Sejumlah NGO di Jakarta Sayangkan Dugaan Praktik Penyiksaan Dilakukan Anggota Polisi
Marwan Azis, telisik indonesia
Rabu, 12 Agustus 2020
0 dilihat
Staf Pembela HAM Kontras, Andi Muhammad Rezaldy (kanan) dan Pengacara Publik LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari (kiri) Foto: Ist.
" Kami memandang, Polisi selama ini belum memiliki komitmen dan kemauan serius dalam menyelesaikan kasus-kasus penyiksaan yang kerap dilakukan anggotanya. Sehingga dapat disimpulkan, Institusi Polri hari ini terkesan melindungi para pelaku penyiksaan dan melanggengkan impunitas. "
JAKARTA, TELISIK.ID - Dugaan praktik-praktik penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya yang belakangan ini kerap dilakukan oleh anggota Kepolisian dalam proses penegakan hukum disayangkan sejumlah lembaga NGO di Jakarta.
NGO tersebut adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Imparsial dan Lokataru.
Berdasarkan catatan Kontras dalam 5 bulan terakhir, medio April-Agustus 2020 yang dipaparkan Andi Muhammad Rezaldy dari Kontras mengungkapkan, ada 13 orang yang menjadi korban dari lima peristiwa kasus diterima Kontras.
Adapun lima kasus praktik penyiksaan tersebut diungkapkan Andi, antara lain pertama, dugaan praktik penyiksaan dalam kasus penangkapan di Tanggerang, di mana pada 9 April 2020, sekitar 10 orang Polisi dari Polres Tangerang yang ketika itu tidak menggunakan seragam datang menemui Muhammad Riski Riyanto (21) dan Rio Imanuel Adolof (23).
Saat diminta menunjukan surat penangkapan dan surat tugas, anggota Kepolisian hanya menunjukan surat tugas bulanan, sedangkan korban diduga diintimidasi dengan senjata laras panjang.
Selain itu, kepala korban juga dipukul menggunakan helm sebanyak dua kali. Kemudian setelah dibawa, korban dipukul, ditendang, diborgol pakai kabel tie hingga darah membeku dan tangan membengkak. Lebih lanjut, kedua korban dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala kedua korban dibungkus dengan plastik hingga tidak dapat sadarkan diri.
Terkait dengan peristiwa tersebut, Kontras dan LBH Jakarta telah melaporkan peristiwa tersebut, namun belum mendepatkan perkembangan terkait dengan laporan tersebut.
Kedua, kasus penagkapan terhadap 9 orang pemuda Desa Batu Cermin, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 11 April 2020, di mana para pemuda tersebut didatangi oleh sejumlah anggota Polres Manggarai Barat yang sedang berpatroli, pihak Kepolisian kemudian membubarkan sekelompok pemuda tersebut, di mana pada saat proses pembubaran beberapa orang menjelaskan kepada pihak Kepolisian terkait alasan mereka tidak dapat pulang ke rumah masing-masing.
Pihak Kepolisian kemudian langsung mengangkut sekelompok pemuda tersebut ke Polres Manggarai Barat, di mana setelah dibawa ke Polres, para pemuda tersebut kemudian dianiaya oleh beberapa orang anggota Polres hingga mengalami luka-luka, pasca dianiaya berdasarkan informasi yang kami terima, pihak kepolisian mengembalikan para pemuda tersebut ke Pendopo Desa.
Baca juga: Ditetapkan Tersangka, Jerinx SID Resmi Dibui
Ketiga, dugaan kasus penyiksaan terhadap EF (anak dibawa umur). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 26 April 2020. Peristiwa ini berawal ketika terjadi peristiwa pengeroyokan terhadap salah seorang anngota Polri pada tanggal 22 April 2020.
Pasca peristiwa tersebut pada tanggal 26 April 2020, pihak Kepolisian melakukan penangkapan terhadap EF yang diduga mengalami praktik penyiksaan agar korban dipaksa mengakui tindakan pengeroyokan tersebut, namun belakangan diketahui bahwa pelaku pengeroyokan terhadap salah seorang anggota Kepolisan tersebut bukanlah EF.
Terkait dengan peristiwa dugaan praktik penyiksaan tersebut, keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak Kepolisian, namun hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti, sementara terkait dengan kasus pengeroyokan terhadap salah seorang anggota Polisi dalam peristiwa 22 April 2020 telah masuk proses persidangan.
Keempat, dugaan kasus penyiksaan terhadap Sarpan, peristiwa ini terjadi pada 27 Juli 2020, Sarpan (57), seorang saksi peristiwa pembunuhan, ditangkap dan ditahan oleh petugas Polsek Percut Sei Tuan terkait dengan tuduhan tindak pidana pembunuhan terhadap Alm.
DS sejak tanggal 2 Juli-5 Juli 2020. Diduga selama proses penyidikan dan penahanan tersebut, korban mengalami praktik-praktik penyiksaan berupa pemukulan dan intimidasi agar korban mengakui tindak pidana yang disangkakan tersebut, yang mana akibat dari dugaan praktik penyiksaan tersebut, korban mengalami luka-luka pada bagian wajah dan sekujur tubuhnya.
Kelima, pada 6 Agustus 2020, di Belakang Padang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau terjadi dugaan penyiksaan yang dialami Henry Alfree Bakari (38).
Ketika itu korban sedang berada di kelong ikan, kemudian datang beberapa anggota kepolisian melakukan penangkapan tanpa dilengkapi surat penangkapan.
Keesokan harinya 7 Agustus, Polisi dari kesatuan Polresta Balerang datang ke rumah korban untuk dilakukan penggeledahan. Saat dilakukan upaya paksa tersebut, keluarga korban melihat wajah Henry tampak lebam dan memar, kemudian dari kesaksian warga, Henry saat itu tampak terlihat lemas, berjalan pincang dan mengeluh kehausan.
Pada 8 Agustus, diketahui Henry meninggal dunia dengan luka lebam yang membekas di sekujur tubuhnya.
“Berdasarkan fakta-fakta yang kami temukan terhadap lima kasus di atas, kami mencatat bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan praktik-praktik penyiksaan masih terjadi di Indonesia, kami berpendapat praktik-praktik penyiksaan masih kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman atau sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka,” kata Andi Muhammad Rezaldy dari Kontras kepada Telisik.id di Jakarta, Rabu (12/8/2020).
Baca juga: Sebelum Staf KPU Yahukimo Dibunuh, Pelaku Katakan: Kamu Indonesia Ya
Selain itu kata Andi, faktor lainnya ialah Polisi yang terindikasi melakukan penyiksaan minim diberi sanksi tegas, sering kali proses melakukan penghukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya berhenti pada proses disiplin/etik. Padahal penyiksaan merupakan tindakan kejahatan yang harusnya penyidik melakukan pemeriksaan secara pidana terhadap para terduga pelaku dan atasan hukumnya.
“Kami memandang, Polisi selama ini belum memiliki komitmen dan kemauan serius dalam menyelesaikan kasus-kasus penyiksaan yang kerap dilakukan anggotanya. Sehingga dapat disimpulkan, Institusi Polri hari ini terkesan melindungi para pelaku penyiksaan dan melanggengkan impunitas,” ujarnya.
Anggota LBH Jakarta, Shaleh Al-Ghifari menilai, tindakan anggota Polri yang kerap melakukan penyiksaan merupakan sebuah bentuk pelanggaran baik pelanggaran terhadap aturan internal di Kepolisian maupun sejumlah peraturan perundang-undangan.
Seperti Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Berdasarkan kejadian tersebut, Komisi Kontras, LBH Jakarta, Imparsial dan Lokataru mendesak Kapolri selaku pimpinan tertinggi menyelesaikan problem praktik penyiksaan di tubuh Kepolisian secara serius dengan menindak anggotanya yang melakukan tindak penyiksaan.
“Penindakan terhadap anggota yang melakukan penyiksaan tidak boleh berhenti pada proses etik/disiplin tetapi juga harus berlanjut pada proses pertanggungjawaban pidananya,” kata Hussein Ahmad dari Imparsial.
Kapolri juga diminta harus memastikan seluruh jajarannya membuka akses dan menindaklanjuti laporan korban dan keluarga korban penyiksaan. Bahwa proses ini tidak menutup kewajiban dari penyidik untuk aktif melakukan penyelidikan/penyidikan atas dugaan penyiksaan sebab penyiksaan merupakan bukan delik aduan.
Sementara Lembaga-lembaga yang tergabung dalam NPM (Komnas HAM, Ombudsman, Komnas Perempuan, LPSK dan KPAI) diminta lebih berperan aktif guna melakukan pencegahan dan pengawasan terkait dengan masih adanya praktik-praktik penyiksaan dalam proses penegakan hukum serta menjalankan fungsi dan kewenagannya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan masing-masing lembaga.
Lembaga pengawas Kepolisian, baik internal seperti Itwasum, Itwasda serta Propam dan eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional, diminta lebih proaktif melakukan proses pengawasan dan pemantuan terkait dengan kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh anggota-anggota Kepolisian.
Terakhir, mereka mendesak Presiden Jokowi melalui Menteri Luar Negeri meratifikasi Optional Protocol Convention Against Tortutre (OPCAT). Serta mendorong dibentuknya Undang-Undang Tentang Penyiksaan.
Reporter: Marwan Azis
Editor: Kardin