Proporsional Tertutup: antara Oligarki Partai dan Pembatasan Partisipasi

Andang Masnur

Penulis

Minggu, 26 Juli 2020  /  12:07 pm

Andang Masnur, komisioner KPU Kabupaten Konawe. Foto: Ist.

Oleh: Andang Masnur

Komisioner KPU Kabupaten Konawe

Evaluasi sistem pemilu terus dilakukan oleh bangsa ini untuk berbenah ke arah yang lebih baik. Penyusunan regulasi sebagai landasan dan payung hukum dalam melaksanakan perbaikan tersebut terus dilakukan.

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu juga sedang dalam tahap pembahasan. Sebagai bagian dari perbaikan dan hasil evalusi dari UU Nomor 7 tahun 2017 dan pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu.

Jika melihat secara detail pasal demi pasal yang disajikan sebagai desain pelaksanaan pemilu selanjutnya maka salah satu yang berbeda dari beberapa pemilu sebelumnya adalah pada bagian kedua sistem pemilu anggota DPR Pasal 206 Ayat (1). Dituliskan bahwa “Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.”

Kilas Balik Sistem Kepemiluan

Melihat sejarah perjalanan sistem kepemiluan yang dilakukan oleh Indonesia memang beberapa kali terjadi perubahan. Khususnya untuk sistem pemilu pada anggota DPR dan DPRD pada zaman Orde Baru memang menggunakan sistem proporsional tertutup.

Yang artinya bahwa pada surat suara yang diterima oleh pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya berisi tanda gambar partai. Sistem ini terakhir digunakan pada Pemilu 1999 berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1999.

Kemudian berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2003, sistem proporsional terbuka mulai dilakukan. Pada surat suara kita akan mendapati tanda gambar partai dan daftar calon legislatif. Hanya saja penentuan siapa yang akan duduk sebagai anggota legislatif terpilih sesuai dengan nomor urut caleg tersebut.

Artinya, peluang besar bagi caleg yang akan duduk adalah caleg dengan nomor urut paling atas. Hal tersebut kemudian dievaluasi dan mendapat perubahan pada pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019. Tiga pemilu terakhir mempraktekkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak.

Meskipun memang merupakan tantangan tersendiri terhadap rumitnya rekapitulasi yang dilakukan saat pemilu dilaksanakan, tetapi inilah konsekuensi dari perubahan keterbukaan yang dianut pada pemilu kita.

Oligarki Partai

Banyak kalangan yang kemudian menyesalkan berubahnya dalam draf RUU sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup ini. Dalih tentang semangat meminimalisir “money potilic” yang terjadi saat pemilu adalah tidak tepat.

Baca juga: Black Campaign, Jalan Pintas Menjatuhkan Kompetitor

Justru hal ini adalah sebagai bentuk kemunduran pada sistem pemilu kita. Pemilu tahun 1999 dan sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal siapa yang akan duduk menjadi perwakilannya di DPR. Interaksi antara calon legislatif dengan masyarakat tidak terjalin.

Sebab partailah penentu siapa yang akan ditunjuk menduduki kursi dan menjadi anggota DPR. Keran permainan justru akan terjadi pada internal partai. Proporsional tertutup juga tentu tidak akan mengurangi sarat terjadinya politik transaksional dan kembali menguatnya oligarki kepartaian.

Secara umum kita mengetahui bahwa menguatnya oligarki partai (politik) akan menjadi kemunduran sistem pemerintahan. Chek and balance diantara trias politica yakni eksekutif, legilatif dan yudikatif bisa tidak lagi berjalan dengan maksimal. Sebab terminologi oligarki adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok elit (bukan rakyat).

Tentu saja dampaknya akan mengakibatkan pemerintahan yang tidak lagi pro rakyat dan tidak populis. Demikian diungkapkan Robert Michles (1915) dalam bukunya “Political Parties.”

Kontrol masyarakat terhadap partai akan terbatas dengan sendirinya, hal ini akan berdampak kurang baik. Jika mengingat kasus Harun Masiku yang terjadi beberapa saat lalu mengindikasikan bahwa apa yang dikehendaki oleh rakyat belum tentu sejalan dengan apa yang dikehendaki parpol.

Adanya upaya merubah rekomendasi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari urut suara terbanyak selanjutnya kepada yang jauh lebih sedikit dibawahnya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa partai lebih mengetahui kualitas kader yang dimilikinya. Banyaknya caleg yang secara intsant bergabung dengan mengandalkan popularitas tentu menjadi pesaing bagi kader yang selama ini membesarkan partai.

Tetapi bagi masyarakat dan wajib pilih komunikasi yang terbangun antara caleg dan masyarakat serta kedekatan secara emosional adalah salah satu faktor dalam menentukan pilihan. Untuk itu masyarakat harusnya mengenal siapa yang akan duduk mewakilinya dilegislatif sebagai perwujudan sistem pemilu kita.

Pembatasan Partisipasi

Jika mengacu pada prinsip demokrasi yang mengutamakan partisipasi rakyat seluas-luasnya maka sistem proporsional terbuka akan lebih tepat dan tetap harus dipertahankan. Sebab pemilih tahu dan menentukan pilihan pada siapa yang dikehendakinya. Proporsional tertutup bisa saja akan mengurangi partisipasi publik terhadap pemilu.  

Baca juga: Diskusi Demokrasi di Tengah Pandemi

Pertama adalah tentang partisipasi masyarakat untuk maju menjadi calon legislatif. Seseorang yang oleh masyarakat dianggap mampu membawa aspirasi untuk duduk menjadi anggota DPR bisa saja urung untuk berpartisipasi.

Sebab minat untuk maju pasti akan tersandera oleh pemikiran bahwa penentu yang menduduki kursi adalah partai bukan rakyat. Partisipasi berikutnya adalah partisipasi pemilih pada pelaksanaan Pemilu. Stigma negatif terhadap partai politik memang masih ada disebagian kalangan masyarakat.

Ditambah lagi dengan sistem tertutup seperti ini masyarakat akan berfikir bahwa siapa saja yang akan duduk menjadi anggota DPR setelah suara partai dikonversi menjadi kursi sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari.

Komunikasi yang terbangun antara pemilih dan calon legislatif tentu tidak akan maskimal seperti pada pemilu dengan sistem terbuka. Sehingga akan menimbulkan sikap apatisme masyarakat terhadap gelaran pemilu yang akan digelar, yang ujungnya akan mengurangi tingkat partisipasi pemilih yang telah dicapai pada pemilu sebelumnya.

Padahal jika melihat rilis yang disampaikan oleh Litbang Kompas dengan mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia hanya ada 18.1% masyarakat yang memilih partai politik saja tanpa melihat siapa calegnya, sedangkan yang memilih calegnya saja ada 21.2%.

Sementara yang memilih karena keduanya adalah 56.8%. Survei lainnya menunjukkan perbandingan yang sangat besar antara yang memilih caleg berdasarkan nomor urut 6.5% sedangkan yang memilih karena mengenal atau mengetahui caleg tersebut ada 84.1%.

Hal tersebut diatas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa masyarakat perlu mengetahui siapa yang akan mewaikilinya. Jangan sampai malah terkesan seperti membeli kucing dalam karung. Akhirnya jika kita sepakat untuk berpihak pada kedaulatan pemilih, maka tentu kita akan mempertahankan sistem pemilihan dengan proporsional terbuka.

Perjalanan demokrasi kita terus yakini berada pada jalur menuju kesempurnaan. Olehnya itu evaluasi yang dilakukan harusnya menitik beratkan terhadap hal-hal yang perlu mengalami perbaikan saja. Bukan kemudian mengurangi apa yang telah dicapai sebelumnya.

Sebab dengan proporsional terbuka maka sebenarnya kita sedang mempertahankan implementasi dari salah satu asas pemilu yang Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). (*)