Mempertahankan Wantimpres atau Memilih Kembali DPA
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 11 Agustus 2024
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Menguat kembali wacana mengganti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan memilih kembali format lama sebelum dilakukannya Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD 1945) berupa Dewan Pertimbangan Agung "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
MENGUAT kembali wacana mengganti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan memilih kembali format lama sebelum dilakukannya Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD 1945) berupa Dewan Pertimbangan Agung.
Rencana ini menguat seiring langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang (UU) tentang Wantimpres, sehingga dari wantimpres kembali menjadi DPA, disamping juga dilakukan upaya menghapus batasan jumlah anggota tersebut. Tentu saja atas wacana dan langkah DPR ini publik merespons dengan dinamika politik pro dan kontra. Tulisan ini ingin menjelaskan dari dinamika tersebut.
DPA Tak Efektif
DPA awal mulanya berdasarkan UUD 1945 sebelum di amandemen dalam posisi sejajar sebagai lembaga tinggi negara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Disamping formatnya sebagai lembaga tinggi negara seperti disebutkan diatas, DPA juga diatur dalam UUD 1945.
DPA diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 sebelum di amandemen. DPA fungsinya memberikan rekomendasi kepada presiden maupun kepada lembaga negara setingkat presiden, diminta maupun tidak diminta. Hanya saja DPA tidak efektif dalam pelaksanaan kerjanya, disebabkan DPA menjadi kepentingan politik praktis di era Soekarno dan tak dihiraukannya rekomendasi DPA di era Soeharto.
Jadi yang terjadi jika di era Soekarno bahwa DPA menjadi semacam laboratorium politik Soekarno. Sedangkan di era Orde Baru, DPA diisi oleh eks pejabat sipil dan militer yang memasuki masa pensiun, sehingga DPA diplesetkan sebagai Dewan Pensiunan Agung dengan saran dan kritik dari DPA tidak digubris oleh Soeharto.
Akhirnya bergulir keinginan mengubah format kelembagaan DPA. Wantimpres pun dipilih dengan desain tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara, melainkan berada di bawah presiden. Kedudukannya juga diatur dalam undang-undang tidak lagi dalam UUD 1945.
Wantimpres ke DPA Strategi “Bagi-Bagi Jabatan”
Wantimpres yang rencananya diubah menjadi DPA tidak mengalami perubahan dalam fungsinya. Ini artinya secara substansial tak ada yang berubah, hanya terkait perubahan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat sebagai anggota wantimpres.
Baca Juga: Presiden Jokowi Limbung di Akhir Masa Jabatan
Sebenarnya jika kita menilai antara DPA dan Wantimpres, hasil kinerjanya sama-sama senyap. Kedua lembaga ini jika dicermati sama-sama tidak terdengar menonjol peran dan fungsinya dalam memberikan nasihat kepada presiden seperti apakah diterima atau malah diabaikan.
Sekali lagi ditegaskan bahwa semuanya senyap, tak begitu banyak terpublikasikan dan menjadi konsumsi publik tentang keberhasilan kritik dan saran yang dilakukan oleh wantimpres maupun DPA kepada Presiden.
Hanya saja upaya perubahan wantimpres menjadi DPA terjadi perubahan dalam hal jumlah keanggotaannya, hal mana keanggotaannya menyesuaikan kebutuhan presiden. Harus diakui ketika DPA sudah berganti menjadi wantimpres bahwa jumlah keanggotaan Wantimpres tidak lagi menyesuaikan dengan kebutuhan presiden tetapi keanggotaan wantimpres diisi satu orang ketua merangkap anggota dan delapan anggota.
Persoalan mengenai jumlah anggota ini disinyalir yang menjadi energi positif bagi pemerintahan ke depan untuk mengganti format dari wantimpres kembali menjadi DPA. Wajar akhirnya mencuat persepsi di masyarakat, pilihan mengubah wantimpres menjadi DPA ditenggarai karena soal jumlah personil wantimpres yang sedikit jumlahnya ketimbang DPA yang bisa diisi oleh puluhan orang.
Sehingga penilaian wantimpres diubah menjadi DPA, karena kebutuhan mengakomodir para pendukung, relawan, loyalis, dan simpatisan yang telah membantu calon presiden terpilih Prabowo dalam memenangkan Pilpres 2024 kemarin.
Sisi lain, juga mencuat persepsi negatif mengubah wantimpres menjadi DPA. Hal ini perlu dilakukan untuk kebutuhan menampung Joko Widodo (Jokowi) yang sudah selesai purnatugas sebagai Presiden. Persepsi ini mencuat juga dibungkus dengan alibi untuk menampung para mantan presiden agar bisa bersinergi dan mendukung pemerintahan Prabowo sebagai presiden terpilih.
Harus diakui bahwa Presiden terpilih Prabowo dalam koalisinya didukung oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Jokowi. Di sisi lain, Prabowo memiliki pola memerintah ke depan yang berusaha merangkul semua partai politik yang lolos di parlemen.
Artinya akan ada delapan partai politik lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang akan bergabung bersama pemerintahan Prabowo, dengan catatan jika empat partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menerima ajak bergabung dengan pemerintahan prabowo ke depan.
Merubah Wantimpres ke DPA Harus Ubah Konstitusi
Jika dipelajari lebih cermat untuk mengubah Wantimpres menjadi DPA semestinya tidak bisa sekadar melakukan perubahan atas undang-undang saja. Sebab mesti dilakukan perubahan konstitusi, artinya dibutuhkan amandemen kelima UUD 1945.
Pembentukan DPA kembali semestinya memang harus mengubah atau mengamandemen UUD 1945 Pasal 16. Hal mana, Pasal 16 pasca Amandemen UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden membentuk wantimpres. Pasal 16 itu tentu saja pengganti dari pasal sebelumnya yang menyebut DPA.
Jadi, DPA itu tidak tertera lagi namanya dalam konstitusi pasca amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali sejak 1999-2002 lalu.
Oleh sebab itu, jika DPR ingin mengubah wantimpres menjadi DPA, harus melakukan amandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 itu perlu dilakukan untuk mengubah penamaan dan hal-hal lainnya yang dirasakan perlu diakomodir dari wantimpres menjadi DPA.
Baca Juga: Mencari Penantang Khofifah-Emil Dardak di Pilgub Jawa Timur
Meski begitu, langkah melakukan amandemen UUD 1945 tidak akan mungkin bisa melakukannya sebab menuju pelantikan anggota yang baru periode anggota DPR 2019-2024 tersisa kurang lebih sekitar satu sampai tiga bulan.
Jika tidak melakukan amandemen kembali UUD 1945, maka berpotensi akan terjadinya gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi, karena ketentuan undang-undang yang baru itu tidak sesuai dengan isi dari UUD 1945. Oleh sebab itu, semestinya langkah-langkah mengupayakan perubahan wantimpres menjadi DPA patut dibatalkan oleh DPR.
Singkat kata, diyakini perubahan wantimpres menjadi DPA kembali, karena suatu modus untuk “bagi-bagi kekuasaan” semata, juga karena cara merubahnya dengan mengabaikan untuk melakukan amandemen UUD 1945 dapat dianggap DPR bersama dengan pemerintah telah melakukan tindakan inkonstitusional.
Meski harus diakui upaya perubahan wantimpres melalui undang-undang tidaklah bersifat substansial, sebab perubahan dari wantimpres menjadi DPA tidak serta-merta merubah kedudukan wantimpres menjadi lembaga tinggi negara kembali seperti DPA sebelumnya. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS