Gugurkah Shalat Jumat Jika Bertepatan dengan Hari Raya?

Fitrah Nugraha

Reporter

Rabu, 29 Juli 2020  /  4:35 pm

Ilustrasi shalat berjamaah. Foto: Repro google.com

KENDARI, TELISIK.ID - Hari raya Idul Adha tahun ini bertepatan pada hari Jumat (31/7/2020). Sehingga, di hari tersebut kaum muslim bakal mendengarkan khutbah sebanyak dua kali di waktu yang berbeda.

Lantas, apakah kewajiban Shalat Jumat menjadi gugur karena telah melaksanakan salat Ied pagi hari yang di dalamnya juga terdapat khutbah?

Berikut penjelasan Pimpinan Majelis Sholawat Al Barokah Kota Kendari, Ustaz Firdaus Madanua.

Menurut Ustaz Firdaus, perkara apakah Shalat Jumat gugur atau tidak ketika bertepatan hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha memang terjadi perbedaan di antara Imam Madzhab.

Masalah ini kata dia, telah dijelaskan secara detail oleh para ulama dan ahli hadits dan fiqih, seperti yang diterangkan oleh Pimpinan Mahad Khadimus Sunnah dan Pengajar Ilmu Hadits di Kota Bandung, Ustaz Yuana Ryan Tresna.

Di mana dalam penjelasannya, perbedaan pendapat antara Imam-imam Madzhab dalam masalah ini, terletak pada aspek penggalian masing-masing pada Hadits Nabi yang menerangkan tentang pada hari itu terjadi dua hari raya (Yaumul Jumat dan Yaumul Ied), maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mempersilahkan bagi orang-orang yang telah menunaikan salat Ied, jika ia menghendaki untuk tidak mengikuti Shalat Jumat.

Baca juga: Besok, Raih Kemuliaan dengan Puasa Arafah

Pertanyaannya sekarang, siapa yang dimaksud dengan orang yang menghendaki tersebut? Apakah ditujukan kepada semua hadirin yang melaksanakan Shalat Ied atau ditujukan kepada sebagian hadirin?

Mengenai hal ini, Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab al-'Umm, dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Ma’rifat al-Sunani wa al-Atsar bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ia berkata yang artinya, telah berhimpun dua hari atas pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia bersabda, “Barang siapa yang suka untuk duduk (tidak Shalat Jumat) bagi Ahlul ‘Aliyah (penduduk desa/pedalaman), maka tetaplah duduk tanpa menanggung dosa".

Selain itu, hadits Dari Abu Ubaid, ia berkata, "Aku menyaksikan Shalat Ied bersama Sayyidina Utsman bin Affan, beliau datang kemudian shalat, lalu ia pindah dan berkhutbah, ia berkata, “Sesungguhnya telah berkumpul bagi kalian pada hari ini yaitu dua hari raya, maka barang siapa dari Ahlul Aliyah (penduduk desa/pedalaman) yang suka untuk menunggu Shalat Jumat maka menunggulah, dan barang siapa yang ingin kembali (ke desanya), maka kembalilah, sungguh aku mengizinkannya”.

Pada ke dua riwayat tersebut bisa dipahami bahwa, pemberian Rukhsah atau dispensasi untuk tidak melaksanakan shalat itu tidak ditujukan kepada semua orang yang hadir, akan tetapi hanya ditujukan kepada Ahlul Aliyah (penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat Ied).

Kemudian di dalam kitab Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar disebutkan juga bahwa Imam Syafi’i berkata di dalam satu riwayat Abu Sa’id, “Tidak boleh ini diterapkan pada seorang penduduk kota dan hadits harus dibawa atas pengertian bagi orang yang hadir Shalat Ied dari selain penduduk kota, mereka boleh kembali/pulang ke desa mereka jika mereka mau dan tidak kembali (ke kota/masjid) untuk Shalat Jumat dan sebuah pilihan bagi mereka untuk tetap bertahan hingga Shalat Jumat jika mereka mampu”.

Lebih jelas lagi, Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muhadzdzab menerangkan yang artinya, apabila hari raya betepatan dengan hari Jumat, maka penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat Ied yang telah hadir untuk melaksanakan Shalat Ied boleh kembali ke kampungnya, tidak perlu mengikuti Shalat Jumat.

Baca juga: Berkurban, Keluarga yang Terdaftar Juga Tak Boleh Bercukur dan Potong Kuku?

Diriwayatkan dari Sayyidina Utsman Radhiyallahu Anhu, bekata dalam khutbahnya, "Wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat Shalat Ied ini menghendaki ikut Shalat Jumat, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang."

Terhadap kata-kata Sayyidina Utsman ini tidak seorang pun sahabat yang mengingkarinya. Kata “Al-sawad” artinya adalah penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar (Al-aliyah).

Sementara itu, Imam Jauhari mengatakan yaitu kawasan pegunungan di atas Kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Makkah, Hijaz dan sekitarnya. Imam Syafi’i bekata, "Tidak boleh meninggalkan Shalat Jumat bagi salah seorang penduduk kota kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak Shalat Jumat, walaupun bertepatan dengan hari raya."

Imam Nawawi di dalam kitab Raudhah al-Thalibin juga mengatakan, “Ketika hari raya bersamaan dengan hari Jumat, penduduk sebuah desa yaitu mereka yang mendengar seruan Shalat Ied dan mereka tahu bahwa jika mereka membubarkan diri (pulang ke rumah setelah Shalat Ied) pasti mereka akan terlambat Shalat Jumat, maka bagi mereka diperkenankan membubarkan diri (meninggalkan masjid dan kembali ke rumah) serta meninggalkan Shalat Jumat pada hari tersebut, berdasarkan pendapat yang shahih yang termaktub secara nash dalam Qaul Qadim dan Jadid. Adapun pendapat yang menyimpang (Syadz) menyatakan, tetap wajib bertahan di masjid”.

"Ringkasnya, pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i adalah Shalat Jumat tidak gugur bagi penduduk suatu wilayah, sedangkan bagi penduduk yang dari desa lain ada rukhshah. Artinya, wajib menghadiri Shalat Jumat, namun boleh tidak menghadiri Shalat Jumat bagi penduduk desa atau penduduk kampung yang menghadiri Shalat Ied dan keluar dari desanya sebelum waktu zawal (sebelum tergelincirnya matahari menjelang waktu zhuhur)," jelasnya.

Adapun pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, juga mewajibkan menghadiri Shalat Jumat bagi orang yang menyaksikan Ied (baik penduduk kota ataupun orang desa).  Sedangkan pendapat madzhab Hanbali, kewajiban menghadiri Shalat Jumat adalah gugur bagi orang yang menghadiri Shalat Ied dan dia wajib melaksanakan Shalat Zhuhur, namun yang lebih utama adalah menghadiri Shalat Jumat demi keluar dari khilaf (perbedaan pendapat ulama).

Reporter: Fitrah Nugraha

Editor: Kardin