Aliansi Mahasiswa Bersuara Tolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Ini Alasannya

Fitrah Nugraha, telisik indonesia
Selasa, 23 November 2021
0 dilihat
Aliansi Mahasiswa Bersuara Tolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Ini Alasannya
Suasana aksi tolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 di Kendari. Foto: Ist.

" Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bersuara melakukan aksi damai terkait menolak Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 "

KENDARI, TELISIK.ID - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bersuara melakukan aksi damai terkait menolak Permendikbud Nomor 30 tahun 2021, pada Senin (22/11/2021).

Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa yang datang dari berbagai kampus di Sulawesi Tenggara ini dilakukan dengan long march, dari perempatan Wua-Wua hingga ke perempatan Eks MTQ Kendari.

Dalam aksi tersebut, massa menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

(PPKS) yang dikeluarkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim, dengan alasan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Dimana, massa aksi menilai dari Permendikbud tersebut adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’

menjadi pemicu penolakan terhadap peraturan tersebut. Sebabnya, frasa tersebut dapat dipahami bila antara

kedua belah pihak melakukan hubungan seksual karena consent, persetujuan, maka dipandang legal.

Baca Juga: Nestapa Teluk Kendari, Destinasi Wisata yang Terancam Hilang Akibat Sedimentasi

Selama berjalannya aksi, para orator satu per satu menyampaikan orasinya. Pada di akhir aksi, koordinator lapangan, Rahmadin membacakan pernyataan sikap atas penolakan terhadap Permendikbudristek tersebut.

Diantara isi pernyataan sikapnya, yakni pertama bahwa menolak Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 karena sama halnya melegalkan seks bebas dan merupakan hak warga negara selama ada persetujuan pihak yang terkait, sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 5 ayat 2 tentang frasa ”Tanpa Persetujuan” yang artinya jika ada persetujuan

maka bukan suatu tindakan terlarang.

Kedua, Permendikbudristek ini juga berpotensi memberikan perlindungan pada penyimpangan perilaku

seksual seperti LGBT. Dalam Pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi:

“menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh,

dan/atau identitas gender korban.”

Baca Juga: Haru, Ayah Wakili Anaknya yang Sudah Meninggal di Acara Wisuda IAIN Kendari

Ketiga, Satuan Tugas yang diarahkan oleh Permendikbud sebagai unit penanganan kekerasan seksual di

kampus berpotensi hanya akan diisi oleh kaum feminis dan liberalis sebagai penafsir tunggal

penanganan kekerasan seksual di kampus, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (4).

"Karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak, agar secara bersama-sama menolak

dilegalkannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Ini bukti kuat bahwa negara ini tidak bersendikan pada agama dan syariah, melainkan pada sekularisme-liberalisme," katanya.

Umat terus didorong

untuk terjerumus dalam peradaban liberalisme. Padahal sudah nyata kerusakan paham liberalisme.

Maraknya perzinaan, penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS, kehamilan tak diinginkan,

pembuangan bayi dan aborsi, adalah bagian dari kerusakan yang sudah tampak di depan mata.

"Maka kami juga menyerukan kepada semua pihak tak ada cara lain kecuali menyingkirkan sistem sekular-

liberal saat ini. Sebagai penggantinya, terapkan syariah Islam secara kaffah. Dengan itu niscaya umat

manusia akan terlindungi dan terjaga," pungkasnya. (C)

Reporter: Fitrah Nugraha

Baca Juga