Aktivis Perempuan Kritik Pelabelan Janda dan Wanita Penggoda di Media
Erni Yanti, telisik indonesia
Jumat, 25 Juli 2025
0 dilihat
Aktivis Perempuan Sultra, Yustin, saat diwawancarai telisik.id, Jumat (25/7/2025). Foto: Erni Yanti/Telisik
" Aktivis perempuan memberikan kritik terhadap praktik pelabelan terhadap perempuan dalam pemberitaan media massa yang dinilai melanggengkan ketidakadilan gender "

KENDARI, TELISIK.ID - Aktivis perempuan memberikan kritik terhadap praktik pelabelan terhadap perempuan dalam pemberitaan media massa yang dinilai melanggengkan ketidakadilan gender.
Pelabelan yang dinilai seperti “janda”, “wanita penggoda”, atau diksi-diksi yang tidak setara dinilai memperkuat budaya patriarki dan memperlemah upaya menciptakan masyarakat yang adil dan setara gender.
Dalam sebuah diskusi publik bersama jurnalis di salah satu hotel di Kendari, aktivis perempuan menegaskan pentingnya peran media sebagai jembatan antara masyarakat sipil dan negara.
Baca Juga: Menjelang HUT ke-80 RI, Pernak-Pernik Merah Putih di Kendari Mulai Dijual
Aktivis Perempuan Sultra, Yustin, menilai bahwa jurnalis berada di posisi strategis dalam struktur demokrasi, yakni menjadi penghubung antara warga dan penyelenggara negara.
“Maka dari itu, penting bagi media untuk berpegang teguh pada etika dan nilai-nilai jurnalistik yang berperspektif GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial),” ujar Yustin, Jumat (25/7/2025).
Ia menyoroti bahwa pelabelan perempuan dalam berita bukan hanya soal gaya bahasa, tetapi juga mencerminkan struktur sosial yang masih bias dan tidak adil.
“Media kita adalah cerminan dari masyarakat. Jika media masih menggunakan diksi yang merendahkan perempuan, itu artinya kita belum berhasil mengubah cara pandang publik,” katanya.
Namun, Yustin mengakui bahwa media juga adalah entitas bisnis yang mempertimbangkan sisi ekonomi. Kendati begitu, menurutnya, bisnis yang tidak beretika adalah bisnis yang tidak bermartabat.
“Pemilik media harus punya kesadaran bahwa mereka menjalankan bisnis yang turut mempengaruhi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Ketika selera masyarakat bergeser dan muak dengan pemberitaan yang seksis dan tidak adil, maka justru bisnis media yang beretika akan bertahan,” tegasnya.
Pelabelan seperti “janda” kerap digunakan secara tidak proporsional dalam berita tentang perempuan, sementara istilah seperti “duda” jarang disorot dengan cara yang sama.
Kondisi ini, menurut Yustin, menunjukkan bahwa media masih menjadi ruang di mana stereotip dan ketidaksetaraan dipelihara.
“Tantangannya sekarang adalah mengubah budaya. Kita butuh kesadaran kolektif dari reporter, redaktur, hingga pemilik media bahwa diksi dan narasi yang digunakan dalam pemberitaan memiliki dampak besar dalam membentuk opini publik dan mempertahankan atau mengubah status quo,” tambahnya.
Baca Juga: Gerbong Pejabat di Kejati Sultra Berganti, Dua Kajari Ikut Bergeser
Senada dengan Yustin, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sulawesi Tenggara, Nur Sada, mengatakan bahwa praktik pelabelan perempuan dalam pemberitaan harus menjadi refleksi bagi insan pers.
“Iya, ini menjadi refleksi bagi jurnalis untuk terus meningkatkan kapasitasnya, terutama dalam penulisan isu-isu berperspektif GEDSI. Jurnalis punya peran penting dalam membangun serta mendorong terwujudnya pemerintahan yang inklusif,” ujar Nur Sada.
Ia berharap berita yang disampaikan kepada publik seharusnya tidak bias dan tidak mengabaikan kepentingan kelompok marginal dan rentan.
“Jurnalis harus mampu mengedukasi masyarakat. Jadi, perspektif dalam pemberitaan harus adil dan setara, serta tidak melanggengkan stereotip atau diskriminasi,” harap Nur Sada. (B)
Penulis: Erni Yanti
Editor: Mustaqim
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS