Mental Pancasila versus Mental Kapitalis

Abd. Rasyid Masri

Penulis

Minggu, 16 Januari 2022  /  11:54 am

Prof. Abd. Rasyid Masri, Akademisi dan Pebisnis. Foto: Ist.

Oleh: Prof. Abd. Rasyid Masri

Akademisi dan Pebisnis

INDONESIA menganut ekonomi Pancasila dengan ciri gotong-royong, persaudaraan, musyawarah mufakat, dan berkeadilan sosial. Sehingga masyarakat Indonesia diharapkan bermental pancasilais, bukan mental kapitalis.

Tetapi realitas keseharian, dalam konteks hubungan sosial dan politik, rasa-rasanya sudah banyak bermental kapitalis. Bermental gaya pikir Adam Smith --tak terkait keluarga Habib Bahar bin Smith, tapi Adam Smith seorang pencetus teori ekonomi pasar bebas, dengan karya terkenal The Wealth of Nations. Bukunya menjadi rujukan para pendekar ilmu ekonomi modern.

Betulkah mental orang Indonesia telah banyak bergeser ke perilaku mental kapitalis? Tentu ukurannya adalah hasil riset. Secara hipotesis ada benarnya. Sekarang mana ada relasi atar masyarakat tidak dengan  kepentingan berorientasi pribadi, kepentingan kelompok dan UUD (ujung-ujungnya duit) keuntungan pribadi, dan kepentingan pribadi (self interes).

Hampir semua hubungan relasi sosial, politik dan kemanusian pun dibisniskan, yang berorientasi keuntungan pribadi. Saudarapun dibisniskan, orang tua pun banyak yang diperkarakan oleh anaknya soal  warisan di pengadilan. Itulah ciri dari mental kapitalis, jauh beda dengan  mental Pancasila yang menganut azas musyawarah mufakat dalam setiap masalah.

Baca Juga: Perilaku Kontroversial Penista Agama

Mental kapitalis tak ada kompromi. Ada uang abang disayang, tak ada uang adik cari yang lain. Kenapa begitu? Karena hubungan dibangun atas dasar kepentingan ekonomi dan politik.

Ciri lain mental kapitalis ‘free competition’. Persaingan bebas dalam politik, persaingan bebas dalam ekonomi, semua bermuara dapat keuntungan sebesar-besarnya. Secara pribadi dan kelompok termasuk orang orang yang teriak keras, saya Pancasila dan saya NKRI, juga tak lepas dari mental kapitalis.

Sekarang harga-harga kebutuhan dasar masyarakat seperti gas, minyak goreng dan lainnya, harganya meroket. Mestinya negara segera hadir melakukan intervensi pasar, tapi dibiarkan terus berjalan lama. Harga terus moroket. Itu ciri ekonomi kapitalis yang menerapkan mekanisme pasar, dengan membiarkan jalan sendiri menentukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Baca Juga: Tak Pas Polri di Bawah Kementerian

Ujung-ujungnya masyarakat yang terjepit dengan harga barang yang mahal. Itulah ciri mental politik ekonomi kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai mandor dan keamanan melihat dari jauh. Kalau sistem ekonomi Pancasila, pemerintah harus hadir mengontrol dan melakukan intervensi pasar dengan cepat, intervensi pasar segera demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Mental kapitalis bukan hanya menjangkiti sistem politik dan ekonomi, tapi juga bidang sosial dan budaya lainnya.

Kalau kita melihat, ada kawan hanya dia atau mereka saja yang mau untung, pelit dalam berbagi, itu sudah terjangkiti penyakit mental kapitalis. Kalau ada kelompok masyarakat, kelompoknya saja yang mau berkuasa, tapi tak mau berbagi, itu juga mental kapitalis. Kalau ada saudara yang ingin warisan lebih banyak dari yang lain, itu juga mental kapitalis.

Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari perilaku mental kapitalis, mental egois, serakah, kikir, dan tak mau berbagi. (*)