Produksi Nikel RKAB 2026 Melenceng, Target Nasional Anjlok ke 250 Juta Ton
Ahmad Jaelani, telisik indonesia
Jumat, 19 Desember 2025
0 dilihat
Kegiatan operasional tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Foto: Repro Antara.
" Rencana produksi nikel nasional dalam RKAB 2026 turun signifikan ke 250 juta ton "

JAKARTA, TELISIK.ID - Rencana produksi nikel nasional dalam RKAB 2026 turun signifikan ke 250 juta ton, mencerminkan upaya pemerintah dan pelaku usaha menahan tekanan harga global.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan rencana produksi bijih nikel nasional dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 diajukan sekitar 250 juta ton.
Angka tersebut turun cukup jauh dibandingkan target produksi dalam RKAB 2025 yang mencapai 379 juta ton, sehingga menandai perubahan strategi pemerintah dan industri dalam mengelola pasokan nikel.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menjelaskan, penetapan rencana produksi yang lebih rendah dilakukan untuk menjaga stabilitas harga nikel agar tidak terus tertekan akibat kelebihan pasokan.
Menurutnya, penurunan kuota produksi menjadi salah satu opsi yang realistis di tengah kondisi pasar global yang masih dibayangi surplus.
Baca Juga: Dua Kapal Angkut Ore Nikel dari Konawe Utara Tujuan Morowali Terjaring Operasi Jarkaplid TNI AL
“Rencana pemerintah gitu produksi bijih nikel dalam RKAB 2026 sebanyak 250 juta ton. Rencana ya. Namun, kan saya enggak tahu realisasinya,” kata di kawasan Jakarta Selatan, seperti dikutip dari Blomberg, Jumat (19/12/2025).
Meidy menegaskan, produksi yang terlalu tinggi justru berpotensi menekan harga lebih dalam. “Biar harga naik dong. Kalau produksi terlalu over kan harga pasti turun ya,” ujarnya.
APNI mencatat, berdasarkan kajian internal, pasar nikel global pada 2025 diperkirakan mengalami surplus sekitar 209 juta ton. Sementara pada 2026, surplus tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 261 juta ton, dengan sekitar 65 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia memiliki peran besar dalam menentukan arah harga nikel dunia.
Meidy memperkirakan, jika kondisi oversupply tidak dikendalikan, harga nikel global di London Metal Exchange berisiko turun hingga kisaran US$12.000 per ton dari rata-rata saat ini di level US$14.000 hingga US$15.000 per ton.
“Kalau Indonesia bisa menurunkan kapasitas produksi, harganya bisa naik. Itu sudah pasti hukum alam. Kalau oversupply, demand turun, harga juga ikut turun,” tuturnya.
Di sisi lain, penurunan produksi domestik berpotensi disubstitusi melalui impor oleh perusahaan smelter. Meidy menyebut, opsi impor menjadi pilihan yang sulit dihindari selama tidak ada kebijakan yang melarangnya.
“Ya pasti mereka kan solusi untuk impor lah. Kita enggak berhak menahan impor kan, kecuali pemerintah mengeluarkan aturan tidak boleh impor,” katanya.
Pemerintah sendiri menunjukkan sinyal sejalan dengan langkah tersebut. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan dukungannya terhadap upaya penyesuaian target produksi nikel 2026, seiring kondisi pasokan yang dinilai sudah berlebih.
Baca Juga: ESDM Stop Izin Smelter Nikel Baru, Aktivitas Penambang 2026 Direm
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara ESDM Tri Winarno mengatakan evaluasi akan dilakukan terhadap kuota produksi yang dianggap terlalu tinggi.
“Pokoknya yang lebih-lebih tinggi kita evaluasi lah. Kan over 300.000-an ton, bisa jadi di bawah itu,” ujar Tri.
Langkah ini juga diperkuat dengan kebijakan Kementerian Perindustrian yang memperketat izin pembangunan smelter nikel baru, khususnya yang tidak terintegrasi dengan tambang, sebagai bagian dari pengendalian pasokan dan arah hilirisasi ke produk bernilai tambah lebih tinggi. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS