Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Pandangan Islam, Ini Kata UAS
Content Creator
Sabtu, 28 Desember 2024 / 11:06 am
KENDARI, TELISIK.ID - Perayaan Tahun Baru Masehi menjadi momen yang dinantikan banyak orang. Namun, bagi umat Islam, hukum merayakannya seringkali menjadi perdebatan.
Kebiasaan bergadang, meniup terompet, dan bakar-bakar ayam telah menjadi tradisi yang melekat dalam perayaan tahun baru, melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa merayakan Tahun Baru Masehi adalah haram. Alasannya, perayaan ini dianggap sebagai tradisi non-Islam yang tidak memiliki dasar dalam syariat, sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW.
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka" (HR. Abu Dawud, hasan).
Selain itu, perayaan seringkali diidentikkan dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti pesta pora dan perbuatan maksiat.
Ustaz Abdul Somad, sosok yang dikenal luas dalam dunia dakwah, telah menyampaikan pandangannya mengenai perayaan malam tahun baru, dikutip dari okezone.com, Jumat (27/12/2024).
Baca Juga: Hati-hati, Perbuatan Halal tapi Paling Dibenci Allah
Menurut Ustaz Abdul Somad, kebiasaan meniup terompet saat pergantian tahun memiliki kaitan dengan tradisi Rosh Hashanah dalam agama Yahudi. Dalam perayaan tersebut, umat Yahudi meniup shofar sebagai simbol permulaan tahun baru.
"Itu perjanjian lama. Maka, jangan kasih anak-anak tiup terompet," ujar UAS.
Ustaz Abdul Somad menyarankan agar malam tahun baru, tepatnya tanggal 31 Desember, dimanfaatkan untuk melakukan muhasabah atau evaluasi diri.
"Kalau tidak muhasabah, habis Isya baiknya tidur. Jangan kalian ikut (merayakan tahun baru dengan tiup terompet atau sebagainya)," ujarnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan imbauan agar malam pergantian tahun dimanfaatkan untuk melakukan muhasabah atau evaluasi diri.
Dalam ceramahnya, Abdul Somad menyinggung sejarah panjang penggunaan kalender Masehi di berbagai belahan dunia, termasuk tanah air kita.
Menurut Abdul Somad, kalender Masehi pertama kali diperkenalkan oleh Julius Caesar, seorang kaisar Romawi. Setiap bulan dalam kalender tersebut, kata beliau, memiliki makna filosofis yang mendalam.
"Setiap bulan ada maknanya, Kaisar Agustinus dibuat Agustus, ada patung kepalanya dua, namanya patung Januari. Kenapa Januari dibuat awal, karena kepalaya dua, menghadap ke sana 2017, menghadap ke sana 2018," kata dia, seperti dilansir dari suara.com jaringan telisik.id, Jumat (27/12/2024).
UAS menjelaskan bahwa setelah wafatnya Kaisar Julius Caesar, kalender Julian mengalami perubahan. Paus Gregorius XIII kemudian mengambil alih dan memperbaiki kalender tersebut, yang kemudian dikenal sebagai kalender Gregorian. Kalender inilah yang kemudian diakui secara internasional oleh PBB.
"Yang dulunya kerajaan Islam di Gowa di Sumatera, Jawa, memakai kalender hijriah Nabi Muhammad SAW, untuk diseragamkan di seluruh dunia, Indonesia masuk anggota PBB dikirimilah kalender itu, maka Abdul Somad pun memakai kalender itu," ujarnya.
Baca Juga: Doa dan Amalan Sunah Ketika Turun Hujan, Bisa Diamalkan
UAS berpendapat bahwa umat Islam diperbolehkan menggunakan alat-alat yang dibuat oleh non-Muslim, termasuk kalender Masehi. Namun, beliau mengingatkan agar kita tidak terjerumus dalam mengikuti ritual atau ibadah non-Muslim.
"Tapi ketika sudah masuk dalam ritual, ibadah, meniup terompet, itu sudah masuk dalam ritual. Menyalakan lilin itu ritual, apalagi membuang waktu. Apalagi sampai membawa anak gadis orang bukan mahram," paparnya.
Sebagai alternatif, beliau menyarankan umat Islam untuk menghabiskan malam tahun baru dengan beribadah di masjid.
Beliau menganjurkan agar jamaah memanfaatkan malam tahun baru dengan beriktikaf di masjid, terutama jika ada acara zikir yang diselenggarakan. (C)
Penulis: Merdiyanto
Editor: Fitrah Nugraha
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS