Varian Baru Pajak yang Mencekik Rakyat

Marni, telisik indonesia
Sabtu, 10 Juli 2021
0 dilihat
Varian Baru Pajak yang Mencekik Rakyat
Marni, S.P, Pemerhati Sosial. Foto: Ist.

" Setahun lebih COVID-19 melanda dunia khususnya indonesia. Sehingga berakibat pada stabilitas ekonomi yang merosot. Berbagai upayapun dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan perekonomian negara. "

Oleh: Marni, S.P

Pemerhati Sosial

SETAHUN lebih COVID-19 melanda dunia khususnya Indonesia. Sehingga berakibat pada stabilitas ekonomi yang merosot. Berbagai upayapun dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan perekonomian negara.

Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal, di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Sebagaimana dilansir MuslimahNews.com, rencana pemerintah menetapkan perluasan objek pajak—termasuk sembako, jasa pendidikan, dan kesehatan—telah menuai kecaman dari berbagai pihak. Apalagi pada saat yang sama beredar pula berita rencana menaikkan PPN hingga 12?n justru mengobral pajak pembelian mobil hingga 0%.

Senada dengan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut defisit APBN tahun 2020 tembus 6,1?ri PDB. Defisit APBN itu menjadi yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Defisit melonjak dibanding rancangan awal APBN 2020 sebelum pandemi COVID-19 yang ditargetkan hanya sebesar 1,76?ri PDB.

Oleh karena itu, pemerintah bersiap menetapkan kebijakan pajak baru yang tertuang dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk meningkatkan penerimaan pajak pada 2022. RUU ini akan segera dibahas DPR bersama pemerintah sebelum masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021.

Perusahaan atau wajib pajak badan akan dikenakan PPh minimum jika memiliki PPh tidak melebihi 1?ri penghasilan bruto. Tarif PPh 35% akan ditetapkan bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan kena pajak di atas Rp 5 miliar dalam setahun. Selain menaikkan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah juga akan menghapus sejumlah barang dan jasa yang selama ini bebas PPN.

Ada dua kelompok barang yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya adalah hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya—tidak termasuk batu bara—dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako.

Sementara, untuk kelompok jasa, ada sebelas kelompok jasa yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Di antaranya jasa pendidikan sekolah seperti PAUD, SD—SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN.

Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.

Sebagaimana dilansir kontan.co (14/6/2021) jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa asuransi, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat dan air, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos juga akan kena PPN.

Baca juga: Ransomware, Evolusi Pemerasan di Era Digital

Masyarakat di kalangan grassroot hingga pengamat menilai kebijakan ini sangat zalim. Pimpinan organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti YLKI, KSPI, Asosiasi Petani Tebu, Ikatan Pedagang Pasar, dan sebagainya sontak bersuara menyampaikan penolakan.

Meski pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kebijakan ini tak menyasar masyarakat luas dan seakan fokus pada kelompok kaya, argumentasi yang disampaikan ini tetap saja tampak mengada-ada.

Alih-alih menghapus berbagai pajak yang selama ini dibebankan kepada rakyat, serta mencabut berbagai kebijakan yang sudah lama memberatkan rakyat, pemerintah malah terus kreatif menciptakan varian baru pajak untuk memeras hak milik rakyat hingga tetes terakhir keringat mereka.

Maka, wajar jika rakyat bertanya-tanya, sebetulnya kebijakan pajak ini adil buat siapa? Jangan-jangan pekerjaan pemerintah memang cuma berpikir tentang apa lagi yang bisa diperas dari rakyatnya? Dan yang paling mudah ternyata adalah pajak! Bukankah faktanya selama ini telah banyak jenis pajak yang diwajibkan atas rakyat?

Pemerintah berdalih harus terus meningkatkan pendapatan negara demi membiayai pembangunan. Maklum, utang sudah menumpuk dan APBN selalu mengalami defisit. Sementara sumber-sumber pemasukan di luar pajak tak bisa diharapkan.

Maka tagar #PajakKitaUntukKita pun benar-benar jadi andalan. Siapa pun tahu, kondisi keuangan negara memang sangat memprihatinkan. Dari waktu ke waktu jumlah utang pemerintah kian tak bisa dikendalikan. Per April 2021 saja Kementerian Keuangan mencatat jumlahnya sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun.

Pemerintah sendiri berdalih situasi pandemi membuat beban APBN bertambah berat. Inilah yang mendorong pemerintah mencari cara mudah untuk menambal kebutuhan. Tak lain dan tak bukan, adalah dengan menggenjot penerimaan pajak yang memang belum mencapai target.

Sebelumnya, Pemerintah sendiri telah menetapkan target penerimaan APBN dari pajak sepanjang tahun ini sebesar Rp1.229,6 triliun. Namun Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak pada April 2021 baru sebesar Rp374,9 triliun atau 30,5 persen. Artinya, memang ada legitimasi hukum bagi pemerintah untuk terus menggenjot penerimaan pajak.

Meski konsekuensinya, rakyat yang harus terus dikorbankan. Masalahnya, dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang dianut negara, pajak memang merupakan penopang utama APBN di samping pendapatan nonpajak. Bahkan, proporsi penerimaan dari pajak biasanya ditarget jauh lebih tinggi dibanding penerimaan negara dari nonpajak.

Itulah kenapa, di negeri ini berbagai hal niscaya dijadikan objek pajak. Mulai dari penghasilan, penjualan, pertambahan nilai, bumi dan bangunan, kendaraan, parkir, bea balik nama, penerangan jalan umum, transaksi elektronik, dan lain-lain.

Baca juga: Kado Polri Terindah untuk Anak dan Ibu Indonesia di Hari Bhayangkara

Dalam pandangan Islam, pajak memang diniscayakan, tetapi tidak dalam setiap keadaan, melainkan hanya temporer dalam kondisi kas negara kosong. Itu pun hanya dipungut pada warga negara yang kaya saja. dalam sistem keuangan Islam, pajak pun tak dihitung sebagai sumber utama atau tulang punggung penerimaan APBN atau baitul mal.

Jatuhnya bisa haram jika dipungut tidak sesuai ketentuan syariat, apalagi hingga membebani rakyat. Dalam ketetapan syariat, sumber-sumber penerimaan negara cukup banyak. Yakni dari sumber kepemilikan individu, seperti hibah, sedekah, atau zakat. Meski untuk zakat ada ketetapan khusus untuk pengelolaannya.

Juga dari kepemilikan umum berupa sumber-sumber tambang yang depositnya tak terbatas, migas, hutan, dan lain-lain. Dan bagi Indonesia potensi ini jelas jumlahnya fantastis, sayangnya salah pengelolaan akibat sistem kapitalisme yang meniscayakan privatisasi dalam jenis kepemilikan ini.

Berikutnya adalah kepemilikan negara seperti dari jizyah, kharaj, usyur, fai, ganimah, dan lain-lain. Jika semua sumber penerimaan ini bisa dihimpun, potensinya akan luar biasa besar. Dari sumber-sumber yang banyak inilah sejatinya negara akan punya modal besar untuk menyejahterakan rakyatnya.

Sehingga tak perlu terjerumus dalam utang riba yang menjerat, apalagi mencekik rakyat dengan pajak.

Memang tidak mudah mengubah keadaan hari ini menjadi sesuai dengan Islam. Mengingat sistem yang tegak sekarang bukanlah sistem Islam.

Butuh ada perubahan mendasar dan paradigmatis dari sistem yang ditegakkan, dan itu butuh perjuangan serius berlandaskan kesadaran. Adapun perubahan sistem yang dimaksud adalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme neoliberal yang menghalangi negara mendapatkan sumber-sumber modal untuk menyejahterakan rakyatnya.  

Di sinilah urgensi dakwah dengan Islam kaffah. Agar umat memahami bahwa hanya Islam yang mereka butuhkan. Karena Islam ternyata mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, di antaranya melalui sistem ekonomi dan keuangan Islam.

Allah Swt. berfirman, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (QS Al-Anfal: 24).

Jadi dalam sistem Islam tidak ada sejarah yang mencatat bahwa didapatkan perekonomiannya negara lemah atau mengalami defisit APBN, justru dalam sejarah mencatat APBN negara selalu surplus.

Sebagaimana kekhilafahan yang dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid. Meskipun dalam kondisi negara terkena wabah sekalipun, ekonomi negara cepat dipulihkan sebagaimana yang terjadi dalam kepemimpinan Umar bin Khattab. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga