan calon yang terlibat dalam politik uang telah merusak demokrasi. Mereka seringkali berasal dari partai atau calon yang berupaya memanfaatkan kondisi masyarakat yang rentan.

Awaluddin menjelaskan, praktik politik uang ini dapat merugikan tatanan demokrasi, karena para pejabat terpilih kemungkinan besar akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang diinvestasikan saat kampanye.

Kelompok rentan, seperti buruh dan masyarakat marginal lainnya, sering kali menjadi korban utama dari praktik politik uang. Mereka cenderung melihat politik uang sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi sehari-hari.

“Iya, jadi masyarakat yang masuk dalam kelompok rentan ini sebenarnya mereka hanyalah korban dari oknum-oknum yang melakukan politik uang ini. Karena itu tadi, pendidikan politik mereka masih kurang,” kata Awaluddin, Rabu (31/1/2024).

Oleh karena itu, Andi Awaluddin Maruf menekankan pentingnya peran pemerintah, KPU, Bawaslu, dan partai politik untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, terutama kelompok rentan.

Jika diabaikan, tambah dia, maka kurangnya pendidikan politik ini menjadi kesempatan bagi kelompok tertentu untuk memanfaatkan sebagai pintu masuk politik uang.

“Jadi peran semua pihak harus aktif dan lebih massif lagi dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya terhadap kelompok rentan untuk meminimalisir politik uang ini,” pungkasnya.

Upaya Pendidikan Politik

Sementara itu, Ketua KPU Kota Kendari, Jumwal Saleh, menyoroti upaya sosialisasi terkait pemilu di daerah rentan, khususnya di TPA Puuwatu dan masyarakat marginal, melalui Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat. Dalam sosialisasi tersebut, ditekankan aspek jumlah peserta pemilu, cara pencoblosan, dan pentingnya partisipasi aktif dalam pemilihan.

Meskipun tidak semua segmen masyarakat dapat dijangkau, KPU menargetkan delapan segmen sebagai sasaran sosialisasi pemilu, yang di antaranya mencakup pemilih pemula/muda, pemilih perempuan, pemilih marginal, pemilih keagamaan, pemilih disabilitas, hingga basis netizen.

“Untuk kelompok buruh masuk dalam segmen pemilih marginal, sosialisasinya sudah kita lakukan pada tahun 2023 lalu, termasuk di TPA, Kota Lama, dan masyarakat nelayan yang ada di daerah pesisir,” katanya, Senin (29/1/2024).

KPU berupaya meningkatkan literasi pemilu dan pendidikan politik, terutama di kalangan kelompok marginal. Melalui sosialisasi, KPU berusaha menyadarkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Selanjutnya, KPU memberikan literasi tentang tata cara menggunakan hak pilihnya.

Jumwal Saleh menegaskan, keterlibatan semua pihak, termasuk partai politik dan lembaga masyarakat, diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan politik yang maksimal.

“Jadi partai politik memang juga harus menjalankan fungsinya. Selain melakukan perekrutan politik, juga mereka harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, meskipun tidak berwenang melakukan pengawasan, KPU berkomitmen untuk mendorong masyarakat agar menjadi pemilih yang rasional dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.

“Jadi KPU juga berupaya mendorong masyarakat agar menjadi pemilih rasional,” pungkasnya.

Senada dengan itu, Komisioner Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kota Kendari, Arwah menyampaikan, sosialisasi pemilu dan pendidikan politik di daerah marginal, termasuk warga di TPA Puuwatu, telah dilakukan pada bulan Oktober 2023 lalu.

“Jadi ada sekitar 30 orang warga TPA Puuwatu yang ikut dalam sosialisasi dan pendidikan politik ini. Memang tidak semua dapat kita jangkau, tapi mereka yang ikut kami minta untuk menyampaikan kepada warga lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, Hayani Imbu, Sekretaris Pimpinan Daerah Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Provinsi Sulawesi Tenggara, menegaskan bahwa pihaknya telah aktif melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.

Dalam kegiatan tersebut, mereka menekankan bahwa pemilu merupakan momentum krusial untuk menentukan arah nasib bangsa selama 5 tahun ke depan, dan setiap suara memiliki tanggung jawab yang besar.

Sosialisasi dan pendidikan politik dilakukan dengan menghadirkan beberapa perwakilan dari berbagai segmen masyarakat, termasuk kalangan buruh. Partisipan yang hadir juga didorong agar dapat menyampaikan informasi dan pemahaman yang diperoleh kepada masyarakat lainnya.

Hayani Imbu menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap visi misi partai serta cara implementasi program-program yang diusung. Pendidikan politik dilakukan melalui berbagai media, baik secara online maupun melalui pertemuan tatap muka.

“Untuk tatap muka langsung ini kami melibatkan tim dan relawan untuk menyampaikan informasi pemilu dan pendidikan politik kepada masyarakat di sekitarnya. Jadi begitu ada kesempatan berkumpul dengan masyarakat, sempatkan melakukan pendidikan politik,” ujarnya.

