Revisi UU Minerba, Kampus Dapat Jatah, Serius?
Rut Sri Wahyuningsih, telisik indonesia
Minggu, 02 Februari 2025
0 dilihat
Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban. Foto: Ist.
" Pada pasal 51, Baleg DPR mengusulkan agar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam bisa diberikan kepada badan usaha, koperasi, hingga perusahaan perorangan. Kemudian pada pasal 51 A, RUU Minerba mengusulkan agar WIUP juga bisa diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas "
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyetujui draf Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi RUU pada tanggal 23 Januari 2025. Terdapat sejumlah usulan krusial dari total 9 poin usulan revisi pasal baru yang diajukan oleh Baleg DPR dan tercantum dalam naskah akademik.
Pada pasal 51, Baleg DPR mengusulkan agar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam bisa diberikan kepada badan usaha, koperasi, hingga perusahaan perorangan. Kemudian pada pasal 51 A, RUU Minerba mengusulkan agar WIUP juga bisa diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia menjelaskan usulan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan perguruan tinggi, sehingga mampu meningkatkan kualitas mutu pendidikannya.
Jelas usulan ini memunculkan pro dan kontra di masyarakat, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid, atas nama UII, menolak tegas usulan ini, bahkan mempertanyakan apa dasar kampus yang mendukung usulan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi hingga menyatakan siap mengelola tambang, padahal butuh modal besar untuk bisa melakukannya (CNNIndonesia.com, 25-1-2025).
Menurut Fathul sangatlah tidak masuk akal, jika pemberian izin tambang dianggap sebagai solusi atas pembiayaan tinggi setiap kampus, ia curiga ada kepentingan cukong di balik kampus yang menyatakan kesiapannya mendapat izin usaha tambang.
Menurut Fathul, kampus mendapatkan dana dari mana untuk mengelola tambang, sebab dana pendidikan yang tersedia, ketika digunakan untuk usaha nonpendidikan, pasti ada implikasinya. Industri ekstraktif sudah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan, sebagaimana aktivitas pertambangan yang juga sering menyebabkan konflik, penggusuran, dan dampak negatif pada masyarakat lokal. Terlebih lagi, integritas akademik kampus akan menjadi taruhan (CNN Indonesia, 25-1-2025)
Karena temuan saintifik terkait dengan dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan manusia di sekitar lokasi akan cenderung diabaikan. Kampus karenanya bisa menjadi antisains. Selain itu, keterlibatan dalam aktivitas pertambangan dapat memunculkan erosi kepercayaan publik terhadap kampus tegas Fathul.
Yang lebih berbahaya lagi, jika IUP dianggap sebagai hadiah dari pemerintah, akan berakibat pada paraunya kampus menyuarakan ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Jelas hal demikian menyalahi misi utama kampus sebagai lembaga pendidikan. Kampus pun terjebak dalam korporatisasi dan menjadi entitas bisnis semata.
Baca Juga: Al Aqsha Amankah Dikunjungi?
Salah satu kampus yang menyatakan kesiapannya mengelola tambang adalah ITB, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Ridho Kresna Wattimena di hadapan rapat pleno bersama Badan Legislatif (Baleg) DPR RI memberikan usulan terkait perguruan tinggi yang berhak mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan pemerintah.
Di antaranya haruslah perguruan tinggi yang memiliki akreditasi resmi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan akreditasi unggul, hari ini tercatat hingga 149 perguruan tinggi. Kemudian perhatian pada aspek lain seperti ketersediaan program studi yang kompeten untuk sektor pertambangan (cnbcindonesia.com, 24-1-2025).
Sedangkan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Prof Fauzan mengaku pihaknya belum membahas secara mendalam terkait pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi terpilih di Indonesia. Harus ada penggalian lebih mendalam terkait pengertian mampu pada kampus. Kalau yang dimaksudkan mampu ini adalah mandiri, tentu investasinya juga tidak sedikit, tidak hanya secara finansial tapi tata kelolanya perlu adaptasi juga (cnnindonesia, 25-1-2025).
Kampus Kelola Tambang, Orientasi Pendidikan Makin Salah Arah
Pemerintah semakin ngawur, hilirisasi tambang sebagai bagian dari Sustainable Development Goals (SDG) 7, yaitu energi bersih dan terjangkau, ternyata mewacanakan kampus mengelola tambang. Hal ini dianggap solusi, karena adanya otonomi kampus yang membuat kampus mencari pendapatan secara mandiri. Benarkah?
Usulan ini sejatinya akan membelokkan orientasi kampus (disorientasi) sebagai konsekuensi industrialisasi pendidikan (PT PTN BH). Apakah ini akan sejalan dengan target Indonesia Emas pada tahun 2045, jika kampus sebagai lembaga pendidikan malah sibuk menjalankan bisnis tambang?
Selain itu, hal ini juga menunjukkan terjadinya disfungsi negara yang seharusnya berperan sebagai raa'in dan junnah yang bertanggung jawab atas pemenuhan publik atas kebutuhan akses ke Perguruan Tinggi dan pengelolaan tambang sebagai harta milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Hubungan negara dengan rakyat bukanlah hubungan bisnis yang hanya beritung untung rugi. Sayangnya kita memang sedang dalam penerapan sistem kapitalisme, dimana asasnya adalah manfaat, tak ada halal haram selain harus banyak modal. Negara sangat patuh kepada oligarki, sebab merekalah sesungguhnya yang memiliki kekuasaan. Hingga muncul tagar #Indonesia for sale.
Baca Juga: Gerakan 4B Menular Hingga AS
Ada ketidaksinkronan antara target pembangunan dan cara menempuh target tersebut, semakin menunjukkan ketidak profesionalan negara sebagai negara, jelas rakyat yang jadi imbasnya. Dari kebijakan otonomi kampus saja sudah jelas negara ada di pihak mana, tentu ada di pihak yang tak mau repot dengan urusan rakyat. Padahal pendidikan adalah tulang punggung peradaban manusia.
Jika benar wacana ini dipraktikkan, kampus akan berorientasi mengejar materi, inilah yang dimaksud dampak dari kapitalisasi Pendidikan. Faktanya, Indonesia memang penganut sistem Kapitalisme. Semua dilihat dari kacamata untung dan rugi. Sekolah sejak tingkat PAUD hingga perguruan tinggi adalah berbayar meski jargonnya , biaya pendidikan gratis. Agar tak tampak terlalu transparan, dibentuklah komite yang terdiri dari alumni, perwakilan wali murid dan tokoh masyarakat. Agar nampak legal jika sekolah meminta sejumlah dana wali murid guna pembiayaan operasional lembaga sekolah tersebut.
Selalu yang menjadi pembenaran adalah dana kurang, sekolah surplus (memiliki murid dengan profesi orangtua kelas menengah ke atas) atau bukan tetaplah pembiayaan ditanggung orangtua atau personal sehingga menjadi sangat berat dan menutup peluang mahasiswa yang miskin mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan banyak yang yang memilih putus sekolah karena minimnya pendapatan orangtua dan tingginya biaya hidup, memaksa anak-anak untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Sistem Islam Wujudkan Generasi Cemerlang
Kiranya semua sepakat ,bahwa kampus sebagai lembaga pendidikan harusnya fokus membentuk syaksiyah Islamiyah (kepribadian Islam) pada anak didiknya dan generasi unggulan dengan karya terbaik untuk kontribusi kepada umat. Generasi berikutnya setelah kita adalah pemegang kunci estafet peradaban. Dengan sendirinya, jika ada support sistem terbaik, yaitu negara pasti akan lahir generasi cemerlang dan tangguh.
Maka perlu adanya upaya penyadaran kepada umat, agar sejak sekarang umat paham bahwa hanya pada Islam segala perbaikan itu akan terwujud. Islam menetapkan pembiayaan kampus ditanggung oleh negara dari Baitulmal dalam pos kepemilikan umum, salah satunya termasuk pertambangan. Negara wajib mengelolanya untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana umum termasuk layanan pendidikan, sekolah, jembatan, gaji guru dan ASN, rumah sakit dan lainnya.
Islam mengharamkan pengelolaan pertambangan oleh individu atau swasta sebagaimana yang terjadi hari ini. Dalilnya adalah Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. Dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. Memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Maka pengertiannya bahwa tambang adalah milik umum, wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan negara untuk rakyat. Menjadi urgensitas kita sebagai muslim yang pantang menyelisihi apa yang sudah diperintahkan Allah, sebab setiap amal akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Dan pada faktanya, berdasarkan keimanan yang kita miliki kita tak memiliki pilihan ketika Allah dan Rasul sudah menetapkan sebuah urusan.
Sebagaimana firman Allah SWT.yang artinya, Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” ( TQS al-Ahzab:36). Wallahualam bissawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS