Perlindungan Anak dari Obesitas dan Kealfaan Regulasi
Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 24 Agustus 2024
0 dilihat
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015. Foto: Ist.
" Obesitas dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya penyakit degeneratif, seperti: diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, dan penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), dapat mempengaruhi kesehatan tulang dan reproduksi, serta meningkatkan risiko kanker di kemudian hari "
Oleh: Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015
HINGGA akhir 2022 diberitakan bahwa di sektor kesehatan Indonesia mengalami “beban tiga kali lipat” penyakit dan gizi. Beban tiga kali lipat masalah gizi, yang lebih masyhur dengan sebutan triple burden of malnutrition, meliputi: kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro dan kelebihan berat badan (obesitas).
Masih segar dalam ingatan kita, ketika Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/6), mengatakan sembilan dari 10 indikator kesehatan RPJMN (kesehatan) berisiko tidak tercapai pada 2024. Hanya, satu target pembangunan di bidang kesehatan yang sudah tercapai yakni tingkat obesitas penduduk dewasa yang sudah turun hingga 21,8%. Lalu, bagaimana dengan obesitas pada anak?
Dampak Obesitas pada Anak
Obesitas pada anak merupakan penyakit kompleks kronis, ditandai timbunan lemak berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan. Obesitas dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya penyakit degeneratif, seperti: diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, dan penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), dapat mempengaruhi kesehatan tulang dan reproduksi, serta meningkatkan risiko kanker di kemudian hari.
Obesitas juga dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, seperti asma, sleep apnea (gangguan tidur), pubertas dini, gangguan koordinasi (sulit untuk menggerakan anggota tubuh dan kemampuan keseimbangan tubuh yang buruk), hingga masalah psikologis seperti rasa rendah diri hingga depresi. Angka kematian akibat obesitas pada anak pun bisa mencapai angka 2,6 juta kasus.
Dilansir https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/, 06 Maret 2024, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Prof. Dante Saksono Harbuwono mengingatkan bahwa di balik kesan lucu dan menggemaskan anak yang mengalami obesitas, tersimpan risiko sindrom metabolik yang berkaitan dengan penyakit jantung koroner, stroke, dan pembuluh darah. Membiarkan anak itu tetap gemuk, berarti kita menyimpan tabungan anak tersebut untuk menjadi sakit jantung dan pembuluh darah. Pernyataan Wamenkes ini disampaikan pada Peringatan Hari Obesitas Sedunia Tahun 2024 di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Prof. Dante pun mengungkap Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, yang menunjukan 1 dari 3 masyarakat di Indonesia mengalami obesitas. Selain itu, 1 dari 5 anak-anak di Indonesia mengalami kelebihan berat badan. Persentase obesitas terus meningkat dalam satu dekade terakhir, yakni dari 8% pada 2007 menjadi 21,8% pada 2018. Hal ini hampir terjadi di semua negara berkembang karena adanya perubahan pendapatan yang lebih baik.
Bila kita memperhatikan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menurut provinsi. Misalnya, prevalensi status gizi pada anak umur 0 - 59 bulan: berat badan lebih dan obesitas 4,2%, kurus 6,4%, dan sangat kurus 2,1%. Untuk umur 5- 12 tahun: obesitas 7,8%, berat badan lebih 11,6%, kurus 7,5%, dan sangat kurus 3,5%. Sedangkan untuk umur 13 - 15 tahun: obesitas 4,1%, berat badan lebih 12,1%, kurus 5,7%, dan sangat kurus 1,9%.
SKI 2023 di atas memperlihatkan bahwa masalah gizi yang dialami anak umur di bawah lima tahun adalah malnutrisi. Namun, ketika anak beranjak ke umur di atas lima tahun trennya berubah, anak justru mengalami gizi lebih dan obesitas. Hal ini memberi petunjuk bahwa ada yang salah di lingkungan tempat anak bertumbuh.
Seperti diketahui, anak yang berusia dibawah lima tahun sangat tergantung asupan makanan dan minuman diberikan dari orang tuanya. Tapi, pada saat anak menginjak umur di atas lima tahun dan sudah bersekolah, maka mereka sudah lebih independen memilih asupan makan dan minuman. Sudah mulai jajan. Persoalannya, jajalan yang tersedia boleh jadi tinggi gula dan lemak. Kedua asupan energi berlebih tersebut bila dikonsumsi dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya obesitas.
Baca Juga: Degradasi Konsil Kedokteran: Siapa Untung?
Selain asupan energi berlebih, penggunaan gawai pun semakin meningkat. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bermain gawai dan video game dibanding melakukan aktivitas fisik atau berolahraga. Kurangnya aktivitas fisik ini pun merupakan penyumbang terjadinya obesitas anak. Karena itu, American Academy of Pediatrics merekomendasikan agar anak-anak menggunakan gawai tidak lebih dari 1-2 jam per hari.
Kealfaan Regulasi
Memperhatikan banyaknya anak yang mengalami obesitas serta meningkatnya prosentasi seiring dengan bertambahnya umur, maka tentu diperlukan upaya dan kerja keras bagi kita semua, terutama pemerintah untuk mencegahnya. Pemerintahlah yang harus menjadi motor penggerak upaya pencegahan obesitas ini.
Salah satu upaya yang wajib dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan kehadiran regulasi, terutama regulasi di bidang kesehatan yang memiliki materi muatan terkait penanganan obesitas serta pencegahannya. Mengapa regulasi sangat penting? Karena melalui regulasilah, perintah, anjuran, dan larangan dapat ditegaskan.
Lalu, mengapa harus pemerintah? Sebab, hanya pemerintah yang memilik kewenangan membuat regulasi terkait obesitas. Dan, hanya pemerintah pula yang memliki otoritas memerintah. Masyarakat umum tidak memiliki kewenangan dan otoritas tersebut. Itu pula sebabnya mengapa setiap negara bangsa perlu memiliki pemerintah atau pemerintahan.
Pemerintah tidak boleh hanya menghabiskan waktu untuk sibuk mengurus penduduk yang sudah terlanjur menderita penyakit degeneratif (di hilir), dan lupa melakukan pencegahan (di hulu). Gagalnya pemerintah mencegah laju obesitas anak, berarti pula telah membiarkan anak Indonesia “menyimpan tabungan” (istilah Prof. Dante) yang sangat berisiko di belakang hari.
Selanjutnya, mari kita perhatikan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini mengandung 458 pasal. Terdapat enam pasal mengatur tentang gizi, sembilan pasal tentang bayi dan anak, dan satu pasal tentang remaja. Tetapi, tak satu pun pasal yang mengandung materi muatan untuk secara khusus mengatur penanganan dan pencegahan obesitas.
Untungnya pada Pasal 66 (4) kita masih menjumpai kata bertuliskan “gizi berlebih”, terselip di antara sederetan kata lain, yang semuanya membicarakan tentang gizi kurang. Sederetan kata itu seperti: perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, stunting, dan defisiensi mikronutrien, serta masalah gizi akibat penyakit. Hal ini menunjukkan betapa tidak berimbangnya perhatian pemerintah dalam penanganan triple burden of malnutrition.
Kita lanjutkan penelusuran pada pasal-pasal PP No. 28 Tahun 2024, yang merupakan peraturan pelaksanaan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. PP ini mengandung 1172 pasal. Terdapat 31 pasal yang mengatur upaya kesehatan bayi dan anak, enam pasal terkait upaya kesehatan remaja, dan 14 pasal tentang gizi.
Pasal 132 (1) membicarakan tentang perbaikan pola konsumsi yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. Sedang Pasal 139, membahas tentang tata laksana gizi, yang memuat kata “gizi berlebih”. Di sini kata gizi berlebih juga berada di antara sederetan kata-kata lain yang semuanya mebermakna gizi kurang, sebagaimana pada UU Kesehatan.
Sementara pada ketentuan mengenai bayi, anak, dan remaja tidak ditemukan kata gizi berlebih, yang ada hanya asupan gizi cukup dan gizi seimbang. Jadi, PP No.28 Tahun 2024 pun tidak mencantumkan pasal khusus untuk mengatur perlunya penanganan dan pencegahan obesitas pada anak, baik secara umum maupun secara spesifik.
Baca Juga: Pencaplokan Kolegium: Siapa yang Untung?
Karena itu, sangat disayangkan karena kehadiran UU Kesehatan No. 17 Tahun 2024 dan PP No. 28 Tahun 2024, yang seharusnya menjadi regulasi utama dalam penanganan dan pencegahan obesitas anak, justru alfa mengatur secara tepat, jelas dan tegas.
Catatan Akhir
Obesitas pada anak, selain meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif dan memperburuk kualitas hidup, juga merupakan salah satu penyakit. Penyakit yang memerlukan perhatian dan penanganan serius, termasuk pencegahannya.
Terlalu banyak dampak buruk bila kasus obesitas pada anak dibiarkan meningkat. Keburukan itu, antara lain: Pertama, kualitas hidup anak menjadi buruk; Kedua, meningkatkan kejadian penyakit degeneratif yang berbiaya tinggi; Ketiga, meningkatnya pembiayaan kesehatan perorangan; Keempat, terkurasnya dana jaminan sosial yang berakibat gagal bayar atau defisitnya JKN (BPJS Kesehatan).
Di balik dampak buruk di atas, bisa saja ada pihak yang akan mengambil keutungan. Tapi tentu itu bukan bagian dari cita-cita luhur kita sebagai negara bangsa. Keuntungan itu, antara lain: (a) makin meningkatnya gairah berinvestasi rumah sakit mewah; (b) meningkatnya penggunaan alat kesehatan berteknologi canggih dan berbiaya tinggi; (c) meningkatnya bisnis dan impor alat kesehatan; dan (d) bertambah gencarnya kampanye naturalisasi dokter asing.
Membiarkan peningkatan kasus obesitas pada anak, juga secara tidak langsung membiarkan anak Indonesia menyimpan tabungan penyakit yang lebih serius pada masa mendatang. Karena itu, anak Indonesia wajib dilindungi dari obesitas. Melindungi dengan cara menangani bila sudah obesitas dan tentu saya yang terbaik adalah mencegahnya.
Mencegah melalui pendekatan keluarga dengan alasan akar permasalahan obesitas ada pada keluarga tentu saja tidak salah. Namun, sangat tidak cukup dan bahkan tidak adil. Sebab, sekali pun keluarga itu telah bersusah payah ingin mencegahnya dengan memperbaiki pola makan gizi seimbang, gaya hidup sehat, dan seterusnya, namun tetap saja tidak efektif sebab lingkungan eksternal tempat anak bertumbuh tidak mendukungnya.
Akses untuk memperoleh jajanan yang tidak sehat, berenergi tinggi pun sangat sangat terbuka bebas. Demikian pula bila mengajurkan anak untuk berolahraga, juga kurang efektif sebab ruang terbuka untuk berolahraga, terutama di perkotaan juga semakin menyempit.
Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada penyediaan regulasi yang tepat, jelas dan tegas, sebagai upaya pencegahan obesitas anak yang paling efektif. Regulasi yang ditegakkan dengan sepenuh hati oleh pemerintah, lalu diikuti oleh pengusaha dan industri, tokoh masyarakat termasuk guru, keluarga, dan anak itu sendiri. Tidak ada yang mustahil dan tidak ada yang tidak bisa diperbaiki bila kita semua memiliki niat baik dan optimisme untuk melindungi anak kita dan memajukan bangsa kita. Wallahu a'lam bishawab.(*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS