Penjelasan Versi Manasa dan Versi Pemda Manggarai Terkait Status Kepemilikan Tanah NB

Berto Davids, telisik indonesia
Jumat, 01 Juli 2022
0 dilihat
Penjelasan Versi Manasa dan Versi Pemda Manggarai Terkait Status Kepemilikan Tanah NB
Haji Arifin Manasa dan Kabag Tapem Pemda Manggarai, Karolus Mance saat berdebat di lokasi tanah yang digusur eksavator. Foto: Berto Davids/Telisik

" Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai, NTT telah melakukan penggusuran pilar tanah Nanga Banda (NB) yang terletak di Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, Rabu (29/6/2022) lalu "

MANGGARAI, TELISIK.ID - Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai, NTT telah melakukan penggusuran pilar tanah Nanga Banda (NB) yang terletak di Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, Rabu (29/6/2022) lalu.

Pilar tanah yang diklaim oleh Herdin Bahrun dan Haji Arifin Manasa itu digusur oleh satu unit eksavator hingga tak satu pun yang tersisa.

Sempat terjadi perlawanan dari pihak keluarga H. Zainal Arifin namun upaya itu sia-sia. Jumlah Satpol PP jauh melebihi jumlah warga yang melakukan protes.

Pembongkaran tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Heribertus Ngabut dengan mengerahkan puluhan orang Satpol PP dan satu unit alat berat.

Namun di pertengahan aksi penggusuran itu wakil bupati malah menghilang jauh dari lokasi.

Seperti diberitakan, pembongkaran itu dimulai pada Pukul 11.30 Wita di atas tanah milik Herdin Baharun hingga Pukul 15.30 Wita.

Penolakan dari masyarakat tak begitu masif karena hanya menginginkan dialog. Sayangnya bukti pajak yang diperlihatkan keluarga H. Arifin tak digubris petugas.

Mereka juga kesal karena sebelumnya pihak-pihak yang menghadap wakil bupati menawarkan ide agar sebaiknya diagendakan pertemuan ulang untuk membahas persoalan yang sama.

Alhasil politisi Golkar itu di ruang kerjanya pada Jumat 27 Mei 2022 lalu menjanjikan akan menjadwalkan pertemuan di Nanga Banda.

Tetapi faktanya, janjinya berbelok arah sebab pada Selasa 28 Juni 2022 pemerintah melakui Sekda Manggarai Jahang Fansi Aldus selaku otoritas pengelola aset malah mengeluarkan surat perintah pembongkaran bangunan dan pemberhentian segala aktivitas di atas tanah pemda yang berlokasi di Nanga Banda.

Haji Arifin Manasa pun akhirnya berkomentar terkait status kepemilikan tanahnya itu.

Dikisahkan Arifin Manasa, selama masa Kesultanan Bima di wilayah Kecamatan Reok yang dipimpin oleh Naib (Raja Bicara) Abdullah Daeng Mananja pada tahun 1930 terdapat juga seseorang staf kerajaan atau dikenal dengan istilah Rato (tetua) yang bernama Abdurrahman.

Abdurrahman memiliki seorang anak bernama Khadijah. Begitu dewasa Khadija dipersunting Muhammad Saleh Daeng Manasa yang menjabat sebagai kepala desa.

Muhammad Saleh Daeng Manasa menjabat sebagai Kepala Desa Nanga Lare untuk tiga wilayah, Desa Reok, Desa Baru dan Desa Kedindi. Pada tahun 1960 ia pernah menjabat sebagai kepala kampung Bari. Setelah 4 tahun menjabat ada pemilihan kepala desa Gaya Baru untuk 2 wilayah yaitu Nanga Lere dan Tengku Romot.

Dari pernikahan itu, jelas dia, lahirlah Marwia Manasa, Syarifudin Manasa, Marlia Manasa dan H. Zainal Arifin Manasa. Dari empat kakak beradik itu Syarifudin Manasa yang sudah meninggal dunia.

Berdasarkan fakta tersebut maka duduk letak penguasaan tanah Nanga Banda oleh H. Zainal Arifin Manasa sangat jelas, sebab dia merupakan keturunan langsung dari kakeknya Abdurrahman melalui garis sang ibu Khadijah yang merupakan anak tunggal dari Abdurrahman sebagai Rato.

"Pemberian tanah Nanga Banda ke Manasa dapat dianggap sebagai simbol kedekatan sekaligus hubungan baik antara Naib dan Rato. Setelah Rato (Abdurrahman) meninggal, lahan tersebut secara otomatis dikuasakan kepada Khadijah, ibu kami dan selanjutnya diserahkan ke saya waktu saya muda," tutur H. Zainal Arifin Manasa ditemui Jumat (1/7/2022).

Baca Juga: Holywings di Medan Jual Minuman Beralkohol Tanpa Izin, Komisi 3 DPRD Bertindak

"Penguasaan lahan oleh saya di Nanga Banda diperkuat dengan beberapa alat bukti, berupa hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Lurah Kelurahan Reo yaitu Badarudin Har pada tahun 2011 yang dikemudian hari terjadi pembaruan pada tahun 2020 di bawah kepemimpinan Lurah Yos Sudarso," tambahnya.

Dalam perjalanan, tutur dia, tanah tesebut dimanfaatkan untuk tambak garam sementara dilahan kering (pali) dipergunakan sebagai lokasi penggembalaan hewan ternak sapi dan kerbau.

Lahan warisan itu juga sebagai lokasi tambak garam garapan oleh warga sekitar.

"Sebagai catatan bahwa aktifitas pertanian garam di Nanga Banda sudah eksis jauh sebelum pemerintah kabupaten Manggarai dibentuk. Tambak garam Nanga Banda berkontribusi terhadap program pengembangan garam yodium pada tahun 2001," kisah Arifin.

Berkaitan dengan program nasional garam beryodium pada tahun 2001, Bupati Manggarai Anton Bagul sangat mendukung kegiatan tersebut dengan memberikan bantuan kepada seluruh petani garam yang didalamnya juga termasuk H. Zainal Arifin Manasa sebagai pemilik lahan tersebut.

Adapun bantuan yang diberikan berupa mesin pompa, selang dan terpal.

Meskipun rutin membayar pajak sejak namun Arifin Manasa belum mengurus sertifikat dikarenakan persoalan administrasi di tingkat Desa Reok dan Desa Baru.

Namun demikian, menurutnya, surat pajak dari tahun 1984 hingga tahun 2021 menjadi bukti autentik bahwa lahan seluas 3 hektare di Nanga Banda adalah miliknya.

Lahan milik H. Zainal Arifin Manasa di pagar sejak lama sejak lahan itu digarap namun pagar yang dibuat adalah pagar bambu sehingga gampang dirusak sapi yang diikat dan berkeliaran di lokasi tersebut.

"Pada bulan Juli 2021 saya mengganti pagar bambu dengan tiang beton dan kawat duri. Hal itu kemudian menjadi alasan bagi pihak tertentu mengarang cerita tentang tanah kami di lokasi Nanga Banda," beber H. Arifin.

Ia pun turut membenarkan klaim kepemilikan tanah pemda di Nanga Banda.

Namun, jelas dia, posisi tanah pemda berbeda titik dengan tanah miliknya.

"Saya berbatasan langsung di sebelah Timur dengan tanah pemda. Dari pilar yang saya buat hingga ke sisi utaranya mencakup arena pacuan kuda," terang Arifin.

Tokoh 65 tahun itu menambahkan, tanah milik Pemda merupakan tanah yang pada masa kolonial diserahkan kepada pihak Belanda oleh Raja Bicara Abdullah Daeng Mananja dengan alasan untuk dijadikan pangkalan udara guna mendukung aktifitas penjajahan pada masa itu.

Sementara itu Pemda Manggarai melalui Kepala Bagian (Kabag) Tata Kelola Pemerintahan (Tapem), Karolus Mance juga buka suara terkait status kepemilikan tanah Nanga Banda.

Mantan Camat Cibal Barat itu menjelaskan bahwa Pemda Manggarai sudah melakukan kajian yang cukup panjang terkait status kepemilikan tanah itu.

Kajian itu dilihat dari aspek empiris, yakni undang-undang yang mengatur keberadaan Nanga Banda sebelum kemerdekaan.

Bagi orang Manggarai, jelas Karolus Mance, ada istilah "Gendang One Lingko Peang". Pemda mau mengetahui apakah Nanga Banda itu bagian dari salah satu Lingko hak komunal adat atau tidak. Padahal tidak.

Akhirnya Pemda berinisiatif mendatangi beberapa tokoh dan memang menemukan jawaban bahwa sebelum kemerdekaan tanah Nanga Banda itu lahan bebas yang tidak dimiliki oleh salah satu Gendang.

Baca Juga: Pj Bupati 'Belanja' Masalah di Muna Barat

Dengan demikian ketika ngomong soal "Gendang One Lingko Peang" terbantahkan.

Lalu, sambung Mance, Pemda menelisik lagi setelah kemerdekaan ternyata para penjajah datang menggunakan Nanga Banda sebagai tempat landasan udara untuk penerbangan Helikopter selama beberapa tahun.

Terus setelah penjajah pulang, Pemda langsung ambil alih karena jelas secara undang-undang semua aset milik kolonial yang ditinggalkan pasca kemerdekaan adalah milik Indonesia.

"Nah pasca kemerdekaan itu mulai berkembang sudah Indonesia ini, ada istilah Pemerintahan Swapraja dan ada istilah Pemerintahan Dalu. Pada saat itu Kecamatan Reok dibawa penguasaan Dalu Muhamad Marola" jelas Mance.

Dari aspek empiris yang berikutnya, tambah Mance, ada undang-undang yang mengatakan bahwa setelah Pemerintahan Swapraja ke Republik Indonesia maka semua aset yang ditinggalkan menjadi milik Pemda. Hal tersebut disusul dengan di keluarnya undang-undang pembentukan kabupaten.

"Setelah di keluarnya undang-undang itu pemda melihat dokumen tahun 1985. Di situ ada okupan orang per orangan mengajukan HGU kepada Pemda dan pada saat itu Pemda menyetujui mereka memanfaatkan tanah Nanga Banda. Itu artinya ada bentuk pengakuan karena tidak ada satu okupan itu yang mengklaim bahwa tanah itu milik mereka" tutur Mance

Terus dalam perjalanan pada tahun 1989 ada 4 orang para okupan dimediasi oleh Camat Mansur dengan menghadirkan Dalu Reok Muhamad Marola sebagai pelaku sejarah. Disana telah diputuskan bahwa tanah Nanga Banda adalah tanah milik Pemda. Lalu para okupan tersebut membuat pernyataan mengakui tanah itu milik Pemda.

"Jadi itu saja yang kami bisa jelas ke media. Sebenarnya masih banyak yang mau dijelas, baik itu secara histori lain maupun dokumen. Tetapi secara aturan kami harus buka itu di Pengadilan ketika suatu saat kami digugat" tutup Mance. (B)

Penulis: Berto Davids

Editor: Musdar

Artikel Terkait
Baca Juga