Sang Akademisi yang Moralis
Usmar, telisik indonesia
Minggu, 16 Januari 2022
0 dilihat
Dr. Usmar, SE, M.M, Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.
" Sang akademisi sedang menari dari gendang politik yang dimainkan para politisi jelang tahun politik Kontestasi Presiden 2024 "
Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M
Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)
VIRALNYA berita tentang pelaporan dugaan KKN yang dilakukan oleh dua orang anak Presiden Jokowi oleh akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bung Ubedilah Badrun, menuai berbagai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat.
Dari mulai yang menganggap hal yang dilakukan sang akademisi ini, adalah semata dugaan liar saja, bahkan ada yang menuduh sang akademisi ini sedang menari dari gendang politik yang dimainkan para politisi jelang tahun politik Kontestasi Presiden 2024. Sampai dengan yang secara benderang mengatakan bahwa yang bersangkutan adalah simpatisan dari partai PKS.
Namun ada juga yang menilai bahwa laporan seperti ini, adalah hal biasa saja, sepanjang yang melaporkan dengan keyakinan intelektualnya, bahwa ada peristiwa ketidakbenaran dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus diluruskan.
Filosofi kaum akademisi sangatlah sederhana, bahwasannya “bisa salah, tapi tidak boleh berdusta”. Karena itu, menurut saya, seorang akademisi sekualitas Ubedilah Badrun tentulah sangat mengerti dan memahami makna dari filosofi tersebut, baik secara tersirat maupun secara tersurat.
Sudah lebih dari 25 tahun saya mengenal dan berinteraksi dengan Bung Ubedilah Badrun ini, baik sesama sebagai aktivis gerakan organik, maupun sebagai sesama akademisi.
Dalam interaksi dan bekerjasama sebagai aktivis gerakan mahasiswa organik, yang tergabung dalam organ gerakan mahasiswa “Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta” (FKSMJ), yang berdiri sejak tahun 1994, dan penulis adalah salahsatu inisiator berdirinya FKSMJ ini, dimana FKSMJ ini adalah sebuah organ gerakan mahasiswa yang melakukan perlawanan terhadap Rezim Orde Baru, yang otoriterian dan telah menyimpang dalam menjalankan pemerintahan secara konstitusional.
Baca Juga: Tak Pas Polri di Bawah Kementerian
Puncak dari Gerakan 98 yang menentang rezim Orde Baru adalah pendudukan Gedung DPR/MPR RI yang diawali dan dimotori oleh organ mahsiswa FKSMJ ini yang dimulai pada tanggal 16 Mei 1998, yang kemudian berujung pada lengsernya Prersiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Dan Bung Ubedilah Badrun adalah salahsatu tokoh yang ada di dalamnya.
Adapun persolan materi laporan yang disampaikan oleh Bung Ubedilah badrun, biarlah KPK yang memproses laporan itu. Apakah nanti itu termasuk laporan yang layak ditindak lanjuti dengan telaah atau hanya laporan yang diterima masuk katagori yang diarsipkan.
Selanjutnya, siapapun yang merasa dirugikan sebagai dampak laporan tersebut, tinggal menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara, dapat saja menggunakan jalur hukum juga. Ini adalah sebuah pembelajaran di negara kita yang telah memilih demokrasi sebagai jalan berbangsa dan bernegara.
Sungguh menyedihkan, ketika kita melihat banyaknya pernyataan dan komentar yang tak cerdas disampaikan di sosial media, sebagai respon terhadap laporan Bung Ubedilah Badrun ini yang dengan semangat berlebih membela sang terlapor tanpa disertakan data yang lebih akurat sebagai bentuk pembelaan yang cerdas dan obyektif.
Bahkan banyak upaya pembelaan yang dilakukan dengan menggunakan narasi konspirasi bahwa yang dilakukan Bung Ubedilah Badrun ini adalah pesanan dari para “oposisi” dan dengan menerima kompensasi yang mereka sendiri jelas tidak bisa membuktikannya. Sungguh ini perilaku pecundang yang berteriak demokrasi, tapi tak siap menjalankan komitmen berdemokrasi.
Bahwa sebagai dampak dari laporan yang dilakukan tersebut dapat digunakan berbagai elemen masyarakat sesuai pilihan posisi politiknya, tentu saja adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan dalam gerak dinamika politik berdemokrasi.
Baca Juga: Mental Pancasila versus Mental Kapitalis
Dalam perjalanan, kami sebagai akademisi yang berangkat dari basis aktivis gerakan organik, kami tetap memegang prinsip bahwa kebersamaan kami dalam konteks berbangsa dan bernegara tidak pernah mengabdi pada orang per orang, tapi yang mempertemukan dan menyatukan kami adalah pikiran dan cita-cita bersama tentang Indonesia menjadi sebuah negara besar yang kuat dan demokratis.
Inilah esensi dari pilihan kami sebagai aktivis gerakan organik, yang selalu meyakini setiap pilihan tindakan adalah berangkat dari pemikiran rasional personal kami dalam membaca dan memahami realita yang ada dan terjadi pada hari ini.
Apakah tindakan tersebut salah atau benar dan ada konsekuensi hukumnya, tentu sebagai aktivis gerakan organik sangat memahami dan mengetahui bahwa itu adalah konsekuensi dari sebuah pilihan tindakan.
Jadi, mari kita berpikir dan berbuat lebih cerdas lagi dalam merespon berbagai persoalan yang muncul di republik ini. Memang dalam konteks berbangsa dan bernegara bahwasannya kita tidak harus berpikir serupa, tapi berpikir bersama dalam menjaga dan membangun bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini, sebagaimana amanat dan cita-cita proklamasi yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. (*)