Generasi di Era Metaverse Abad 21

Usmar, telisik indonesia
Sabtu, 01 Januari 2022
0 dilihat
Generasi di Era Metaverse Abad 21
Dr. Usmar, SE, MM, Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.

" Perkembangan peradaban dunia seolah akan terulang yang di ilhami dari cerita fiksi sebuah novel "

Oleh: Dr. Usmar, SE, MM

Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

SEJARAH perkembangan peradaban dunia seolah akan terulang yang di ilhami dari cerita fiksi sebuah novel.

Berbagai peristiwa peradaban dan realitas yang terjadi dalam kurun abad 19 dan abad 20, kental nuansanya terinspirasi pada novel yang ditulis oleh George Orwell pada tahun 1949 yang berjudul “Ninteen Eighty Four 1984”.

Dalam Novel yang di tulis oleh George Orwell ini, diceritakan ada “Telescreen” yang berada pada setiap rumah, dan dimanapun mengikuti sisi kehidupan manusia. Dan ini oleh penguasa digunakan sebagai instrumen propaganda sekaligus juga untuk mengkontrol rakyatnya, dimana Telescreen beroperasi secara masif dan tiada henti dengan menayangkan program selama 24 jam secara non stop, tanpa kemampuan rakyat  (pemirsa) untuk menghentikan penetrasi penayangannya.

Dan kita mengetahui dan mengalami bersama bahwa kini ramalan George Orwell dalam novel tersebut telah terjadi dalam kehidupan nyata di abad 19 dan abad 20, dimana televisi sudah masuk ke ruang-ruang keluarga di seluruh dunia dan dimanapun berada, bahkan dalam konteks riil pengawasan telah ada teknologi yang namanya CCTV.

Bahkan sekarang dengan format smart phone telah mengambil alih peran telescreen, yang dapat berfungsi ganda, selain berfungsi sebagai jendela pengetahuan yang memungkinkan kita memandang dunia dalam spektrum yang lebih luas, namun di sisi lain persoalan privat penggunanya juga terbuka dan dapat dipenetrasi oleh perusahaan (penguasa).

Inspirasi Novel Abad 21

Ketika Mark Zuckerberg CEO perusahaan Facebook tanggal 28 Oktober 2021 lalu, mengumumkan bahwa perusahaannya berubah nama menjadi ”Meta”, tentu ini bukan sekedar rebranding semata, namun lebih jauh dari itu, dimana Facebook akan masuk pada teknologi masa depan yang disebut ”Metaverse”.

Istilah Meteverse diperkenalkan oleh Neal Stephenson melalui novel fiksi ilmiah yang berjudul Snow Crash yang terbit pada tahun 1992. Jadi gagasan Zuckerberg ini muncul setelah 30 tahun konsep metaverse diperkenalkan Stephenson.

Apa itu Metaverse?

Metaverse adalah sebuah konsepsi rancangan yang memadukan dunia nyata dan dunia maya dengan teknologi digital. Dalam Metaverse setiap orang dapat melakukan berbagai hal seperti; bekerja, berbelanja, bermain, berbisnis, bersekolah, berlibur dan sebagainya seperti layaknya di kehidupan nyata.

Dengan menggunakan teknologi virtual reality dan augmented reality dapat memungkinkan untuk setiap orang dari seluruh dunia berkumpul dan berinteraksi, kendati riilnya orang-orang tersebut tetap berada di rumah dan lokasi masing-masing.

Dalam konteks ini, Stephenson terinspirasi dari kerja John Walker dan Jaron Lanier dari Autodesk dalam menciptakan teknologi bernama virtual reality (VR).

Virtual Reality dan Augmented Reality

Virtual reality merupakan gabungan kata dari bahasa Inggris, yaitu ‘virtual’ yang berarti dekat dan ‘reality’ adalah realitas. Jadi virtual reality adalah suatu upaya untuk “mendekati realitas”.

Dengan menggunakan teknologi virtual reality (VR), otak dan panca indera manusia akan menghasilkan sebuah ilusi bagi yang menggunakannya seolah merasa sedang berada di tempat nyata dalam peristiwa yang diikutinya.

Jadi VR adalah simulasi yang dihasilkan komputer di mana seseorang dapat berinteraksi dalam lingkungan tiga dimensi buatan, menggunakan perangkat elektronik yang menjadikannya seolah di dunia nyata dengan bantuan perangkat seperti kacamata, headset, dan perangkat sensor lainnya, mampu menghadirkan suara, pemandangan dan sensasi lainnya sebagaimana realitas adanya.

Baca Juga: Islam Bicara Perempuan

Sedangkan yang dimaksud dengan augmented reality (AR), adalah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut secara realitas dalam waktu nyata. Dengan bantuan teknologi tersebut, realitas yang dibangun dapat dirasakan semua panca indera manusia, seperti  penciuman, pendengaran, maupun sentuhan.

Secara umum hal positifnya virtual reality dan augmented reality dapat membantu manusia  untuk menambah skill serta pengetahuannya, tanpa harus melakukan hal tersebut secara nyata baik tempat maupun suasananya.

Impian Futuristik Orwell dan Stevhenson

Kita semua sudah menyaksikan, bahwa impian futuristik George Orwell, yang ditulis dalam novelnya pada tahun 1949 telah terjadi dalam dunia nyata saat ini. Dan bagaimana dengan impian futuristik Stevhenson?

Seperti kita ketahui dalam dalam novel Snow Crash yang ditulis oleh Neal Stephenson pada tahun 1992 itu bahwa manusia dapat menikmati sebuah dunia virtual yang berbeda dengan dunia nyata, namun seolah nyata.

Kini semua perusahaan aplikasi IT besar sudah merespon terjadinya perubahan dalam trend baru ini. Hal tersebut dapat kita lihat diantaranya pernyataan dari Mark Zuckerberg melalui keterangan tertulis bahwa perubahan nama dari Facebook menjadi Meta adalah, “Untuk mencerminkan siapa diri kita dan masa depan yang ingin kita bangun”. Kami berada di awal bab berikutnya untuk internet, dan ini juga bab berikutnya untuk perusahaan kami”.

Mark Zuckerberg mengatakan bahwa metaverse akan membawa manusia merasakan sensasi baru di mana kita dapat merasakan hidup di dunia virtual. Dalam dunia virtual tersebut kita bisa bekerja, berbelanja, bermain, dan melakukan banyak hal yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.

Realitas Virtual

Metaverse jika itu terwujud, maka akan membuat kemungkinan berbagai aktivitas kehidupan dan termasuk dunia pendidikan nantinya dapat dilakukan dalam dunia virtual. Dan ini akan menjadi sebuah disrupsi nyata bagi dunia pendidikan.

Jadi kelak dosen dan guru sejarah dalam menjelaskan peristiwa sejarah, tidak perlu datang mengunjungi meseum, cukup dengan mengajak anak didiknya masuk ke metaverse yang di sana sudah tersedia museum virtual tiga dimensi.

Kampus dan sekolah akan dibangun di dunia virtual, kelas-kelas akan terdapat di dunia virtual, pembelajaran dilakukan secara virtual. Metaverse menawarkan ruang yang dapat melakukan apa pun tanpa harus bertemu secara langsung.

Begitu juga dengan dunia perkantoran akan ada “virtual office” yang bisa di beli atau disewa layaknya di dunia nyata.

Perusahaan dapat menyelenggarakan rapat melalui virtual reality, di mana setiap anggota hanya perlu menggunakan headset VR dan menghubungkannya kepada aplikasi virtual reality. Dan ketika sudah terhubung, setiap anggota rapat akan merasa berada di dalam suatu ruangan. Bahkan avatar yang dimiliki masing-masing anggota dapat memperlihatkan emosi atau raut wajahnya sebagai reaksi dan ekspresi dalam mengikuti rapat tersebut.

Bahkan sekarang sudah belasan perusahaan-perusahaan besar dunia mengembangkan bisnis virtualnya, antara lain seperti; Microsoft, Alibaba, Samsung, Tencents, Soft Bank, Apple, YG Entertainment (Agensi Blackpink), SM Entertainment (Agensi NCT 127, NCT Dream, SHInee, Super Junior, Red Velvet, dan Aespa) dan sebagainya.

Jadi secara sederhananya, metaverse dalam wujudnya  akan memindahkan  kehidupan nyata manusia ke dunia avatar.

Generasi Metaverse Abad 21

Secara umum, mungkin realitas metaverse bagi genarasi X dan generasi Y, apalagi generasi Baby Bommers, adalah sesuatu yang mungkin belum tergambarkan secara utuh, apalagi untuk memahaminya.

Namun, tidak demikian bagi generasi Z atau GenZ, yaitu generasi yang lahir di era Internet dan sekitar abad ke-21, antara 1995 dan 2010, dan generasi Alfa atau Genalfa adalah generasi yang lahir di era ponsel cerdas, setelah tahun 2010, bahwa realitas era Metaverse bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Generasi GenZ dan Genalfa, adalah generasi yang produktif yang sudah terbiasa bermain menggunakan Roblox yang di ciptakan oleh Erik Cassel dan David Baszucki, yang merupakan perwujudan baru tempat para penggunanya bermain game, di mana dalam permainan game mereka berinteraksi sosial, melakukan jual-beli, menghadiri konser, menjelajah berbagai tempat, dan pelbagai kegiatan lainnya.

Baca Juga: Kesetrum Tarif Listrik, Kado Pahit Kebijakan Kapitalisme di Tahun 2022

Dengan mempersatukan kaidah-kaidah aplikasi komputer atau smartphone, menurut Baszucki, Roblox merupakan tempat pelarian orang-orang dari dunia fisik ke dunia digital untuk memperoleh pengalaman yang menyenangkan dan imajinatif, cukup dengan cara mereka terlebih dahulu mengubah bentuk dari tubuh fisik manusia menjadi avatar.

Penutup

Kemajuan teknologi virtual reality dan augmented reality, mungkin saja bagi  generasi GenZ dan GenAlfa  menganggap bahwa metaverse atau teknologi sejenisnya adalah dunia nyata mereka, tapi yang perlu menjadi catatatan kita bahwa metaverse akan menghilangkan kehangatan sosial yang dapat kita rasakan ketika manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya secara langsung.

Mungkin generasi GenZ dan Genalfa, Metaverse dengan rasionalitas teknologis yang mereka pahami, hanya memiliki sudut pandang saintifik semata.

Dan ini seolah membuktikan kebenaran tesis dari Adorno sebagai generasi pertama dari mazhab Frankurt, yang menyebut bahwa manusia-manusia pada titik ini telah mencapai “negativitas total”. Atau dengan kata lain, aspirasi manusia untuk kebahagiaan dan kebebasan pada akhirnya tidak akan pernah terwujud karena dikendalikan sebagai objek oleh sistem yang bekerja atau mewujud sebagai teknologi dan sains itu sendiri.

Karena itu, disinilah tantanganya. Bagaimana kedepan pemerintah sebagai regulator mampu menjaga dan mengatur realitas virtual sebagai hal baru yang dapat melindungi kenyamanan dan keamanan data pribadi warganya. Sedangkan secara umum bagi dunia pendidikan tinggi, dapat memperbaharui cara pandang dan berpikirnya dalam merespon realitas baru teknologi yang hampir pasti tak mungkin bisa dihindari. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga