Indonesia Ajak China Garap Harta Karun Super Langka
Reporter
Jumat, 10 September 2021 / 11:12 am
JAKARTA, TELISIK.ID - Indonesia dianugerahi harta karun super langka yang banyak diincar dunia karena manfaatnya yang luar biasa di era modern saat ini.
Harta karun super langka ini bernama logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element. Sederet manfaat logam tanah jarang ini antara lain mulai dari bahan baku baterai, telepon seluler, komputer, industri elektronika hingga pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB). Lalu, bisa juga untuk bahan baku industri pertahanan hingga kendaraan listrik.
Namun sayangnya, logam tanah jarang di Indonesia belum juga digarap dan dimanfaatkan untuk kepentingan domestik.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono mengatakan, untuk mengeksplorasi logam tanah jarang ini lebih lanjut, pemerintah akan menggandeng negara-negara yang sudah menguasai teknologinya, seperti China.
"Kami di Kementerian ESDM di Badan Geologi sudah buat satu rencana terkait penyelidikan LTJ, baik jangka pendek dan jangka panjang," ungkapnya dilansir CNBC Indonesia, Jumat (10/9/2021).
Dia mengatakan, Badan Geologi punya beberapa kegiatan sebagai upaya mengembangkan LTJ ini, di antaranya eksplorasi, menyediakan informasi keterdapatan sumber LTJ yang bersumber dari berbagai penelitian, pelaku usaha, dan institusi lainnya.
"Juga rencana kerja sama dengan negara-negara yang kuasai teknologi tanah jarang seperti Tiongkok. Di sana ada Badan Geologi sejenis China Geological Survey," ujarnya.
Pemetaan geologi unsur logam yang ada di Sumatera menurutnya sudah dilakukan cukup panjang. Namun, perlu ditingkatkan lagi di daerah lain yang punya potensi logam tanah jarang.
Baca juga: 9 September Hari Olahraga Nasional, Berikut Sejarah dan Tema Tahun Ini
Baca juga: Ini Pesan Presiden Jokowi untuk Pelajar Selama Belajar Tatap Muka
"Di sektor hulu ada tiga, pertama yaitu program rutin penemuan prospek dan status sumber daya agar lebih mendekati akurasi. Kedua, rencana jangka pendek fokus pada mineral ikutan timah dan wilayah yang mungkin diusulkan jadi wilayah pengusahaan logam tanah jarang," paparnya.
Dan terakhir, rencana jangka panjang yakni melakukan penyelidikan di area hijau (green area) dengan masuk ke daerah yang secara regional dan pemahaman geologi kemungkinan akan dijumpai LTJ.
"Ketiga, rencana jangka panjang penyelidikan green area," imbuhnya.
Dikutip dari buku "Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia" Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2019, logam tanah jarang (LTJ) ini merupakan salah satu dari mineral strategis dan termasuk "critical mineral" yang terdiri dari 17 unsur, antara lain scandium (Sc), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu) dan yttrium (Y).
Meskipun demikian, unsur-unsur tersebut sangat sukar untuk ditambang karena konsentrasinya tidak cukup tinggi untuk ditambang secara ekonomis. Ketujuh belas unsur logam ini mempunyai banyak kemiripan sifat dan sering ditemukan bersama-sama dalam satu endapan secara geologi.
Mineral yang mengandung LTJ utama adalah bastnaesit, monasit, xenotim, zirkon, dan apatit. Mineral tersebut merupakan mineral ikutan dari mineral utama seperti timah, emas, bauksit, dan laterit nikel.
Tidak hanya itu, ternyata logam tanah jarang juga berpotensi terdapat pada batu bara.
Adapun cadangan logam tanah jarang terbesar dunia terdapat di China. Selain penyimpan logam tanah jarang terbesar di dunia, China juga merupakan produsen LTJ terbesar di dunia.
Selain China, LTJ juga dijumpai di Amerika Serikat, tepatnya Mountain Pass AS, lalu Olympic Dam di Australia Selatan di mana 1980-an ditemukan cebakan raksasa yang mengandung sejumlah besar unsur-unsur tanah jarang dan uranium. Selain itu, tersebar juga di Rusia, Asia Selatan, Afrika bagian selatan dan Amerika Latin. (C)
Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim
Editor: Haerani Hambali