Anak Penjaga Hutan Raih Gelar Doktor di Usia 26 Tahun
Affan Safani Adham, telisik indonesia
Sabtu, 20 Juni 2020
0 dilihat
Sawitri, anak penjaga hutan yang sebentar lagi akan meraih gelar doktornya di Universitas Tsukuba, Jepang. Foto: Ist.
" Harapan saya, bidang ilmu yang saya tekuni ini bisa mengombinasikan pemuliaan tanaman, terutama hutan di Indonesia. "
YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Siapa sangka, seorang perempuan kelahiran Gunungkidul, 26 Juni 1994 dan anak penjaga hutan Wanagama Fakultas Kehutanan UGM di Playen, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menempuh pendidikan S3 di Jepang. Tepatnya, di Universitas Tsukuba Jepang.
Sawitri, awalnya sempat bercita-cita menjadi anggota Polisi Wanita (Polwan). Tapi setelah mendapat wejangan (nasihat) dari Muhammad Naim, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, ia akhirnya meneruskan kuliah.
Menurut rencana, Sawitri (26) yang gemar membaca buku-buku tentang hutan -- yang akhirnya justru menjadi bagian dari hidupnya sampai saat ini -- akan menyelesaikan studinya pada September 2020 setelah sejak 2017 lalu mengambil S3 di Jepang.
Dari hobi baca buku itu bisa mengantarkan Sawitri meraih doktor. Bahkan, bidang ilmu yang digelutinya pun tak jauh dari lingkungan yang biasa ia kenal sejak kecil: seputar hutan.
Ayah Sawitri, Tukiyat (52), mengatakan, anak semata wayangnya itu setelah menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Wonosari tahun 2011, melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan UGM mengambil Prodi Silvikultur.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S1, kemudian melanjutkan ke jenjang S2 di Prodi yang sama.
Baca juga: Warga Konawe Utara Tangkap Buaya Berukuran Besar
Tukiyat, sang ayah, sempat merasa takdir Sawitri memang tidak berkuliah setelah pada 2011 gagal masuk UGM melalui jalur undangan. Namun, Sawitri diterima di Fakultas Kehutanan UGM Prodi Silvikultur melalui jalur SNMPTN. Sawitri pun mendapat beasiswa Bidikmisi.
Tukiyat mulai bekerja sebagai penjaga hutan Wanagama pada tahun 1987 dengan upah Rp 14 ribu per bulan dan 10 kg beras. Ia baru diangkat menjadi PNS pada tahun 2008.
Berkuliah di Fakultas Kehutanan memang obsesi Sawitri. Karena sedari kecil sudah terbiasa ikut dosen atau mahasiswa yang praktik di Wanagama. Sawitri kecil menyimak ketika orang-orang yang ahli di bidangnya itu berbicara. Tak heran, nama-nama tumbuhan termasuk nama latinnya, sudah Sawitri hafal sedari kecil.
Bila mengingat saat masih sekolah SD hingga SMP, Sawitri selalu berjalan kaki lebih dari 1 kilometer agar bisa sampai ke sekolah. Sekolah TK Banaran 6 mencapai 1,5 kilometer dari rumah. Hal itupun berlanjut hingga Sawitri menempuh pendidikan di SD 3 Banaran, SMP 4 Playen dan SMA 1 Wonosari "Saya jalan kaki sendiri dan tidak pernah diantar orangtua," kata Sawitri yang akrab disapa Fitri.
Dihubungi secara terpisah, Sawitri yang sedang berada negeri Sakura, mengatakan, ia mengambil kuliah program doktor di Universitas Tsubuka Prodi Biosphere Resource Science and Technologi untuk menekuni kajian genetika hutan.
Baca juga: Iuran Tapera Jadi Beban Baru bagi Pekerja di Tengah Pandemi
Sawitri mengaku bersyukur bisa kuliah hingga S3. Meski selama di Jepang ia menghadapi kendala dalam kuliahnya karena ia menekuni bidang teknologi molekuler yang masih awam baginya.
Namun dengan bekerja keras untuk melewati tantangan tersebut, akhirnya ia pun bisa menyelesaikan pendidikan tepat waktu.
Bila ujian doktor pada Juli 2020 mendatang lancar, maka pendidikan S3 bisa rampung pada September 2020 mendatang. Dan Sawitri bisa menyelesaikan pendidikan doktor tepat tiga tahun. Waktu itu ia masuk September 2017.
Keberhasilan Sawitri ini tak terlepas dari pola pendidikan yang diajarkan oleh sang ayah Tukiyat dan ibunya.
Sebagai orang yang berpenghasilan pas-pasan, ia mendidik Sawitri dengan didikan keras. Sopan-santun, mandiri dan hidup prihatin menjadi ajaran Tukiyat kepada Sawitri sejak belia.
"Harapan saya, bidang ilmu yang saya tekuni ini bisa mengombinasikan pemuliaan tanaman, terutama hutan di Indonesia," katanya, yang menambahkan, hal itu untuk mendukung baik secara ekologi dan ekonomi, terutama untuk hutan sebagai penghasil kayu.
Reporter: Affan Safani Adham
Editor: Haerani Hambali