Gabungkan Ekonomi Kapitalis dan Sosialis, Prabowo Dikritik Ekonom
Reporter
Jumat, 01 September 2023 / 6:45 pm
JAKARTA, TELISIK.ID - Bakal capres Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra mengenalkan ekonomi Pancasila sebagai eknomi jalan tengah kepada kader-kader Partai Golkar di Golkar Institute, Jakarta, Kamis (31/8/2023) sore.
Kehadiran Prabowo ke Golkar Institute di kantor DPP Partai Golkar itu diterima oleh Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan mantan Ketum Aburizal Bakrie. Dalam kesempatan itu, Prabowo mengenalkan 10 fokus kebijakan menuju Indonesia emas.
Sepuluh kebijakan yang dimaksud yakni ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan air, pengentasan kemiskinan, kesehatan dan farmasi, pendidikan, sains, dan teknologi, pertahanan, industrialisasi, reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta transformasi keuangan negara.
Prabowo menyampaikan, sekarang jangan hanya membicarakan gagasan-gagasan besar. “Sekarang harus rencana, pelaksanaan. Pak Jokowi sudah meletakkan dasar ekonomi Pancasila,” ujar Ketum Partai Gerindra ini.
Ekonomi Pancasila, menurut Prabowo, merupakan gabungan terbaik dari sistem ekonomi kapitalisme dan yang terbaik dari sistem ekonomi sosialisme. Penggabungan itu dianggap sebagai sistem ekonomi jalan tengah oleh para pendiri bangsa.
Baca Juga: Persiapan Deklarasi Anies-Imin, Pengurus PKB se-Indonesia Gelar Pertemuan di Surabaya
Dia menilai, tidak bisa hanya menerapkan kapitalisme murni, di mana yang kaya tambah kaya, sedangkan yang miskin ketinggalan. Begitu pun dengan sosialisme murni, Prabowo mengatakan sulit untuk diterapkan. Jika menerapkan sosialisme murni, orang yang tidak kerja dan yang kerja disamaratakan, tidak ada inisiatif, tidak ada inovasi, tidak ada kebebasan.
“Jadi yang dijalankan harus ekonomi gabungan, mix ekonomi, (sebagai) jalan tengah. Yang terbaik dari kapitalisme, terbaik dari sosialis, itulah ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang tidak ragu-ragu untuk intervensi membantu rakyat yang paling lemah,” papar Ketua Umum Partai Gerindra yang juga sebagai Menteri Pertahanan RI ini.
Menanggapi gagasan Prabowo untuk menggabungkan sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi sosialisme sebagai jalan tengah dalam menerapkan sistem ekonomi Pancasila, ekonom Piter Redjalam Abdullah menilai, harus dijabarkan apa saja yang terbaik dari kedua sistem ekonomi tersebut. Begitu pun dengan kelemahan-kelemahannya.
“Sebenarnya saya tidak menyebutkan semua sistem (ekonomi) itu baik, kenyatannya akan seperti itu. Di setiap sistem ada baik buruknya, cuma tidak bisa juga kita sebutkan udah kita ambil yang ini baiknya. Plus minum dalam sebuah sistem itu tidak bisa kita ambil begitu saja karena itu melekat pada sistemnya,” ujar Piter kepada Telisik.id, Jumat (1/9/2023).
Sistem ekonomi Pancasila, menurut Piter, harus didefinisikan terlebih dulu tentang apa itu sistem ekonomi Pancasila? Sampai sekarang ini dianggap sebagai kelemahan karena tidak bisa merumuskan sistem ekonomi Pancasila secara lebih tepat. Sehingga dari sisi ekonomi itu bisa menunjukkan benar-benar perbedaan sistem ekonomi Pancasila dengan sistem ekonomi lainnya.
Piter mengingatkan, para founding fathers bangsa sudah menuangkan sistem ekonomi Pancasila pada pasal 33 UUD 1945. Konstitusi negara sudah mencoba mengkompromikan sistem ekonomi liberal dengan sistem ekonomi sosialis.
“Ciri ekonomi sosialis tidak mengenal kepemilikan pribadi, sementara yang liberal itu sebebas-bebasnya. Persoalan kita ini bukan pada sistemnya, tapi penerapannya,” tegas Direktur Eksekutif Segara Research Institute ini.
Mau bagaimana pun kita punya sistem ekonomi, kata Piter, tapi kalau penerapannya tidak benar, ya sama aja. Dia kemudian mencontohkan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada semua sistem ekonomi yang diterapkan di masing-masing negara.
“Mau kita bikin sistem ekonomi seperti apa kalau korupsinya masih ada, ya gak maju-maju juga. Penyakit ekonomi itulah yang utama jadi sorotan kita,” ujarnya.
Piter lagi-lagi mengingatkan, rujukan UUD 1945 pasal 33 dan itu harus dilaksanakan. Mau dilabelin sistem ekonomi Pancasila boleh, asalkan bisa mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia.
“Ekonomi Pancasila itu bukan jargon, tapi tindakan. Yang perlu itu bukan sekadar omongin ekonomi Pancasila, tapi turunan dari apa yang disebut ekonomi Pancasila. Itu yang kita butuhkan,” tandasnya.
Di dalam teori ekonomi itu, kata Piter, tidak ada ekonomi Pancasila. “Itu kan wacana yang dicetuskan oleh Pak Mubyarto. Itu masih dalam bentuk wacana sekali. Yang kita tunggu itu mana penjabarannya dan bagaimana menerapkannya,” kata Piter.
Prof Dr Mubyarto (3 September 1938-24 Mei 2005) adalah pakar ekonomi kerakyatan Indonesia yang mengajar di UGM dan dikenal sebagai penggagas konsep ekonomi Pancasila. Konsepnya yang sangat normatif dinilai sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia meskipun dikembangkan dari dasar negara Indonesia yakni Pancasila.
Baca Juga: Politik jadi Arena Menarik Generasi Milenial
Gagasan untuk menerapkan ekonomi Pancasila oleh Prabowo juga mendapat tanggapan dari ekonom Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Syamsul Anam Ilahi. Dia mengatakan, fatsun ekonomi Indonesia adalah ‘gotong royong’ yang sudah mengakar sejak dulu. Namun, bentuk pelembagaan ekonomi atas fatsun ini yakni koperasi yang konteks riil ekonominya di Indonesia masih kembang kempis.
“Meski demikian beberapa pasal dalam konstitusi ekonomi kita telah memberi kode perihal bagaimana ekonomi Indonesia harus dikelola, terutama berkaitan dengan aset-aset penting yang keberadaannya menguasai hajat hidup orang banyak. Secara tegas konstitusi kita menyebut diatur oleh negara,” jelasnya.
Senada dengan Piter, Syamsul juga menyebut, saat ini tidak ada satupun negara yang masih setia dengan ideologi ekonomi merek. “Kini ideologi negara-negara di dunia adalah national interest (kepentingan nasional) masing-masing negara,” tambahnya.
Saat ini, menurut Syamsul, yang dibutuhkan Indonesia adalah daya guna aset-aset strategis bagi maslahat sebesar besarnya warga negara Indonesia. Seluruh dunia kini menggunakan template ekonomi dan bukan lagi ideologi untuk menghadapi perubahan cepat perekonomian global.
“Tak ada lagi ideologi kiri, tengah dan kanan. Cara pandang itu sudah usang. Template itu berisi fair, moderat, dan hard policy yang ukuran utamanya adalah national interest,” papar Syamsul. (A)
Reporter: Mustaqim
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS