TKA Datang, Peluang Bebas Kerja Rakyat Lokal?

Eka Dwi Novitasari, telisik indonesia
Minggu, 05 Juli 2020
0 dilihat
TKA Datang, Peluang Bebas Kerja Rakyat Lokal?
Eka Dwi Novitasari, S.Pd, Praktisi Pendidikan. Foto: Ist.

" No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Begitu perumpamaan yang bisa menggambarkan kondisi rakyat. Sangat disayangkan ini bisa terjadi, padahal di tengah pandemi begini rakyat butuh makan agar bisa berlanjut hidup. "

Oleh: Eka Dwi Novitasari, S.Pd

Praktisi Pendidikan

Sejak new normal ditetapkan dari awal Juni lalu, seluruh aktivitas berubah. Awalnya bekerja dan beraktivitas di rumah, kini banyak pekerja kembali bekerja di kantor. Bersamaan dengan itu, tempat-tempat wisata kembali dibuka, mall dan pasar ramai kembali.

Bahkan perusahaan-perusahaan yang dulu sempat mangkrak, kini kembali melebarkan sayapnya. Seperti dua perusahaan besar swasta di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT. Obsidian Stainless Steel (OSS). Kedua perusahaan ini memang membutuhkan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) sebagai tenaga ahli.

Gubernur Sultra, Ali Mazi meyakini kehadiran TKA tersebut dapat menyerap sekiranya 2.500 tenaga kerja lokal di Sultra. Ribuan tenaga kerja lokal akan bekerja mendampingi tenaga ahli dari China (kendaripos.co.id, 15/06/20).

Senada, Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas menyatakan pendirian perusahaan tersebut memang implementasi dari instruksi presiden (Inpres) nomor 1 tentang proyek strategis nasional, maka dengan mendatangkan TKA dari China sebagai tenaga ahli merupakan bagian dari menyukseskan proyek tersebut. Dengan syarat harus memperhatikan dan memprioritaskan pekerja lokal (detiksultra.com, 27/06/20).

Meski begitu, ternyata sebagai pekerja lokal, untuk dapat bekerja di dua perusahaan tersebut harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Pekerja harus membayar 2 juta hingga 5 juta rupiah (inikatasultra.com, 25/06/20).

Rakyat Dipalak, Dimana Negara?

Sedari awal, kedatangan TKA China ke wilayah Sultra sudah menuai banyak kritikan. Betapa tidak, di tengah besarnya gelombang PHK, pemutusan kontrak kerja hingga pekerja dirumahkan akibat pandemi, justru pemerintah mengambil langkah kongkrit dengan mendatangkan TKA.

Baca juga: COVID-19: Inovasi Produk di Era Akselerasi

Meski sebagian kalangan menilai positif akan hal ini dengan dalih mampu menyerap pekerja lokal, faktanya bekerja di dua perusahaan itu tidak gratis. Dengan perekrutan yang ketat, tetap saja untuk dapat lolos bekerja, calon pekerja dimintai "pelicin."

Ditambah lagi pekerja yang diloloskan diberikan posisi sebagai tenaga operator dan administrasi, sesuai kualifikasi yang dibutuh perusahaan (inikatasultra.com, 21/06/20). Tenaga ahli hanya dipegang oleh TKA yang sudah didatangkan dari China.

No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Begitu perumpamaan yang bisa menggambarkan kondisi rakyat. Sangat disayangkan ini bisa terjadi, padahal di tengah pandemi begini rakyat butuh makan agar bisa berlanjut hidup.

Dengan dibukanya perusahaan agaknya bisa menjadi solusi atas persoalan rakyat, rakyat bisa berbondong bekerja. Tapi lagi-lagi, rakyat dibiarkan bertarung sendirian.

Ini membuktikan negara masih disetir oleh asing. Sebab investasi, TKA harus didatangkan. Alih-alih membangun daerah, justru merampas hak rakyat.

Meski imbas kedatangan TKA katanya mampu menyerap pekerja lokal. Tapi faktanya pekerja lokal justru ditodong dengan uang "pelicin" untuk tiket masuk perusahaan.

Kebiasaan palak memalak sepertinya sudah jadi tradisi. Inilah yang terjadi jika sistem kapitalisme masih mencengkram. Dalam sistem negara kapitalis, hubungan negara dan rakyat hanya atas untung dan rugi. Rakyat dibutuh jika memang dengannya ada untung didapat.

Dengan kedatangan TKA dinilai mampu mengurangi pengangguran, sebab banyak rakyat lokal yang akan dipekerjakan nantinya. Faktanya untuk masuk menjadi pekerja saja harus bayar. Ini menunjukkan negara seakan hanya regulator, sementara rakyat dibiarkan mengurus sendiri kebutuhannya.

Islam, penjamin tuntas hidup rakyat. Lain sistem tentu lain perlakuan. Kapitalisme mengabaikan rakyat. Berbeda dengan Islam, yang begitu memperhatikan rakyat. Jika kapitalisme bebas bekerja dan peroleh kehidupan layak bagai mimpi di siang bolong, maka dalam Islam semuanya adalah kenyataan, bukan lagi mimpi.

Sejarah membuktikan bahwa Islam mampu memberikan kehidupan yang layak bagi rakyat. Seperti di masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, sampai-sampai tak ada yang mau menerima zakat, sebab seluruh kebutuhan rakyat benar-benar terpenuhi.

Ini bisa terjadi sebab tak lepas dari paradigma negara adalah pengurus urusan rakyat. Sabda Nabi: "Imam (khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Baca juga: Benarkah Langkah Gubernur Sultra? 500 TKA dalam Perspektif Hukum, SDM, Ekonomi dan COVID-19

Negara Islam tidak anti dengan investasi, namun tidak juga membuka pintu lebar-lebar kepada investor asing. Hubungan luar negeri dalam sistem Islam mengatur warga asing baik kafir harbi fi'lan juga harbi hukman.

Bagi warga asing kafir yang terang-terangan memerangi Islam (harbi fi’lan) misal seperti China, Rusia, AS, atau Israel, keberadaan mereka di wilayah negara islam(daulah) hanya boleh datang untuk belajar bukan berdagang atau bekerja. Sedang warga asing yang tidak terlibat langsung dalam memerangi Islam dan kaum Muslim (kafir harbi hukman), baik yang terikat perjanjian ataupun tidak, seperti Jepang atau Korea, maka boleh beraktivitas di dalam negara dengan tetap memperhatikan rambu-rambu Islam dalam daulah.

Namun, lagi-lagi karena negara adalah pengurus, maka negara tidak menjadikan investasi sebagai pemasukan utama. Negara Islam mampu mandiri dengan baitul maalnya, sebagai kas negara.

Selain itu, negara yang menerapkan Islam tidak pernah memalak rakyat. Pajak benar-benar menjadi opsi terakhir jika memang terjadi kekosongan pada baitul maal.

Saat terjadi bencana seperti wabah, fungsi negara merangkap sekaligus memitigasi bencana. Negara berupaya semaksimal mungkin meminimalisir resikonya dan tak lupa memastikan kebutuhan rakyat tetap terpenuhi.

Demikianlah pengaturan Islam kepada rakyat. Islam tentu jauh berbeda dengan kapitalisme. Paradigma sistem kapitalisme dibangun atas prinsip untung rugi, nafsu akan harta, sedang sistem Islam bergerak atas dorongan wahyu dari pencipta segala sesuatu, Allah SWT. Tidak mungkin salah jika berasal dari-Nya.

Olehnya itu, perwujudan kebutuhan rakyat jelas akan terpenuhi jika mengambil Islam sebagai aturan. Bukan kapitalisme yang nyata-nyata menyiksa rakyat. Sudah saatnya rakyat beralih kepada solusi yang pasti lebih baik, ialah sistem Islam.

Allah berfirman: "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah:50). Wallahu a'lam bishshowab. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga