100 Hari Pemerintahan, Kepuasan Bernilai Tinggi dengan Catatan

Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 01 Februari 2025
0 dilihat
100 Hari Pemerintahan, Kepuasan Bernilai Tinggi dengan Catatan
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Presiden Prabowo dianggap langsung mengeluarkan kebijakan populis seperti penggelontoran bantuan sosial, dilanjutkan geliat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mulai dirasakan dengan beroperasinya kembali Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap perilaku korupsi, dan juga pembatalan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru sebesar 12 persen "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

TEPAT tanggal 28 Januari 2025 adalah 100 hari masa kerja dari Pemerintahan Kabinet Merah Putih (KMP) yang dipimpin Prabowo Subianto sebagai Presiden. Jika menelisik dari Hasil dua lembaga survei menunjukkan bahwa Kepuasan Publik terhadap kinerja Prabowo tinggi, misalnya, hasil Survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan kepuasan publik mencapai 79,3 persen, sedangkan survei yang dilakukan Kompas menunjukkan tingkat kepuasan 80,9 persen.

Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang tingkat kepuasan masyarakat pada 100 hari awal periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Januari 2015, sebesar 65,1, juga melampaui kinerja 100 hari pemerintahan kedua Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin sebesar 61,4 persen. Bahkan, melampaui tingkat kepuasaan terhadap pemerintah pada akhir kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Juni 2024 yang mencapai 75,6 persen.

Hanya saja banyak dari orang-orang yang berada untuk membantu berjalannya pemerintahan malah memperoleh sentimen negatif dari publik. Publik menyikapi dengan nilai minus dari beragam tinjauan terhadap pejabatnya seperti sikap arogansi, dalam bekerja tidak punya terobosan, komunikasi politiknya yang buruk, bahkan yang utama banyak para pembantu presiden yang gagal menterjemahkan visi-misi presiden Prabowo. Tulisan ini ingin menggambarkan kondisi tersebut.

Program Langsung Dirasakan Masyarakat

Jika dicermati Prabowo ketika dilantik sebagai Presiden langsung terasa gebrakannya bagi masyarakat. Presiden Prabowo dianggap langsung mengeluarkan kebijakan populis seperti penggelontoran bantuan sosial, dilanjutkan geliat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mulai dirasakan dengan beroperasinya kembali Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap perilaku korupsi, dan juga pembatalan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru sebesar 12 persen. Bahkan, Prabowo langsung menerapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai janji politiknya semasa di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 kemarin.

Hanya saja apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Prabowo tak juga bisa dianggap berhasil sepenuhnya. Sebab, kepuasaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Prabowo tinggi tetapi sayangnya tidak berbanding lurus dengan penilaian terhadap beberapa pembantu presiden di kabinet.

Sebab setidaknya ada 10 menteri yang dinilai berkinerja minus, seperti lima besar disebutkan yakni Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggi Yandri Susanto.

Baca Juga: Hilangnya Empati Terhadap Guru

Bahkan, beberapa pembantu Presiden Prabowo bernilai sikapnya arogansi, sebut beberapa nama seperti Gus Miftah yang mengumumkan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Pengunduran diri Gus Miftah karena perilaku arogannya yang viral dalam video dirinya menampilkan Miftah menghina penjual es teh saat mengisi pengajian di Magelang dan Video lawasnya merendahkan pelawak senior Yati Pesek (Tempo.co, 8 Desember 2024).

Arogansi kedua juga diperlihatkan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro yang didemo oleh pegawainya sendiri, terkait sikap arogansinya yang melakukan mutasi besar-besaran terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementeriannya. Sikap kurang terpuji juga ditunjukkan Wakil Kepala Staf Kepresidenan, M. Qodari dengan aksi telatnya saat mengunjungi sebuah sekolah untuk memantau MBG. Akibatnya, para siswa terpaksa harus menahan lapar hingga satu jam (inilah.com, 26 Januari 2025).

Terjerat Polemik “Janji Politik” dan Beban Masa Lampau

Presiden Prabowo tampak langsung bekerja cepat dengan mewujudkan janji politiknya berupa program MBG. Hanya saja, Program MBG langsung memicu berbagai kritik sejak dilakukan serentak pada 6 Januari di 26 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia. Isu utamanya berkisar anggaran jumbo, kualitas menu, distribusi yang bermasalah, keracunan makanan, hingga potensi bancakan beberapa pihak. Program ambisius ini malah tampak ketidaksiapan dalam pelaksanaannya di lapangan, bahkan dipertanyakan keberlanjutannya karena terkait dengan anggaran jumbo yang mesti dikeluarkan.

Harus diakui bahwa program ini juga malah berkutat pada banyak polemik yang menyertai seperti program ini membutuhkan dana jumbo sehingga kreasi pendanaan pun dimunculkan dari yang masuk akal hingga yang mengerutkan dahi masyarakat, seperti program MBG pembiayaannya diusulkan melalui zakat, infak, dan sedekah (ZIS), dana sitaan dari koruptor, dan cukai rokok, bahkan kini adanya usulan pemerintah memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk mendanai program unggulan Presiden Prabowo.

Bahkan, usulan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana mengenai kemungkinan memasukkan serangga ke dalam menu MBG malah menghasilkan kegaduhan tersendiri, karena idenya yang dinilai mayoritas masyarakat adalah konyol, apalagi ide ini muncul ditengah situasi program MBG yang mencuat kabarnya hanya bisa didanai pemerintah sampai bulan Juni saja.

Ketika janji politik Presiden Prabowo mengalami berbagai permasalahan. Juga yang memungkinkan Prabowo kecewa adalah beban masa lampau yang harus ditanggulanginya. Prabowo memang berhasil terpilih karena adanya “cawe-cawe” Presiden Jokowi ketika itu, sehingga Prabowo ketika menjabat sebagai Presiden harus “patuh dan memungkinkan dengan kekecewaan.”

Baca Juga: Anomali Partai Politik, Representasi Politik, dan Kursi Menteri

Ini menunjukkan sikap independen Prabowo, agak terecoki oleh “hutang budi” Prabowo terhadap Jokowi yang ketika sebagai presiden telah membantu memenangkan dirinya.  

Permasalahan saat ini adalah ketika kepuasaan masyarakat tinggi terhadap kinerja Presiden Prabowo dan/atau pemerintahannya. Tetapi mencuat berbagai masalah, seperti pagar laut yang bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM), persoalan ini terjadi di masa Presiden Jokowi, tetapi yang harus menyelesaikannya adalah Presiden Prabowo.

Selain itu, Prabowo dibebani oleh proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) yang terancam mangkrak, karena Prabowo harus mengupayakan dua program dengan dana jumbo sekaligus yakni MBG dan IKN, rasanya Prabowo sebagai Presiden akan lebih mengedepankan program janji politiknya yakni MBG.

Reshuffle Kabinet sebuah Pilihan  

Masyarakat meski memberikan penilaian persentase kepuasaan yang tinggi terhadap kinerja pemerintahan Prabowo, namun masyarakat juga menunggu ketegasan dari sikap Prabowo sebagai Presiden, untuk membenahi kondisi politik dari kabinetnya yang seolah menunjukkan “ugal-ugalan” dalam berkomentar, dalam memproses kebijakan, maupun dalam berperilaku.

Prabowo tidak bisa menganggap kepuasan masyarakat sebesar 80,9 persen, sehingga membuat kabinet merah-putih tidak perlu dilakukan evaluasi. Apalagi jika Prabowo menunggu momentum enam bulan bahwa nanti saja evaluasi akan dilakukan, sebab jika Prabowo sebagai Presiden memilih bersikap pasif maupun mendiamkan, maka yang akan hadir di benak publik bahwa Prabowo adalah Presiden yang tidak berani bersikap tegas, Prabowo tidak punya nyali.  

Bahkan, memungkinkan Prabowo akan dianggap ia tak berani bersikap tegas, tak punya nyali, karena politik “hutang budi,” terhadap partai politik, relawan, dan utamanya mantan Presiden Jokowi, sehingga hak prerogatif Presiden dengan mudah tergadaikan. Ini memang konsekuensi politik yang harus dihadapi Prabowo, ketika pemerintahan dijalankan dengan pola bagi-bagi kursi gratis dengan dasar politik balas budi.

Sehingga demikian, maka wajar kepuasan masyarakat tinggi terhadap kinerja Presiden Prabowo tetapi patut diberikan catatan, hal mana catatan tersebut adalah berbagai persoalan yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintahan ini seperti melanjutkan program janji politiknya, reshuffle kabinet, maupun bertindak tegas tidak lagi berada dibawah bayang-bayang Jokowi. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TAG:
Artikel Terkait
Kelapa

Kelapa

Kolumnis Minggu, 29 Maret 2020
Baca Juga