Pencaplokan Kolegium: Siapa yang Untung?

Mustaqim

Reporter

Sabtu, 27 Juli 2024  /  10:44 am

Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015. Foto: Ist.

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015

KOLEGIUM atau collegium bukan istilah baru di lingkungan Ikatan Dokter Indonesia. Dalam acara Podcast Kang Hadi Conscience (KHC), 22 Juli 2024, Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, Sp.JP(K), mantan Ketua Kolegium Jantung dan Pembuluh Darah dan Pengurus Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), menyampaikan bahwa perkumpulan ahli bedah Indonesia-lah yang pertama kali membentuk dan memperkenalkan istilah kolegium untuk mengatur pendidikan spesialisasinya, pada Muktamar Ahli Bedah Indonesia (MABI), 1976 di Semarang.

Dalam buku Sewindu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, Sp.B (K) mengatakan bahwa, tahun 1978 tim Pengembangan Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mencetuskan istilah “kolegium” dan disambut baik oleh semua perhimpunan profesi dokter spesialis. Sebelumnya, kelompok spesialis bedah telah membentuk Majelis Penilai Pendidikan Ahli Bedah yang dibentuknya pada MABI 1967, juga di Semarang.  

Selanjutnya, pada MABI 1978 di Medan, Majelis Penilai Pendidikan Ahli Bedah berganti nama menjadi Kolegium. Setelah tahun 1978 kata Kolegium diperkenalkan kepada seluruh perhimpunan profesi dokter spesialis melalui muktamarnya masing-masing. Dengan harapan semua perhimpunan dapat menerima Kolegium sebagai badan baru untuk mengatur pendidikan spesialisasinya.

Kolegium Menurut IDI

Dokter Merdias Almatsier, Sp.S (K), Ketua Umum PB IDI (1997-2000) dan Ketua MKKI yang pertama (2000-2003) dan Ketua Kolegium Neurologi Indonesia (2000-2003), yang ikut Podcast membenarkan apa yang dikemukakan oleh Prof. Harmani. Menurut dr. Merdias menjelang disahkannya UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, DPR, pemerintah, organisasi profesi (IDI dan PDGI)  setuju perlunya suatu Kolegium yang otonom dan independen.  

Persoalannya, tidak ada yang berani membentuk sebab tidak tahu seluk beluknya. Hanya organisasi profesi, secara khusus IDI yang lebih mengetahuinya. Persolan lain, bila ada yang mau membentuk kolegium-kolegium itu, dari mana pendanaannya? Karena itu, semua bersepakat untuk menyerahkan urusan kolegium itu kepada organisasi profesi (IDI dan PDGI). Lagi pula, ketika itu semua perhimpunan spesialis di lingkungan IDI sudah membentuk Kolegium sebagai badan yang akan mengampuh disiplin ilmunya.

Untuk mengkoordinasikan Kolegium, sejak tahun 1998 IDI telah melakukan persiapan pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Dan pada Muktamar IDI tahun 2000 di Malang, MKKI disahkan menjadi salah satu majelis di lingkungan, sederajat dengan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).  

Karena itu bukan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang pertama kali membentuk kolegium, sebagaimana yang sering dikemukakan oleh pihak tertentu. Bukan pula UU Praktik Kedokteran  yang menjadi sebab sehingga para perhimpunan dokter spesialis di lingkungan IDI membentuk Kolegium. UU Praktik Kedokteran hanyalah memperkuat fungsi, tugas, dan kewenangan Kolegium yang sudah terbentuk pada masing-masing perhimpunan dokter spesialis.  

Kolegium adalah badan otonom di lingkungan profesi, yang dibentuk oleh masing-masing cabang disiplin ilmu dan bertugas mengampu disiplin ilmu tersebut. Kolegium bersifat independen dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.

Menurut laporan Ketua MKKI pada Muktamar IDI 2006 di Semarang dan Kompendium MKKI 2016, tugas Kolegium meliputi: (a) menjaga mutu baku pendidikan profesi kedokteran di Indonesia; (b) mengelola pendidikan profesi kedokteran dalam hal ini pendidikan dokter spesialis dan pendidikan dokter subspesialis.

Di lingkungan IDI terdapat 38 perhimpunan dokter spesialis dan satu perhimpunan dokter (dokter umum). Masing-masing perhimpunan dokter spesialis tersebut memiliki Kolegium dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya masing-masing. Demikian pula dokter (dokter umum).

Kolegium dokter spesialis, mempunyai fungsi: (a) penyusunan dan pengembangan standar nasional pendidikan kedokteran termasuk (katalog dan kurikulumnya) kemudian disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI); (b) penyelenggaraan ujian kompetensi (evaluasi) nasional; (c) penerbitan sertifkat kompetensi profesi nasional (sertifikat).

Fungsi berikutnya, (d) penerbitan sertifikat kualifikasi tambahan; (e) pembinaan dan pemantauan penyelenggaraan pendidikan di institusi pendidikan; (f) merekomendasikan dan mengevalusi pembukaan institusi pendidikan baru; (g) menilai kelayakan program studi baru; (h) memfasilitasi akreditasi program pendidikan profesi kedokteran oleh LAM PT Kes, yang dipersiapkan oleh IPDS.

Baca Juga: Dokter Asing dan Indonesia Kita

Sedang kolegium dokter (dokter umum) yang dikenal dengan nama Kolegium Dokter Indonesia (KDI), mempunyai fungsi: (a) pemberian pertimbangan/rekomendasi dalam pembukaan program studi dokter baru, kurikulum program studi dokter, dan penetapan rumah sakit pendidikan; (b) penerbitan sertifikat kemampuan profesi nasional bagi dokter (dokter umum).

Ketua kolegium dokter spesialis dan ketua KDI dipilih di dalam sidang pemilihan Ketua Kolegium, dengan tata cara serta kriteria calon ketua yang telah diatur di dalam Kompendium MKKI. Pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Dalam keadaan tidak tercapai mufakat, maka pemilihan dapat dilakukan dengan pemungutan suara.  

Jadi Ketua Kolegium itu tidak ditunjuk oleh perhimpunan maupun oleh MKKI. Dan, untuk menjadi pengurus Kolegium pun ada kriteria tersendiri. Tidak semua dokter secara serta merta dapat menjadi Pengurus Kolegium.

Kriteria Pengurus Kolegium, meliputi: (a) dosen aktif/pernah menjadi dosen program studi terkait atau utusan perhimpunan terkait; (b) pendidikan minimal spesialis untuk Kolegium spesialis, dan minimal S2 bidang kedokteran/kesehatan serta berpengalaman dalam pendidikan dokter untuk KDI; (c) memiliki komitmen dan dedikasi untuk mengembangkan pendidikan kedokteran terkait; (d) memahami peraturan perundang-undangan terkait pendidikan kedokteran; (e) tidak menjalani sanksi etik, disiplin, hukum, atau administrasi.

Kepengurusan setiap Kolegium Ilmu Kedokteran (Spesialis) terdiri atas: (1) Guru Besar; (2) kepala departemen/bagian ilmu yang bersangkutan pada institusi pendidikan; (3) ketua program studi ilmu yang bersangkutan; (4) ketua perhimpunan ilmu yang bersangkutan; (5) anggota yang diangkat oleh ketua Kolegium.  

Sedang, untuk kepengurusan Kolegium Dokter Indonesia (KDI) terdiri dari: (1) perwakilan PB IDI; (2) perwakilan MKKI; (3) perwakilan perhimpunan dokter pelayanan primer; (4) perwakilan institusi pendidikan kedokteran; (5) anggota yang diangkat oleh ketua Kolegium.

Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya, tidak jarang antara satu kolegium dengan kolegium terjadi masalah sehingga memerlukan adanya koordinasi. Misalnya karena terjadinya tumpang tindih anatar keilmuan. Di sinilah mengapa diperlukan MKKI dan rapat-rapat MKKI dengan tugas pokok untuk mengoordinasikan kegiatan seluruh kolegium.  

Selanjutnya tentang MKKI. Menurut Kompendium MKKI (2003), tugas dan wewenang MKKI meliputi: (1) menetapkan kebijakan umum pendidikan profesi kedokteran; (2) menetapkan kebijakan terhadap tumpang tindih substansi/kewenangan bidang ilmu; (3) memberi rekomendasi terhadap rencana pembukaan program studi dokter (FK baru) bersama Kolegium Dokter Indonesia (KDI).  

Berikutnya, (4) menetapkan institusi (pusat) baru program pendidikan studi dokter spesialis di suatu institusi pendidikan kedokteran bersama kolegium ilmu kedokteran terkait; (5) menetapkan program studi dokter spesialis baru; (6) menilai kelaikan dokter/dokter spesialis lulusan luar negeri yang hendak mengikuti program adaptasi, bersama dengan Kolegium terkait.

Selain itu, MKKI masih punya tugas lain, yakni: (1) sesuai dengan peraturan perundangan; (b) sesuai ketentuan organisasi yang berlaku (Keputusan Muktamar IDI, dll.); (c) tugas yang dilimpahkan oleh otoritas pendidikan (Kementerian Pendidikan). Artinya, sekali pun tidak ada tugas sesuai peraturan perundangan karena UU Omnibus Kesehatan tidak menginginkannya atau tidak ada tugas yang perlu dilimpahkan dari otoritas pendidikan (Kementerian Pendidikan), namun IDI masih membutuhkan keberadaan MKKI dan Kolegium maka tidak larangan bagi keduanya tetap hidup.

Di antara tugas yang sering dilimpahkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kepada Kolegium, yaitu: (a) pembentukan program studi baru; (b) pembentukan pusat pendidikan dokter spesialis baru; (c) pembentukan fakultas kedokteran baru; (d) program adaptasi dokter/dokter spesialis lulusan luar negeri; (e) ujian nasional dan sertifikasi, dan akreditasi sebagi proses penilaian mutu pendidikan profesi kedokteran.  

Atas dasar pelimpahan tugas di atas sehingga Kolegium diakui di dalam UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pasal 5 ayat 2 menyatakan, Perguruan Tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, serta berkoordinasi dengan organisasi profesi.  

Organisasi profesi yang dimaksud pada Pasal 5 ayar 2 di atas adalah IDI. Dan salah satu unsur pimpinan IDI yang bertugas mengoordinasikan seluruh Kolegium pengampuh ilmu di lingkungan IDI adalah MKKI. Pengakuan organisasi profesi kedokteran pada UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menjadikan Kolegium tidak mudah dicaplok begitu saja oleh UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebab, fungsi dan tugas Kolegium jelas adalah tentang pendidikan kedokteran, bukan pelayanan kesehatan.

Kolegium Menurut UU Omnibus Kesehatan

Menurut Pasal 1 ayat 26 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Kesehatan, Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut, yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil

Selanjutnya, Pasal 272 (1) menjelaskan bahwa untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan, setiap kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan dapat membentuk Kolegium. Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan konsil dan dalam menjalankan perannya bersifat independen.  

Pada kedua pasal di atas, menjelaskan bahwa Kolegium berasal dari masing masing disipilin ilmu. Artinya, Kolegium harus berasal dari dan dipilih oleh disiplin ilmu itu sendiri, bukan bentukan Konsil apalagi bentukan Menteri Kesehatan. Persoalannya, karena UU ini pun mengharapkan agar Kolegium itu bersifat independen. Padahal UU ini sendiri telah menempatkan Kolegium pada tempat paling rendah, hanya sebagai alat kelengkapan Konsil.  

Sementara Konsil sendiri tidak lagi seperti pada masa UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang anggotanya diangkat, diberhentikan, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. UU Omnibus Kesehatan telah mendegradasi Konsil dengan menjadikannya bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan sebagai pembantu Presiden.

UU No. 17 Tahun 2013 tentang Kesehatan juga hanya menjelaskan tentang peran Kolegium. Tidak menjelaskan sama sekali tugas, fungsi, dan kewenangan Kolegium. Pasal 272 (3) mengatakan Kolegium memiliki dua peran: (a) menyusun standar kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan; dan (b) menyusun standar kurikulum pelatihan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dan, tampaknya dua peran yang disebutkan pada Pasal 272 ini, oleh Kompendium MKKI 2016 dimasukkannya sebagai fungsi Kolegium yang jumlahnya cukup banyak.

Bahwa apa yang dimaksud peran, fungsi, tugas, dan wewenang serta kalimat mana yang seharusnya menjadi peran, fungsi, tugas, dan wewenang Kolegium, kita serahkan saja kepada ahli bahasa Indonesia untuk menilainya. Persoalan berikut, bila kenyataannya Kolegium itu hanya sekadar alat kelengkapan Konsil, apakah masih perlu memiliki peran dan wewenang?  

Berikutnya, bila tujuan pembentukan Kolegium untuk mengembangkan disiplin ilmu, mengapa peran yang diberikan kepadanya hanya membuat standar kurikulum pelatihan? Bukankan di dalam Pasal 1 ayat 26, Kolegium diharapkan dapat mengampu cabang disiplin ilmu?

Baca Juga: Kapitalisme Gagal Menjamin Kesehatan Mental

Selanjutnya Pasal 451 mengatakan, pada saat UU ini mulai berlaku maka Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasa 272 UU ini. Artinya, UU ini betul-betul dibentuk untuk berlaku refresif dan mencaplok seluruh kolegium yang ada. Kolegium yang selama ini telah berjasa mengampu dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan di Indonesia.

Untuk diketahui, seluruh disiplin ilmu yang berada di lingkungan organisasi profesi kesehatan itu sangat banyak. Di lingkungan IDI saja terdapat 38 kolegium. Belum lagi di PGDI, IBI, IAI, PPNI, IAKMI, dan organisasi tenaga kesehatan lain yang juga telah memiliki kolegium. Lalu mau dicaplok kemudian ditempatkan sebagai alat kelengkapan Konsil.  

Untuk diketahui, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai satu-satunya  lembaga otonom KKI menurut Pasal 57 (2) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran saja belum dapat membentuk MKDKI Wilayah di setiap provinsi. Padahal sangat jelas disebutkan oleh UU dan dibutuhkan oleh MKDKI agar tidak semua kasus pelanggaran disiplin kedokteran harus dibawa ke Jakarta (Pusat).

Karena itu, dengan menempatkan seluruh Kolegium sebagai alat kelengkapan Konsil, apakah pemerintah sudah punya banyak dana membiayai dan menggaji pengurusnya? Apakah pemerintah yakin Kolegium-Kolegium yang caploknya itu dapat bekerja dengan baik sebagaimana Kolegium yang ada saat ini? Ataukah pencaplokan itu justru hanya akan mematikan Kolegium.

Catatan Akhir

Dalam buku, “Seputar Masalah Kesehatan” (1990), Prof. Azrul Azwar, Ketua Umum PB IDI (1988-1991 dan 1994-1997), President CMAAO dan juga President WMA (1990-1991), mengatakan bahwa organisasi profesi kedokteran memang mempunyai peran sangat penting dalam pendidikan kedokteran. Baik pada pendidikan kedokteran formal maupun pendidikan kedokteran berkelanjutan (CME), yang kini bernama pengembangan pendidikan kedokteran berkelanjutan (CPD). Peran ini dapat ditinjau dari sudut pengelolaan pendidikan, mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, maupun penilaian program pendidikan.

Karena itu, sangat dapat dimengerti bila Prof. Harmani Kalim pada Podcast KHC berulang kali mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan tidak mungkin dapat mengambil alih Kolegium dari profesi. Alasannya, karena sejarah panjang Kolegium sebagai bagian dari organisasi profesi, tugas, fungsi, struktur, dan pengurusnya yang tidak mungin dapat dimiliki oleh Kementerian kesehatan. Ditambah lagi, bila kita merujuk pendapat Almarhum Prof. Azrul yang menunjukkan begitu sangat pentingnya peran organisasi profesi dalam pendidikan kedokteran.

Keinginan untuk mencaplok Kolegium dari organisasi profesi dan tenaga kesehatan dengan menggunakan kekuatan UU dan kekuasaan pemerintah, kemudian menempatkannya sebagai alat kelengkapan Konsil, tentu saja legal tetapi itu tidak baik dan sangat tidak bijak. Sebab, akan memperburuk hubungan antara Konsil dan organisasi profesi dan tenaga kesehatan.  

Andai pun pencaplokan itu berakibat terjadinya dualisme Kolegium, satu tetap berada di lingkungan organisasi profesi dan satu lagi ditempatkan sebagai alat kelengkapan Konsil, itu pun tidak baik dan sangat tidak bijak. Sebab, akan mengakibatkan terjadinya konflik antar dokter di dalam satu profesi.  

Pencaplokan Kolegium apa pun bentuknya tentu sangat tidak menguntungkan. Sebab, hanya mengakibatkan matinya Kolegium sebagai pengasuh, perawat, dan pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan (iptekdokes). Dampak dari matinya Kolegium adalah matinya iptekdokes.  

Matinya iptekdokes adalah matinya profesi kedokteran dan tenaga kesehatan. Matinya profesi kedokteran dan tenaga kesehatan adalah matinya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh orang yang berbangsa Indonesia. Lalu, siapa rugi dan siapa yang untung? Karena itu, masih kita berpikir waras dan bertindak bijak demi Indonesia kita. Wallahu a'lam bishawab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS