Prediksi Penurunan Perolehan Suara PKS Pemilu 2024
Kolumnis
Minggu, 30 Januari 2022 / 12:23 pm
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
ADA kegelisahan mendera Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan potensi penurunan popularitas dan merosotnya suara PKS di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 serentak mendatang. Prediksi ini dapat dipelajari dalam perkembangan politik kekinian untuk analisis situasi ke depannya.
Banyak orang beranggapan PKS akan merenguk kesuksesan pada Pemilu 2024 mendatang, kans itu memang ada. Tetapi jangan lupa juga beberapa potensi saat ini sebagai peringatan dini. PKS sudah merespons, misalnya, dengan merubah logo PKS. Hal yang tak diperhatikan oleh publik begitu penting ditindaklanjuti oleh elite-elite PKS.
Didera Kasus Edy Mulyadi
Kasus Edy Mulyadi yang dianggap melakukan ujaran kebencian dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Telah menyulut kemarahan warga Kalimantan. Kuasa hukum Edy berargumen, kliennya tak menyebut nama daerah dan kasus ini ada kepentingan politik. Kasus ini mendera PKS, partai menyadari akan terdampak dari kasus komunikasi buruk Edy.
Buru-buru PKS mengkonfirmasi, Edy sempat menjadi calon legislatif (Caleg) PKS, lalu dinyatakan bahwa Edy tak mewakili suara partai, Edy bukan pejabat stuktural, bahkan PKS menyatakan sikap resmi PKS disampaikan di Fraksi PKS di Senayan terkait penolakan Ibu Kota Negara (IKN).
Meski PKS begitu cepat melepaskan identitas keterkaitan dengan Edy. Namun, dari kasus Edy bukan saja tentang ujaran kebencian dan SARA terhadap suatu daerah semata, tetapi turut menghadirkan kegaduhan politik dengan Edy mengeluarkan pernyataan yang menyulut emosi Partai Gerindra.
Gara-gara komunikasi buruk “kader” PKS yang sudah tak diakuinya lagi, menimbulkan gesekan terhadap Gerindra. Hubungan PKS dan Gerindra meski telah berbeda dalam lingkaran kekuasaan, tetapi cenderung harmonis karena keduanya pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang terpilih di Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Kasus Edy juga membuka tabir bahwa PKS tak lagi bisa menertibkan kadernya dalam berkomunikasi dengan lisan maupun media sosial. Anggota DPR yang juga politisi senior PKS, Tifatul Sembiring malah membela Edy. Akhirnya Tifatul Sembiring diingatkan oleh Anaknya melalui media sosial, dengan menulis mengingatkan, “Mingkem gitu Beh, mingkem!...” diakhiri dengan kata memungkasi tulis detik.com, “Koplak!” (detik.com, 27 Januari 2022).
Pelajaran ujaran kebencian dan SARA telah terjadi dua kali diingatan publik. Pertama, kekalahan Ahok di Pilkada DKI Jakarta silam dan kedua, gaya bicara arogansi ala anggota DPR PDI Perjuangan Arteria Dahlan. Kedua kasus ini pelajaran bagi PKS.
Pelajarannya adalah jangan sampai suatu kasus berlarut-larut. Bagi yang melakukan ujaran kebencian, respons awal adalah menolak disebut telah melakukan ujaran kebencian, namun jika dibiarkan berlarut, partai yang terdampak.
PKS harus tegas mengontrol anggotanya untuk tak merespons berlebihan apalagi turut melakukan pendalihan. Mendiamkan kasus ini juga berbahaya, sebab respons politik akan turut mengikuti, tetapi merecoki proses hukum dapat menambah tersulutnya emosi masyarakat. Sebaiknya, PKS memang melibatkan diri dalam proses yang objektif.
Oposisi dengan Komunikasi Buruk
PKS hingga hari ini gagal menghadirkan koalisi oposisi dan memimpinnya, juga gagal melakoni diri sebagai oposisi. Semestinya, PKS bekerja sama dengan Partai Demokrat, sesama partai politik di luar pemerintahan. Saat ini, PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, tak akur pasca konflik menuju Pilpres 2004 lalu antar tokoh/ikon Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan.
Momentum sebagai pemimpin barisan oposisi juga tak bisa dijalankan PKS. Saat, peran itu ditinggalkan oleh Gerindra dengan bergabung dalam pemerintah. PKS tak bisa seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan waktu memimpin oposisi, bahkan merangkul Partai Gerindra dengan cenderung harmonis.
Disinyalir, kasus 2009 lalu, menyebabkan Partai Demokrat tak nyaman berkoalisi dalam oposisi dengan PKS. Anggapan membekas adalah PKS adalah kawan yang tak sepakat, Kasus Angket Century realitasnya. PKS pendukung pemerintahan Partai Demokrat, tetapi kerap mengkritik pemerintah bersama PDI Perjuangan.
Kasus lainnya, menuju Pilkada 2017 dan Pilpres 2019 lalu, menunjukkan apa yang menjadi keinginan Partai Demokrat tak bisa disinergikan dengan PKS. Kedua partai ini cenderung kurang cocok dalam membangun kerjasama.
PKS juga tak bisa menampilkan kader-kader terpilihnya sebagai komunikator politik yang baik. Jumlah Kader Anggota DPR yang terpilih sebanyak 50 kursi, tetapi sangat disayangkan suara kader-kadernya semestinya berperan sebagai oposisi malah tenggelam.
Media lebih asyik bertanya pada juru bicara PKS yang berjumlah lumayan sebanyak 10 orang dibandingkan kader-kader PKS di Senayan. Bahkan, juru bicara PKS yang sebelumnya berasal dari anggota DPR, malah dipinggirkan.
Situasi miris PKS ini disindir mantan anggota PKS Fahri Hamzah dengan menyatakan, “PKS mengalami kegalauan masif, memperoleh 50 kursi di DPR dan ribuan kursi di seluruh Indonesia, tetapi (PKS merasa, pen) kami partai kecil dan tnak bisa buat apa-apa” (detik.com, 27 Januari 2022).
Tak Jelas dalam Posisi Legislasi
Posisi PKS dalam pembahasan legislasi di Senayan juga tak dapat tersampaikan jelas kepada publik. Kasus proses legislasi IKN, PKS bersikukuh telah menjelaskan argumentasi mereka di Parlemen. Tetapi di sisi lain, disinyalir dalam aspek politik dan persepsi di masyarakat bahwa PKS menolak dengan turut “mengerakkan” massa untuk isu ini menjadi konsumsi publik.
Sayangnya komunikasi buruk terjadi, “kecelakaan” dalam berargumentasi menjadi bumerang untuk PKS dari kasus Edy. Kecelakaan Edy menyebabkan PKS memilih menarik diri. Konsumsi publik dalam perdebatan pro dan kontra, biarlah terjadi. PKS menyatakan telah berjuang di parlemen dengan pernyataan penolakannya dan menganggap Edy bukan suara PKS.
Kasus berikutnya yang juga dapat mendera PKS adalah kasus Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Penolakan PKS dalam persepsi publik turut menunjukkan bahwa PKS tidak peduli dengan jerit korban kekerasan seksual. Penolakan PKS, malah menguntungkan PDI Perjuangan.
Presiden Jokowi telah menganjurkan percepatan proses RUU TPKS, dan RUU ini telah menjadi inisiatif DPR, persepsi positif dapat diraih pemerintah dan PDI Perjuangan. Akhirnya oposisi PKS, sekadar berbeda dengan pemerintah, tetapi tak peka kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, janji politik PKS, seperti Hapus Pajak Motor, dan memperjuangkan pembentukan undang-undang perlindungan ulama, tokoh agama dan simbol-simbol agama, yang cenderung tak mungkin terealisasikan, akan menimbulkan sentimen negatif dari masyarakat kepada PKS.
“Kolam”Pemilih Sempit Diperebutkan Banyak Partai
Kegalauan PKS telah diungkapkan Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al-Jufri, yang berbicara terkait pemilih. Ceruk pemilih yang digambarkan sebagai satu kolam diperebutkan oleh banyak partai seperti Partai Gelora dan Partai Ummat.
Ceruk yang dikhawatirkan PKS adalah dari kalangan Islam. PKS sulit masuk kepada kalangan pemilih Islam tradisional. Upaya memperoleh ceruk pemilih Islam tradisional telah dilakukan oleh PKS dengan mencoba bersepakat terhadap tradisi masyarakat Islam seperti tahlilan, membawa isu nusantara dalam perspektif Islam, bahkan mencoba untuk memainkan isu Hidayat Nur Wahid cocok menjadi pemimpin di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Tetapi hasilnya adalah pemilih tradisional tak begitu terpengaruh, juga menunjukkan demarkasi yang jelas dengan isu-isu yang dibawa PKS meniru gaya kaum Islam tradisional. Masa pemilih tradisional sudah terwakili dalam wadah NU, malah kini NU turut tegas dalam melindungi warga Nahdiyin terkait kepentingan politik. Upaya memperluas ceruk PKS, tak bisa maksimal.
Harapan yang tetap dipelihara oleh PKS adalah kelompok pemilih dipersepsikan Islam Kanan. Tetapi PKS juga mengalami dilematis, kasus-kasus intoleran, ujaran kebencian dan SARA, acap dikaitkan dengan kelompok ini, malah membuat blunder. Kalangan ini memang oposan “garis keras” terhadap pemerintah. Malah, pemerintah sudah menandai dan membatasi ruang gerak mereka, sehingga tentu ceruk ini semakin tipis.
Jika digambarkan dalam persepsi kepuasan kepada pemerintah dengan maksimal sebesar 75 persen. Ceruk oposisi dari pemerintah yang “garis keras”sebesar 25-30 persen. Ini diperebutkan oleh PKS, Partai Gelora, dan Partai Ummat.
Dua partai baru ini memiliki tokoh dan/atau para pemain seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah dari Partai Gelora adalah mantan pejabat stuktural PKS, kemudian Amien Rais dari Partai Ummat sebelumnya ikon PAN. Isu politik “demagogi,” kebangkitan Islam dan/atau kalangan Islam kanan pada Pemilu 2019 lalu, turut dimainkan oleh tokoh-tokoh tersebut.
Tak Bisa Menjadi Magnet Politik dalam Koalisi
Meski PDI Perjuangan sebagai oposisi, ia begitu cerdas sebagai pemimpin koalisi. PDI Perjuangan mendorong isu-isu baru dalam membangun koalisi. Seperti pembantu presiden tak boleh rangkap jabatan, pembentukan kabinet bukan model bagi-bagi kursi.
Koalisi yang dipimpin oleh PDI Perjuangan berhasil menumbangkan Partai Demokrat hingga hanya dua periode. Meski juga diikuti peristiwa “tsunami politik” dengan banyaknya kader Demokrat tersangkut kasus korupsi dinilai masyarakat tak sesuai dengan identitas disampaikan sebagai partai anti korupsi berupa “katakan tidak pada korupsi.”
PDI Perjuangan saat ini memiliki kans untuk sampai tiga periode. Kelanjutan pemerintahan dapat terjadi jika tak ada peristiwa “tsunami politik.” PKS berusaha menjadi magnet politik dalam koalisi dengan menawarkan poros Islam, ternyata tak disambut baik oleh PAN, PKB, dan PPP.
Mereka menyadari “jebakan batman,” ceruk mereka yang diincar, bahkan argumentasi sederhana, masa iya partai kecil akan pemimpin koalisi poros Islam. Akhirnya, PKS mendorong isu koalisi Nasionalis, malah yang menyambut adalah Golkar, artinya PKS rawan dikendalikan Golkar.
Sedangkan, isu poros Islam, digerakkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB), disambut baik oleh PAN dan PPP. Ini menunjukkan PKS sebagai oposisi tidak menarik, tak bisa menjadi magnet, padahal PKS peraih suara lima besar.
Preseden buruk yang dilakukan oleh PKS, partai-partai itu juga kemungkinan sudah memahami. Ketika Partai Gerindra mengikuti permainan PKS dalam isu identitas Islam, dengan memberikan ruang gerak Islam kanan, yang terjadi adalah Partai Gerindra gagal memperoleh coattail effect (efek ekor jas) dari pemilu serentak 2019 lalu.
Semestinya, kesamaan pemilih dalam memilih partai/caleg di Pileg dan Pilpres, namun Partai Gerindra yang adalah partai nasionalis tergagap dalam isu Islam. Akhirnya, Gerindra efek ekor jas hanya 0.76 persen sedangkan PKS meraih keuntungan 1,42 persen atas isu tersebut.
Padahal secara pendanaan di kampanye, Gerindra lebih berperan malah merugi, wajar akhirnya Gerindra maupun rival capres-cawapres Jokowi memilih bergabung di pemerintahan.
Diambangkan Anies Baswedan
PKS telah menyadari Anies yang merupakan perseorangan, memiliki popularitas dan elektabilitas tiga besar, cenderung tak bisa “diatur-atur” oleh PKS.
Contoh nyata, PKS tidak bisa meski mencoba merebut kursi wakil gubernur ketika ditinggalkan oleh Sandiaga Uno dari Partai Gerindra, ternyata Anies saat itu tidak mendukung PKS. Anies hingga kini juga tidak menyatakan diri dan mendeklarasikan untuk maju sebagai presiden.
Realitas ini, membuat PKS galau. Anies memiliki tiga peluang sama besar sebagai calon presiden, calon wakil presiden, dan kembali maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta untuk dua periode. PKS telah mendorong Anies Baswedan maju sebagai calon presiden, agar PKS dapat menginisiasi calon untuk maju sebagai calon gubernur.
Andaikan kedua peluang itu, memunculkan dua tokoh populer, akan mendongkrak popularitas dan elektabilitas PKS. Namun, jika Anies Baswedan tak mendeklarasikan diri sejak dini, basis pemilih Islam Kanan yang loyal kepada Anies cenderung menunggu, menyulitkan PKS.
Ternyata Anies saat ini mesra dengan Partai Nasdem yang juga pendukung pemerintah. Nasdem telah menyatakan diri, tak memiliki tokoh untuk diajukan. Peluang Anies tinggi diusung oleh Nasdem, sebab Anies juga inisiator Nasdem sebelum jadi partai.
Di sisi lain, Nasdem punya rekam jejak sukses menjadikan tokoh sebagai calon presiden hingga terpilih, seperti dilakukan terhadap Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden hingga dua periode. Presiden Jokowi memang merasakan keringat dari kerja keras Partai Nasdem.
Upaya merangkul Nasdem juga akan terjadi pergeseran peran dari PKS kepada Nasdem. Peran media yang dipunyai Nasdem seperti MetroTV dan Media Indonesia, menunjang untuk mensosialisasikan peran dan kerja Anies. Nasdem sangat dibutuhkan membantu pencitraan Anies ketika ia menjadi “pengangguran politik” pada Oktober, disebabkan habis masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sisi lain, dengan Nasdem sebagai pendukung pemerintah tetapi turut mendukung Anies, diharapkan dapat diikuti oleh partai-partai lain dari pendukung pemerintah. Pesona Nasdem sebagai peraih suara keempat dengan juga dukungan dana besar yang dimilikinya, PKS wajar jika akan tergeser dalam peran politik sebagai pendukung Anies.
PKS akhirnya cenderung memilih isu koalisi nasionalis dibandingkan poros Islam, sinyal bahwa PKS telah rela digeser perannya, agar Anies tetap menuju kursi presiden dan PKS kembali dapat bermain untuk kursi Gubernur DKI Jakarta.
Potensi Konflik Internal Kembali
Banyak memprediksi saat ini bahwa PKS berpotensi meraih peningkatan suara drastis di Pemilu 2024. Bagi penulis, PKS juga cenderung dapat mengalami kemerosotan perolehan suara di Pemilu 2024, meski PKS masih lolos di Senayan.
Kekhawatiran dan kegalauan ini juga dinyatakan dalam perilaku PKS dengan mengajak tokoh-tokoh seperti purnawirawan, akademisi, artis, hingga dari masyarakat yang berbeda agama untuk bergabung di PKS seperti sebagai dewan pakar.
PKS sudah lama menyatakan sebagai partai yang terbuka dengan beridentitas Islam sejak 2009 lalu. Tetapi PKS cenderung tetap memilih sebagai partai kader, tiba-tiba dengan mengajak berbagai sosok dari luar kader akan berkonsekuensi positif dan negatif.
Baca Juga: Relasi yang Menguntungkan
Positifnya PKS kian menjadi partai terbuka, tetapi negatifnya adalah kader-kader partai bisa menjadi eksodus menuju Partai Gelora. Partai Gelora dulunya memang faksi dari PKS, kehadiran partai itu karena perpecahan di internal PKS terkait asumsi cara pengelolaan partai yang tak sesuai lagi bagi mereka.
Potensi perpecahan ini akan terjadi kembali, malah dapat memburuk pada saat pencalonan anggota legislatif (pencalegan). PKS sebagai partai kader, umumnya caleg-calegnya bukan dari tokoh-tokoh instan, melainkan memang kader yang potensial, yang dipilih untuk maju sebagai legislator.
Dengan masuknya banyak sosok baru dari luar, kompensasi mesti dilakukan seperti penjatahan kesempatan pencalegan. Di sisi lain, PKS cenderung akan kesulitan melakukan konsolidasi politik internal, sebab tokoh-tokoh baru itu memerlukan adaptasi, riak-riak perbedaan pendapat dalam pengelolaan partai akan berpotensi besar terjadi lagi.
Hati-hati “Stigma”Masyarakat
Jauh-jauh hari pasca Pemilu, setelah memainkan isu identitas Islam. PKS langsung melakukan perubahan wajah dengan mengganti logo partai. Hal ini dipersepsikan kepada publik menghindari persamaan dengan Partai Ummat. Padahal, ini adalah upaya PKS menghindari persepsi bahkan stigma di masyarakat.
Benak pikir masyarakat yang sudah familiar oleh logo PKS dialihkan kepada Partai Ummat. Sedangkan PKS dapat membangun image seperti partai baru, bukan partai lama yang memiliki beban sejarah. Beban sejarah, seperti partai yang membawa isu identitas keislaman, partai yang menggulirkan isu berupa proses Hapus Pajak Motor tetapi sulit dilaksanakan —hal sama seperti kecenderungan gagal memperjuangkan pembentukan undang-undang perlindungan ulama, tokoh agama, dan simbol-simbol agama.
PKS juga menyadari posisi pemerintah yang memang tegas dengan membubarkan Hizbut Tharir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), secara tak langsung pemerintah ingin memberikan stigma kepada PKS sebagai bagian pendukung Islam Kanan yang cenderung garis keras. Apalagi kasus Edy Mulyadi juga dapat membelenggu citra PKS, citra negatif karena rekam jejak sosok Edy sebagai politisi caleg dari PKS.
Kekhawatiran Stigma ini yang tentu jika tidak diperhitungkan dengan baik, melakukan strategi politik yang tepat, akan merosotkan suara PKS.
Beberapa potensi ini turut mengubah wajah PKS, untuk cenderung terbuka, sebagai bentuk kekhawatiran masif akan ancaman digembosi Partai Gelora dan kecil kemungkinan juga turut dilakukan oleh Partai Ummat.
Baca Juga: Politik Balas Budi Bagi-Bagi Jabatan ala Presiden Joko Widodo
Di sisi lain, PKS juga khawatir jika isu Islam tak bisa menaikkan popularitas dan perolehan suara mereka artinya menuju kepada nasionalis adalah lebih baik. Apalagi identitas Islam tengah sekarang sedang dicoba dirangkul oleh PAN, PBB, dan PKB. Muhaimin Iskandar dan PKB sedang melakukan bersafari di kantong-kantong Islam yang tradisional dan moderat.
Bahkan dengan upaya PBNU menjaga warga Nahdiyin tidak ditarik-tarik oleh kepentingan partai-partai, ini menunjukkan Muhaimin Iskandar tak terlalu khawatir akan kantong Nahdiyin dicuri oleh partai-partai lain, karena PKB dan PBNU adalah satu kesatuan.
PKS juga disinyalir saat ini cenderung menuju nasionalis, kekhawatiran bahwa Islam kanan, malah menyebabkan mereka memperoleh stigma di masyarakat, seperti partai yang melakoni politik demagogi, partai yang intoleran, partai yang cenderung berkomunikasi dengan ujaran kebencian.
Kesadaran ini juga dipicu oleh kekhawatiran PKS tak bisa bermain sebagai pemimpin dalam koalisi pendukung Anies Baswedan. Sehingga bermain dalam lakon sebagai partai Islam-nasionalis, partai massa tak lagi kader, diharapkan bisa menghindari penurunan perolehan suara. (*)