Pencegahan dan Pemetaan Daerah Rawan Politik Uang

Ketua Bawaslu Kota Kendari, Sahinuddin, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemetaan daerah rawan terkait praktik money politics, khususnya menjelang hari pemilihan.

Daerah-daerah tersebut termasuk wilayah pesisir, pinggiran kota, dan area dengan masyarakat yang berada dalam kondisi marjinal, seperti di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

"Praktek money politics ini seringkali dilakukan menjelang hari H pemilu. Oleh karena itu, peningkatan pengawasan pemilu kita tingkatkan, dan melibatkan berbagai pihak," ungkap Sahinuddin.

Meskipun imbauan dan informasi terkait money politics telah disosialisasikan melalui media sosial dan surat imbauan, Sahinuddin menyadari bahwa tidak semua masyarakat dapat mengaksesnya.

Oleh karena itu, upaya dilakukan dengan menginstruksikan kepada pihak pengawas untuk melakukan edukasi langsung saat ada kesempatan, seperti pada acara pertemuan dengan masyarakat.

"Kami melakukan investigasi dan berupaya semaksimal mungkin melakukan pencegahan agar tidak terjadi politik uang. Namun, sejauh ini belum ada laporan yang kami terima terkait pelanggaran pemilu, termasuk politik uang," tambahnya.

Sahinuddin juga mengajak masyarakat untuk proaktif dalam pencegahan dan melaporkan jika ada calon legislatif atau partai politik yang terlibat dalam money politics, seperti pembagian uang kepada pemilih.

Jika ada masyarakat yang menemukan praktik politik uang ini, kata dia, dapat langsung melaporkan temuan tersebut kepada Bawaslu Kota Kendari yang beralamat di Jalan Chairil Anwar No.120, Kelurahan Mataiwoi, Kecamatan Wua-Wua.

"Money politics dapat berupa uang atau materi lainnya. PKPU membatasi bahwa saat masa kampanye, boleh memberikan barang, tapi nilainya tidak tinggi. Misalnya, bagi-bagi baju partai dengan harga yang tidak signifikan. Begitu pula dengan bazar yang menjual barang dengan harga murah, itu tidak termasuk money politics karena bersifat berbayar," jelasnya.

Baca Juga: Belajar dari Pemilu 2019, Polres Muna Siapkan Ratusan Personil Amankan TPS

Sahinuddin juga menekankan bahwa pendidikan politik menjadi tanggung jawab bersama, termasuk Bawaslu. Upaya pendidikan politik telah dilakukan di berbagai tingkatan, mulai dari pelajar, pemuda, mahasiswa, hingga masyarakat umum.

Antisipasi Korban Politik Uang

Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulawesi Tenggara, Muhammad Nasir mengungkapkan, untuk mencegah masyarakat menjadi korban praktik politik uang, maka pihak Bawaslu, KPU, dan pemerintah penting melakukan sosialisasi dan pendidikan politik secara intensif dan masif.

Dengan pemahaman yang baik mengenai pemilu dan politik, kelompok rentan setidaknya dapat menghindari risiko menjadi korban praktik politik uang.

Namun, kata dia, pendidikan politik mestinya dilakukan tidak hanya bersifat formal, melainkan juga melibatkan kelompok-kelompok masyarakat, terutama yang rentan terhadap praktik politik uang, seperti buruh, nelayan, dan sebagainya.

Lebih lanjut, Nasir menyoroti langkah-langkah yang dapat diambil untuk melibatkan kelompok rentan dalam berpartisipasi dan melaporkan temuan politik uang adalah dengan memberikan pemahaman tentang bahaya dan dampak dari praktik politik uang dan cara melaporkannya kepada pihak berwajib seperti Bawaslu.

“Jadi kalau ada dugaan pelanggaran pemilu langsung melaporkan ke pengawas pemilu. Kalau pun ada kendala dan membutuhkan pendampingan, bisa minta agar dibantu KIPP. Bisa langsung menghubungi kami melalui akun Facebook KIPP Sultra (https://www.facebook.com/doncharlotte.alfonso),” ujarnya.

Sementara itu, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida mengatakan, politik uang yang kerap terjadi jelang pemilu, terutama terhadap kaum buruh dapat menjadi pintu masuk hoaks. Hal ini, kata dia, dapat saja terjadi ketika politik uang dijadikan hoaks untuk peserta pemilu. Misalnya ada kandidat tertentu yang diisukan menggunakan politik uang.

“Jadi bisa saja info politik uang itu dijadikan hoaks untuk menjatuhkan salah satu kandidat,” katanya.

Hanya saja, lanjut dia, tingkat kepercayaan terhadap hoaks itu tergantung pada buruh atau rakyat. Makin kuat literasi seseorang, maka makin sulit mereka termakan hoaks.

Olehnya itu, masyarakat harus lebih banyak meliterasi diri dengan membaca informasi dari sumber terpercaya dan jangan mudah menerima semua informasi secara mentah-mentah.

“Para teman-teman buruh juga harus saling menguatkan,” pungkas Nani Afrida. (A)

Penulis: Fitrah Nugraha

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga